Jakarta, Aktual.com —  Pemerintah sepertinya tutup mata dan telinga terkait berbagai keluhan industri hasil tembakau yang terus menaikkan cukai rokok. Kenaikkan cukai berkolerasi dengan rontoknya pabrik rokok, seolah dianggap angin lalu. Setelah tahun ini dikenakan target setoran cukai sebesar Rp120 triliun, di tahun depan setoran cukai rokok makin melangit, mencapai Rp148,9 triliun, atau naik sebesar 23,5 persen.

Ketua Gabungan Pengusaha Pabrik Rokok (GAPPRI) Ismanu Soemiran mengeluh, pengusaha rokok belum siap jika cukai dinaikan sebesar itu. Apalagi dasar penghitungan penarikan cukai dari 12 bulan menjadi 14 bulan.

“Kami tidak siap kalau cukai dinaikan Rp 148,9 triliun,” ujar Ismanu di kantor Ditjen Bea Cukai, ditulis Jumat (3/9).

Ismanu menilai industri rokok sudah banyak membantu negara dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Hal ini dilihat dari pemasukan cukai rokok untuk tahun ini bisa mencapai Rp 128,9 triliun.

“Industri rokok terbuka imun terhadap resesi ekonomi. Karena itu bersikaplah yang jelas terhadap industri ini,” ujar Ismanu.

Ismanu memaparkan, selama ini industri rokok kretek sudah menguasai pangsa pasar93,4 persen di dalam negeri. Selain itu, dengan setoran cukai rata-rata di atas Rp 100 triliun per tahun, industri yang sudah menopang anggaran belanja negara sedemikian besar ini jangan terus dikecilkan.

Faktanya, tinggi kenaikkan cukai telah merontokkan sebagian besar pabrik rokok di Tanah Air. Kalau pada 2009, jumlah pabrik rokok sebanyak 4.900 an pabrik, kini tinggal 600 pabrik saja. Tingginya kenaikkan cukai juga hanya menghasilkan pemutusan hubungan kerja (PHK). Ketika cukai naik sebesar 12 persen pada 2014, mengakibatkan PHK hampir 10.000 tenaga kerja.

Ia juga geram karena kenaikan cukai tidak pernah dibicarakan dengan kalangan industri. Bahkan, seringkali pemerintah mengabaikan faktor rill di lapangan dengan kebijakan dan target-target tidak realitis sama-sekali. Sehingga industri hanya jadi korban.

“Jika pemerintah tak mampu melihat data kondisi rill maka kebijakan pun salah,” kritik Ismanu. Dia mengibaratkan, dalam kasus penetapan target cukai, pemerintah seperti berburu di kebun binatang. Targetnya sudah jelas, tinggal menentukan seberapa banyak yang ditembak.

Anggota Komisi IV DPR RI Firman Soebagyo sepakat dengan industri. Kenaikkan cukai yang semakin tinggi di tahun depan, di tengah kondisi ekonomi yang lesu, adalah kesalahan besar. Dampak yang paling riil dari kenaikkan ini adalah PHK dan tutupnya pabrik serta dampak terhadap petani tembakau. “Dan itu sudah terbukti,” tegas politisi Partai Golkar ini.

Harusnya, ketika kondisi ekonomi seperti ini, pemerintah justru harus memberikan insentif kepada perusahaan, jangan menambah beban.

Menurut anggota DPR dari PDI Perjuangan Hendrawan Soepratikno menilai, bahwa kenaikan cukai yang eksesif tidak tepat karena memberatkan industri, terutama pabrikan rokok kecil. “Selama ini industri rokok dimusuhi oleh regulasi pemerintah. Ironis, industri ini juga dijadikan andalan penerimaan negara,” tandasnya.

Ia menegaskan, DPR akan mengkritisi setiap kebijakan yang hanya merugikan ekonomi dan industri. Jangan lagi, argumentasi kenaikan selalu berdasar bahwa industri untung besar.

“Menteri Keuangan berargumen industri rokok keuntungannya besar. Buktinya adalah jumlah dan intensitas iklannya. Tapi pabrikan yang kecil kan sudah kembang kempis. Kami akan mengkritisi kebijakan cukai,” tandasnya.

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Eka