Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon Bertemu Duta Besar AS Robert Blake Bahas Trans Pasific Partnership (TPP). (Aktual/Ilst.Nelson)

Jakarta, Aktual.com – Sekretaris Fraksi PKS di DPR, Sukamta mengungkapkan pertimbangannya terkait rencana pemerintah Indonesia masuk dalam Trans Pacific Partnership, yang ditawarkan Presiden Amerika Serikat Barack Obama.

“Saya memberi pertimbangan setidaknya dari 3 sudut pandang, yaitu sudut pandang ekonomi perdagangan, sudut pandang geopolitik kawasan dan soal waktu,” katanya di Jakarta, Kamis (11/12) malam.

Dia menjelaskan dari sudut pandang ekonomi perdagangan, pertanyaan-pertanyaan ini harus bisa dijawab dengan data yang kredibel. Dia mencontohkan, berapa pertumbuhan jumlah pengusaha asli Indonesia lalu berapa pertumbuhan prosentase produsen dan distributor.

“Berapa pertumbuhan prosentase UMKM dan pengusaha besar? Komponen-komponen penjualannya lebih besar impor atau lokal? Ini semua menggambarkan pertumbuhan daya saing kita ke depan,” ujarnya.

Dia menilai dengan mengalihkan paradigma ekonomi konsumtif atau 50 persen lebih GDP berasal dari konsumsi kepada ekonomi produktif, harusnya ke depan GDP kita tidak lagi didominasi oleh konsumsi, tapi produksi.

Sukamta mengatakan data sekarang mungkin menggambarkan bahwa jumlah pemilik HAKI Indonesia relatif lebih sedikit jika demikian, itu berarti kesepakatan HAKI dalam TPP akan merugikan kita, dalam jangka pendek.

“Yang mendapat untung justeru negara-negara yang memiliki HAKI banyak. Efek jangka panjangnya tergantung dari tren pertumbuhan perdagangan dan kewirausahaan kita,” ujarnya.

Sukamta menjelaskan sudut pandang kedua, yaitu geopolitik kawasan, melihat kondisi perekonomian dan daya saing kita sekarang, berkembang pandangan bahwa lebih baik Indonesia memperkuat diri di ASEAN dengan dengan MEA daripada ikut bergabung ke TPP.

Dia menilai, MEA bisa menjadi pengait atau “leverage” bagi daya tawar Indonesia untuk memperkuat diri di kancah global jika misalnya Indonesia mampu menjadi leader dalam MEA.

“Namun dalam percaturan global, siapa punya banyak teman aliansi strategis, dia lebih kuat. Mengikut salah satu dan meninggalkan yang lain, bagi sebuah negara yang masih berkembang, adalah sesuatu yang naif,” katanya.

Sukamta menjelaskan, sudut pandang ketiga, yaitu soal waktu, kapan waktu yang tepat untuk bergabung kalau misalkan diputuskan untuk bergabung.

Menurut dia, atau pilihan lainnya kalau Indonesia menunda untuk mempersiapkan segala sesuatunya seperti infrastruktur fisik, regulasi, teknologi, SDM, dan lain-lain.

“Jangan sampai karena waktunya tidak tepat, terlebih sebentar lagi kita akan memasuki MEA, malah jadi semakin amburadul semuanya sehingga bisa menjadi bahaya untuk masa depan bangsa,” ujarnya.

Menurut dia, tiga sudut pandang itu merupakan pertimbangannya bagi pemerintah Indonesia menerima atau menolak ajakan Presiden Obama.

Dia mengatakan, dalam mengambil kebijakan, pemerintah harus mampu melihat dampak kebijakan terhadap masa depan bangsa dalam 10, 20 bahkan 50 tahun yang akan datang.

Artikel ini ditulis oleh: