Harga cabai yang melambung tinggi menjadi keprihatinan Ketua DPR untuk melihat langsung harga cabai di pasar. Harga cabai merah di Pasar Induk Kramat Jati mencapai Rp100 ribu per kg. Sebelumnya pernah menyentuh Rp120 ribu per kg. Kenaikan ini disebabkan salah satunya faktor cuaca yang membuat banyak cabai rusak. AKTUAL/Tino Oktaviano

Sumenep, Aktual.com – Naiknya harga cabai, ternyata tidak diikuti keuntungan para petani cabai. Salah satu petani cabai asal Sumenep, Sulton mengaku adanya penurunan jumlah panen cabai karena kendala cuaca. Tetapi, sejauh ini petani tidak menaikkan harga.

Perkilogramnya, petani masih menjual Rp30 ribu rupiah kepada tengkulak. Sulton juga bingung, mengapa di pasaran sekarang harga cabai diatas Rp100 ribu per kilogramnya.

“Saya jualnya masih Rp30 ribu per kilo ke tengkulak. Lha terus saya lihat di berita kok di pasaran harganya di atas Rp100 ribu. Masak petani dibuat seperti ini? Padahal kalau musim hujan, merawat tanaman cabai itu susah.” kata Sulton, Minggu (12/2).

Sulton pun merasa kesal dengan permainan harga cabai. Sebab, tengkulak dan pedagang dapat untung besar, namun pendapatan petani tetap saja sama.

Sementara salah satu tengkulak cabai Arifin, mengaku memang menaikkan harga sendiri. Alasannya, membeli hasil panen yang sedikit, tentu berimbas pada biaya transportasi.

“Kalau panennya banyak, transportasinya kita untung. Kalau panennya sedikit, kita kan untungnya juga sedikit. Jauh jauh ambil cabai, ternyata stoknya sedikit. Makanya kita menaikkan harga lagi dari biasanya.” kata Arifin.

Dari pembelian cabai panen petani, oleh tengkulak, cabai tersebut dijual lagi ke pedagang besar. Saat harga berubah dari biasanya, lanjut Arifin, pedagang besar juga pasti ikut menaikkan harga lagi ke pedagang kecil, hingga sampai ke pembeli di tingkat eceran seperti di pasar tradisional.

“Karena dari tengkulak naik, pedagang besar juga naik, terus pedagang kecil pasti naik. Makanya, dari 30 ribu per kilo, kalau semuanya naik, wajar bisa sampai 120 ribu rupiah per kilogramnya.”

Laporan: Ahmad H Budiawan

Artikel ini ditulis oleh:

Reporter: Ahmad H. Budiawan
Editor: Wisnu