Jakarta, aktual.com – Polemik Impor Beras yang diminta oleh Dirut Bulog dengan anggapan, “produksi panen beras petani sangat kurang” dan disanggah oleh Menteri Pertanian yang mengatakan, “Produksi Beras Petani Cukup”. Ini adalah sangat memalukan dan tidak lazim karena Bulog tidak biasanya mengusulkan impor beras secara nasional, karena yang paling tahu kebutuhan beras dengan mempertimbangkan keseimbangan antara Supply (produk pertanian) dibanding dengan Demand (konsumen beras) adalah peran dari Kementerian Perdagangan.

Apalagi, Bulog secara Nasional hanya bisa menyerap Beras Nasional sebesar 1,2 juta ton di tahun 2021. Jumlah ini relatif sangat kecil bila dibandingkan dengan serapan produksi beras nasional secara total yang jumlahnya mencapai 31,33 juta ton total serapan nasional.

Jadi Bulog hanya membeli beras petani nasional dan mengedarkan beras kemasyarakat tidak lebih dari 3% dari total beras yang diproduksi nasional, jadi serapan terbesar adalah dari swasta. Sehingga Dirut Bulog tidak pantas memberikan usulan impor dan informasi kepada Pemerintah, yang akhirnya menjadi salah informasi juga kepada publik karena ketidaktahuannya tentang produksi dan bahkan cadangan beras secara nasional.

Serapan Bulog yang relatif sangat sedikit ini karena Bulog belum bisa secara profesional menyerap beras nasional, termasuk juga memasarkan beras nasional kemasyarakat. Terbukti sebagian besar bahkan semua masyarakat Indonesia tidak berminat untuk membeli beras yang dipasarkan oleh Bulog.

Ditambah lagi Dirut Bulog juga meminta impor 500 ribu ton beras dengan anggaran sebesar 4,4 triliun rupiah dan mengatakan mereka rugi besar karena harus menjual beras impor dengan harga 8.300 rupiah per kg sedangkan harga belinya 8.800 rupiah per kg dari Vietnam. Pernyataan kerugian Dirut Bulog tersebut adalah TIDAK MASUK AKAL, karena harga beras di Vietnam yang sebenarnya hanya berkisar paling murah 5.800 Dong (3.800 rupiah) dan paling mahal 12.000 Dong (7.900 rupiah), dan bila pengirimanan ditambah ongkos angkut plus keuntungan 15%, maka harga beras Vietnam sampai di Indonesia hanya ditambah 25%.

Disinyalir Dirut Bulog memberikan keterangan yang tidak benar dan cenderung mencari keuntungan yang terlalu besar disela sela masyarakat yang lagi kesulitan terutama petani nasional kita. Tentu ini sangat memberatkan masyarakat dan petani.

Saya juga sangat prihatin dengan pernyataan Menteri Pertanian yang bisa memaklumi harga beras tinggi di Indonesia tanpa menganalisa penyebabnya dan bahkan menyarankan masyarakat mengkonsumsi sagu sebagai pengganti beras, padahal Menteri Pertanian seharusnya malah mendorong peningkatan produksi beras nasional untuk bisa bersaing dengan negara lain, misalnya; Vietnam, dimana Indonesia mempunyai lahan pertanian sebesar 70 juta hektar dengan lahan panen padinya sebesar 10,41 juta hektar tetapi hanya menghasilkan beras nasional sekitar 31 juta ton pertahun, sedangkan Vietnam yang hanya mempunyai lahan pertanian sebesar 7,2 juta hektar menghasilkan produksi beras 44 juta ton pertahun. Dan Vietnam bahkan bisa menjadi negara pengekspor beras nomor 2 terbesar dunia di tahun 2020 tetapi Indonesia tidak masuk dalam negara pengekspor beras terbesar didunia sampai dengan peringkat 10 besar dunia.

Harusnya Menteri Pertanian berusaha untuk mendengar keluhan petani mulai dari sektor pengairan yang kesulitan air walaupun dipinggir sungai atau waduk yang baru dibangun, kesulitan pupuk baik subsidi maupun non subsidi dengan harga sangat mahal padahal bahan baku untuk pupuk sangat berlimpah di Indonesia, kesulitan benih (subsidi bahkan dihapus dan harga mahal), kesulitan BBM Subsidi, Asuransi, hama (tikus, wereng, dll), kesulitan mendapatkan Kredit Usaha KUR, serta pemasaran produk petani sangat kurang mendapat dukungan dari Kementerian Pertanian.

Bila produksi wajar dengan lahan panen padi 10,4 juta hektar yang perhektarnya menghasilkan rata rata 8 ton gabah dan bisa panen dua kali, serta keberpihakan pemerintah kepada petani cukup besar, maka harusnya bisa menghasilkan 166,4 juta ton gabah atau setara dengan sekitar 90 juta ton beras yang dihasilkan pertahunnya.

Sehingga dengan kebutuhan masyarakat Indonesia setahun yang hanya berkisar 20 sampai 30 juta ton, masih akan tersisa 60 juta ton beras yang bisa kita ekspor ke negara lain seperti yang diinginkan oleh Presiden Jokowi “TIDAK PERLU LAGI IMPOR BERAS” dari luar negeri dan tentu harga beras kitapun akan menjadi semakin murah bila komponen biaya yang saat ini besar ditanggung oleh para petani bisa di selesaikan oleh Kementerian Pertanian sehingga beras di Indonesia tidak masuk dalam harga yang tertinggi di Asia Tenggara yang saat ini dari 10 tahun terakhir beras di Indonesia adalah yang termahal di Asia Tenggara, menurut Data World Bank.

Anggota DPR RI Ter Aspiratif, Bambang Haryo Soekartono

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Rizky Zulkarnain