Denpasar, Aktual.com — Bali mewarisi tradisi dan budaya masyarakat setiap perayaan Idul Fitri yakni “ngejot”, yaitu memberikan menu makanan, kue dan buah-buahan kepada sahabat dan warga lintas agama yang tinggal di pemukiman sekitarnya.

Umat Hindu yang menerima menu makanan tersebut akan membalasnya pada Hari Raya Galungan, hari raya besar dalam memperingati kemenangan Dharma (kebaikan) melawan Adharma (keburukan).

Tradisi dan budaya itu hingga sekarang masih tetap lestari, baik di desa maupun perkotaan di Pulau Dewata, tutur Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bali H M Taufik As’Adi S AG (67).

Pria kelahiran Cilacap yang bermukim di Bali lebih dari setengah abad itu berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya, karena tugasnya sebagai seorang pendidik (guru) melihat kehidupan umat lintas agama sangat akrab satu sama lainnya.

Kondisi demikian itu telah diwarisi secara turun temurun sejak ratusan tahun silam, berkat adanya saling mengertian dan menghormati satu sama lainnya. Tredisi “ngejot bagi komunitas muslim di perdesaan menunjukkan adanya kekerabatan yang begitu akrab dengan umat lainnya yang beragama Hindu maupun agama lainnya.

Umat Islam bermukim di daerah perdesaan sejak jaman kerajaan di Pulau Bali antara lain di Desa Pegayaman Kabupaten Buleleng, Budakeling, Kabupaten Karangasem, Petang, Kabupaten Badung, Kepaon, Serangan, Kota Denpasar dan Desa Loloan di Kabupaten Jembrana.

Hal itu mencerminkan keakraban dalam kehidupan sehari-hari, yang secara tidak langsung memberikan dampak positif dalam memantapkan kerukunan hidup beragama yang telah dapat diwujudkan selama ini.

Umat Islam di Bali juga telah berbaur dengan budaya setempat, terlihat dari lembaga adat yang tumbuh di masyarakat muslim Bali sama dengan lembaga adat masyarakat Bali Hindu.

Komunitas muslim yang bergelut dalam bidang pertanian juga menerapkan sistem pengairan subak, pola pengaturan air seperti yang dilakukan petani beragama Hindu, meskipun cara mensyukuri saat panen berbeda, sesuai kepercayaan dan agama yang dianut.

Umat Islam yang mengolah lahan pertanian antara lain di Subak Yeh Sumbul, Medewi, Pekutatan, dan Subak Yeh Santang, Kabupaten Jembrana, daerah ujung barat Pulau Bali, menerapkan sistem pengairan secara teratur seperti umumnya dilakukan petani Pulau Dewata.

Adanya unsur kesamaan antara Islam dan Hindu, termasuk terpeliharanya tradisi “ngejot” dapat dijadikan tonggak lebih menciptakan kemesraan dan tali persaudaraan antara Hindu dan Islam, termasuk umat lain di Pulau Dewata, ujar mantan Kepala Bidang Bimas Islam Kementerian Agama Provinsi Bali.

Kolaborasi Haji Taufik As’Adi yang menjalani masa pensiun sejak enam tahun silam yang kini aktif dalam berbagai kegiatan sosial menilai, selain keakrabanan umat lintas agama juga terjadi terjadi kolaborasi musik bernuansa Islami.

Rudat musik bernuansa Islami tampil serasi dan harmonis dengan gong blaganjur, musik tradisional Bali saat berlangsungnya ritual bwerskala besar di Puri Pemecutan, jantung kota Denpasar.

Penampilan musik yang berbeda latarbelakang itu merupakan salah satu cermin betapa harmonis dan rukunnya umat beragama yang berdampingan satu sama lainnya di Bali.

Kerukunan antarumat beragama yang sangat kokoh itu berkat Konsep “menyama braya”, yakni persaudaraan yang betul-betul diterapkan dalam kehidupan umat beragama di Bali.

Haji Taufik As’Adi, ayah dari lima putra-putri yang telah dikaruniai 17 cucu dari seluruh putra-putrinya yang telah membentuk rumah tangga itu menambahkan, kehidupan umat beragama yang “mesra dan harmonis” yang dapat diwujudkan di Pulau Dewata diharapkan dapat tetap terpelihara guna mendukung terciptanya kondisi yang aman, nyaman dan tenteram, sekaligus memberikan kesejukan di hati umat manusia.

Selain seni budaya, pembangunan masjid di Bali juga mengalami akulturasi dengan seni budaya setempat, sehingga tempat suci umat Islam umumnya tampak beda dengan bangunan masjid di Jawa maupun daerah lainnya di Indonesia.

Adanya akulturasi sejak masuknya Islam ke Bali ratusan tahun silam memunculkan ciri khas tersendiri, unik dan menarik. Dalam pembangunan masjid memang tidak ada ketentuan menggunakan unsur aristektur tertentu, yang penting ada ruangan untuk melaksanakan ibadah.

Akulturasi antara Islam dengan seni budaya Bali tidak masalah. Bahkan keterpaduan kedua unsur itu tetap dipertahankan hingga sekarang.

Agama Islam dan Hindu sesungguhnya memiliki banyak persamaan bahkan terjadi akulturasi menyangkut seni dan budaya dari kedua agama tersebut di Pulau Dewata.

Kesamaan itu antara lain terdapat pada buku dan “Geguritan” (pembacaan ayat-ayat suci Hindu), yang ternyata di dalamnya mengandung unsur nuansa Islam.

Bukti lain dari terjadinya akulturasi Islam-Hindu terdapat di Desa Pegayaman Kabupaten Buleleng, Kepaon Kota Denpasar dan Desa Loloan di Kabupaten Jembrana.

Desa Pegayaman misalnya, sebagian besar warganya memeluk agama Islam, namun nama depannya sama seperti orang Bali pada umumnya, sehingga muncul nama seperti Wayan Muhammad Saleh atau Made Jalaluddin.

Adanya unsur kesamaan antara Islam dan Hindu itu dapat dijadikan tonggak lebih menciptakan “kemesraan” dan tali persaudaraan antara Hindu dan Islam, termasuk umat lain di Pulau Dewata, bahkan di Nusantara.

Berbagai keunikan itu menjadi daya tarik tersendiri dari berbagai segi, baik oleh wisatawan mancanegara, sosiolog maupun budayawan dari belahan dunia.

Kondisi demikian tidak mengherankan, jika Pulau Seribu Pura itu bertambah tenar, bahkan terkadang melampaui keterkenalan Indonesia, negara yang berpenduduk muslim terbesar.

Islam masuk Bali Agama Islam masuk ke Bali pada zaman kerajaan abad XIV tidak merupakan satu-kesatuan yang utuh, namun mempunyai sejarah dan latarbelakang tersendiri dari masing-masing komunitas Islam yang ada di Pulau Dewata.

Penyebaran agama Islam ke Bali berasal dari sejumlah daerah di Nusantara antara lain dari Jawa, Madura, Lombok dan Bugis. Masuknya Islam pertama kali Bali lewat pusat pemerintahan pada abad ke XIV pada zaman kekuasaan Raja Dalam Waturenggong.

Raja Dalem Waturenggong yang berkuasa selama kurun waktu 1480-1550, saat berkunjung ke Kerajaan Majapahit di Jawa Timur sekembalinya diantar oleh 40 orang pengawal yang beragama Islam.

Ke-40 orang pengawal tersebut akhirnya diizinkan menetap di Bali, tanpa mendirikan kerajaan tersendiri seperti halnya kerajaan Islam di pantai utara Pulau Jawa pada masa kejayaan Majapahit.

Para pengawal yang beragama Islam itu hanya bertindak sebagai abdi dalam kerajaan Gelgel menempati satu pemukiman dan membangun sebuah masjid yang diberinama Masjid Gelgel, yang merupakan tempat ibadan umat Islam tertua di Bali Demikian pula komunitas muslim yang tersebar di Banjar Saren Jawa di wilayah Desa Pekraman (adat) Budakeling, Kabupaten Karangasem, Kepaon, Serangan (Kota Denpasar), Pegayaman (Buleleng) dan Loloan (Jembrana).

Masing-masing komunitas tersebut membutuhkan waktu yang cukup panjang untuk menjadi satu kesatuan muslim yang utuh.

Artikel ini ditulis oleh: