Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno ketika menghadiri Silaturahmi dan Apresiasi Santri Digitalpreneur Indonesia di Darunnajah Islamic Bording School,

Jakarta, Aktual.com – Gejala politik identitas berdasarkan politisasi agama yang didorong politisi dinilai mengkhawatirkan. Itu terlihat dari Forum Ijtima Ulama dan Pemuda Islam Indonesia (PII) se-Jawa Barat (Jabar), yang mendeklarasikan dukungan terhadap Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) Sandiaga Uno sebagai calon presiden pada Pemilu 2024 mendatang.

Dukungan itu datang dari Pengasuh Pesantren As-Salafiyah I Sukabumi KH Lilik Abdul Kholiq. Begitu juga, deklarasi dilakukan di Jakarta yang dihadiri sejumlah tokoh, diantaranya Dedi Tuan Guru, Habib Fahiri, Masri Ikoni, Dede Ruba’i Misbahul Alam, Moh Ahbab Hasbi, Aziz Yanuar, Habib Fahmi Alatas, Habib M. Reza Assegaf, Kana Kurniawan, Afandi Ismail, Yosse Hayatullah, Wizdan Fauran, dan Fahmi Faisal. 

Menyoroti hal itu, Direktur Eksekutif Indonesian Public Institute (IPI) Karyono Wibowo menilai, gejala politik identitas akan kembali mewarnai dinamika politik 2024. Selama kurang lebih satu dekade, jagad politik nasional diguncang oleh politik identitas yang diperparah dengan propaganda ala post-truth.

Disampaikan Karyono, pelbagai narasi yang menggiring opini publik ke dalam inkubator politik SARA bertebaran di ruang publik. Aroma politik identitas semakin menyengat belakangan ini, ketika kelompok islam politik yang tergabung dalam Ijtima Ulama mulai menampakkan arah dukungan kepada sejumlah tokoh yang digadang-gadang menjadi calon presiden 2024. 

Klaim penilaian bahwa ada tokoh yang dekat dengan ulama dan dianggap mewakili aspirasi umat merupakan pandangan terlalu subjektif dan tak tepat.  

“Klaim bahwa Sandiaga dianggap dekat ulama, pandangan tersebut terlalu subyektif, penilaiannya tidak berdasarkan realitas obyektif. Alasan dan pertimbangannya lebih menonjol kepentingan politik, kekuasan dan sentimen kelompok yang dibalut agama,” ucap Karyono, kepada media, Selasa (21/12). 

Menurut Karyono, pengalaman pada pemilu presiden 2014 dan 2019 harus menjadi pelajaran masyarakat, terutama umat islam agar tidak terjebak dalam tipu muslihat para petualang politik yang menggunakan agama sebagai jubah, dan barang dagangan untuk mendapatkan keuntungan materi dan kekuasaan.

Faktanya, selama ini rakyat yang dirugikan dan kerap menjadi korban dari konflik politik yang menggunakan isu SARA. Di era post truth, dampak penggunaan isu SARA lebih berbahaya dari isu lainnya. Daya rusaknya lebih dahsyat. Nilai-nilai toleransi dan kebhinekaan tergerus. Kohesi sebagai satu bangsa mulai merenggang. 

“Oleh karena itu, Sandiaga, Anies dan tokoh lainnya yang memiliki hasrat maju sebagai capres cawapres harus bisa mengendalikan syahwat politik untuk tidak melakukan politisasi SARA hanya untuk kepentingan elektoral,” tegas Karyono. 

Sandi, Anies dan siapapun yang berharap menjadi capres-cawapres mendatang perlu mengambil hikmah dari fakta empiris yang menunjukkan pasangan capres yang diserang dengan isu SARA dalam dua kali pilpres masih unggul dan memenangkan pemilihan. 

Tapi satu kali dalam pilgub DKI penggunaan politik identitas yang sangat massif memang berhasil menumbangkan Ahok sebagai kandidat yang triple minority. Dia bukan hanya minoritas dari agama yang dianut dan minoritas dari etnik yang ada di Indonesia. Dia juga bukan dari elit politik tulen ditambah lagi pendatang dari Bangka Belitung. 

“Hal yang paling penting untuk menjadi perhatian semua pihak adalah bahwa politisasi SARA merusak demokrasi dan toleransi, membelah persatuan bangsa dan meninggalkan luka dalam yang sulit disembuhkan,” tegas Karyono. 

Dukungan yang diberikan oleh para ulama di Ijtima Ulama itu dianggap merupakan kreasi buruk, karena bisa merusak iklim demokrasi. 

“Politik identitas adalah kreasi buruk praktik politik yang merusak kualitas demokrasi dan kualitas pemilu,” kata Direktur Eksekutif Setara Institute Ismail Hasaini ketika dihubungi wartawan, Senin (20/12).

Terlebih, kata dia politik identitas tidak berpusat pada ide-ide dan agenda pembangunan yang diperdebatkan secara sehat, tetapi menggunakan identitas (agama) untuk memunculkan kepatuhan buta dalam menentukan pilihan politik elektoral.

“Politik identitas selalu diikuti dengan polarisasi dan menimbulkan dampak perpecahan di tengah masyarakat. Kohesi sosial akan terganggu dan jelas ini bertentangan dengan semangat kemajemukan di Republik Indonesia,” ungkap dia.

Munculnya dukungan dari berbagai daerah terhadap salah satu calon, menandakan bahwa politik identitas masih mendapat tempat di tengah masyarakat dan bisa terus dimanfaatkan hingga Pemilu 2024.

“Dalam merespons ini, publik harus tetap jernih dalam mengikuti kontestasi politik, khususnya Pilpres,” beber dia.

Publik, lanjut dia, harus tetap memusatkan perhatiannya pada kualitas perdebatan politik yang berhubungan langsung dengan aspirasi dan agenda-agenda kerakyatan.

“Soal perpecahan di tubuh Gerindra, masih terlalu dini untuk disimpulkan, karena bisa jadi ini bagian dari agenda test of the water menjajakan Sandi jelang kontestasi 2024,” ungkap dia.

Politisi yang juga anggota DPR RI dari Partai Gerindra, Kamrussamad, menuding deklarasi dukungan sejumlah ulama kepada Sandiaga Uno maju di Pilpres 2024 adalah upaya merekayasa forum Ijtima Ulama. Kamrussamad khawatir Sandiaga sengaja mengeksploitasi identitas ulama.

Kata dia, upaya rekayasa forum Ijtima Ulama DKI Jakarta (deklarasi bulan Oktober 2021) dan forum Ijtima Ulama Jawa Barat (deklarasi bulan Desember 2021) merupakan tindakan berpotensi menimbulkan politik identitas sebagai pemecah belah bangsa. 

“Saya khawatir ada sekelompok oknum yang bekerja secara sistematis bersama Sandiaga sehingga tega lakukan eksploitasi identitas ulama,” imbuhnya

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Wisnu