Pasukan khusus TNI AL mengevakuasi korban penyanderaan oleh sejumlah pengacau di area tower Bandara Juanda dengan teknik stabo menggunakan Heli Bell-412 saat simulasi penanganan gangguan objek vital peringatan HUT KE-59 Pusat Penerbangan TNI AL (Puspenerbal) di Lanudal Juanda Surabaya, Sidoarjo, Jawa Timur, Rabu (17/6). Sejumlah atraksi ketangguhan prajurit TNI AL dan simulasi ditampilkan dalam peringatan Hari jadi ke-59 Puspenerbal. ANTARA FOTO/Zabur Karuru/Rei/15.

Jakarta, Aktual.com – Sekretaris Fraksi PKS DPR RI Sukamta menilai Pemerintah Indonesia perlu merumuskan solusi komprehensif menyelesaikan masalah penyanderaan yang dialami Warga Negara Indonesia oleh kelompok Abu Sayyaf di Filipina.

“Penyanderaan seperti ini terus terjadi berulang, Indonesia harus lebih greget lagi dengan memperkuat solusi komprehensif yang sudah ada baik secara jangka pendek maupun jangka panjang,” kata Sukamta dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Sabtu (23/2).

Dia menjelaskan pendekatan komprehensif jangka pendek yang bisa dilakukan adalah memperkuat Operasi militer bersama secara reguler yang melibatkan tentara gabungan trilateral Indonesia-Filipina-Malaysia.

Menurut dia, TNI dan Polri memiliki pasukan elite yang mumpuni untuk membebaskan sandera sehingga bisa diberdayakan Anggota Komisi I DPR itu menilai selain operasi militer gabungan, untuk jangka panjang, Indonesia harus perkuat kerja sama pertahanan antarnegara yang sudah ada, khususnya kerjasama trilateral tentang keamanan maritim.

“Berikutnya, secara jangka panjang kita perkuat ‘second track diplomacy’ yang dilakukan lewat pemerintah dan juga lewat parlemen antara tiga negara,” ujarnya.

Dia menjelaskan hal itu bertujuan untuk kestabilan kawasan karena sebagai sesama anggota ASEAN, Indonesia bisa mendorong dan memberi masukan kepada pemerintah Filipina agar bisa menyelesaikan konflik dengan MNLF, MILF dan kelompok Abu Sayyaf yang sudah berkepanjangan.

Sukamta menilai penyebab utama masih terjadinya kasus penyanderaan WNI itu adalah permasalahan politik internal Filipina. Karena itu menurut dia, pemerintah Indonesia harus terus mendesak pemerintah Filipina untuk bisa segera meredam konflik ini dan keberhasilan Indonesia meredam konflik dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Aceh bisa dijadikan contoh.

“Dan jangan sampai memenuhi permintaan penyandera berupa tebusan uang 10 miliar, karena ini sama saja memberi amunisi untuk mereka,” katanya.

Faktor penyebab berikutnya menurut Sukamta adalah ketidakamanan kawasan, wilayah perairan perbatasan seringkali menjadi wilayah yang rawan aksi perompakan sehingga perlu diperkuat kerjasama lintas negara untuk sama-sama menjaga keamanan perbatasan.

Sebelumnya, Kementerian Luar Negeri RI membenarkan dua orang yang muncul dalam video yang tersebar di media sosial adalah WNI yang diculik kelompok Abu Sayyaf.

“Sejak diterimanya laporan penculikan, Kemlu telah berkomunikasi dengan keluarga kedua WNI di Wakatobi dan secara berkala menyampaikan update perkembangan upaya pembebasan,” kata Direktur Perlindungan WNI dan BHI Kemlu RI Lalu Muhammad Iqbal melalui pesan singkat yang diterima di Jakarta, Rabu (20/2).

Keduanya yakni Hariadi dan Heri Ardiansyah adalah WNI asal Wakatobi, Sulawesi Tenggara, yang diculik kelompok bersenjata Filipina Selatan saat bekerja menangkap ikan di perairan Sandakan, Malaysia, pada 5 Desember 2018 bersama seorang warga Malaysia.

Pemerintah, menurut Iqbal, terus melakukan upaya-upaya dalam rangka pembebasan kedua WNI dari penyanderaan. Kasus ini adalah penculikan ke-11 yang dilakukan terhadap WNI di perairan Sabah, Malaysia, oleh kelompok bersenjata di Filipina Selatan.

Artikel ini ditulis oleh:

Reporter: Antara
Editor: Arbie Marwan