Jakarta, Aktual.com – Hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak untuk warga negara Indonesia sudah dijamin dalam Undang-Undang (UU) Dasar 1945, tepatnya di pasal 27 ayat 2.

Permasalahan masalah pekerjaan dan penghidupan yang layak ini kini menjadi salah satu isu yang santer dibahas, baik ketika duduk berkumpul di rumah karena saat ini masih berlangsung pandemi COVID-19 atau dalam bentuk perdebatan di media sosial. Semua itu karena Dewan Perwakilan Rakyat telah menyetujui UU Cipta Kerja pada 5 Oktober 2020.

Aksi massa dilakukan terutama oleh serikat pekerja dan buruh dalam bentuk mogok nasional 6-8 Oktober 2020. Tidak hanya itu, elemen mahasiswa juga sempat turun ke jalanan menentang pengesahan UU tersebut.

Dari berbagai poin yang dipermasalahkan oleh serikat pekerja, upah adalah salah satu yang menjadi sorotan. Menurut Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) yang menjadi salah satu motor penggerak aksi nasional, keberadaan UU itu akan menghilangkan Upah Minimum Kabupaten (UMK) bersyarat dan Upah Minimum Sektoral Kabupaten/Kota (UMSK).

Dalam salah satu pernyataannya, Presiden KSPI Said Iqbal mengecam penghilangan klausal tentang UMK dan UMSK itu dalam UU Cipta Kerja yang tengah menunggu tanda tangan Presiden Joko Widodo untuk resmi menjadi sebuah UU.

Menurut dia, UMK tidak perlu bersyarat dan UMSK harus tetap ada karena UMK setiap daerah berbeda satu dengan laininya.

“Tidak adil, jika sektor otomotif seperti Toyota, Astra, dan lain-lain atau sektor pertambangan seperti Freeport, Nikel di Morowali dan lain-lain, nilai UMK-nya sama dengan perusahaan baju atau perusahaan kerupuk. Karena itulah di seluruh dunia ada Upah Minimum Sektoral yang berlaku sesuai kontribusi nilai tambah tiap-tiap industri terhadap PDB negara,” ujar Said dalam pernyataan pada 4 Oktober 2020.

Isu tentang upah itu sendiri langsung dibantah oleh Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziyah. Dalam konferensi pers daring pada 7 Oktober 2020, dia menegaskan bahwa upah minimum akan tetap diatur dan ketentuannya mengacu kepada Peraturan Pemerintah (PP) turunan dari UU itu.

Upah minimum ditetapkan dengan memperhatikan kelayakan hidup pekerja dengan berdasarkan aspek pertumbuhan ekonomi daerah atau inflasi daerah. Karena itu Upah Minimum Provinsi (UMP) wajib ditetapkan oleh gubernur dan UMK tetap ada.

Tapi benarkah demikian?

Jika dibandingkan UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan UU Cipta Kerja di Bab IV Ketenagakerjaan, terdapat beberapa perbedaan di bagian pengupahan.

Perbedaan mulai terlihat di ayat kedua Pasal 88 yang semula berbunyi “Untuk mewujudkan penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pemerintah menetapkan kebijakan pengupahan yang melindungi pekerja/buruh” menjadi “Pemerintah Pusat menetapkan kebijakan pengupahan sebagai salah satu upaya mewujudkan hak pekerja/buruh atas penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.”

Tidak hanya itu terdapat perbedaan di ayat tiga tentang kebijakan pengupahan yang dimaksud dalam ayat dua yang semula memiliki 11 poin berkurang menjadi tujuh poin.

Selain itu, di antara Pasal 88 dan Pasal 89 dalam UU Cipta Kerja disisipkan lima pasal baru yang berbicara antara lain tentang pengupahan tidak boleh lebih rendah dari ketentuan yang ditetapkan oleh perundang-undangan dan jika lebih rendah maka batal demi hukum. Selain itu terdapat pula ayat yang mengatur soal sanksi jika ada kelalaian pemberian upah.

Satu hal yang lain yang berbeda dengan UU Ketenagakerjaan, di dalam Pasal 88A Cipta Kerja dinyatakan upah ditetapkan berdasarkan satuan waktu dan/atau satuan hasil, yang mana bisa berarti jam, hari, pekan dan bulan atau berdasarkan hasil dari pekerjaan.

Menjawab kekhawatiran buruh, Pasal 88C menegaskan bahwa gubernur wajib menetapkan UMP dan dapat menetapkan UMK dengan syarat tertentu. Upah minimum sendiri ditetapkan berdasarkan kondisi ekonomi dan ketenagakerjaan

Syarat tertentu untuk UMK termasuk melihat pertumbuhan ekonomi daerah atau inflasi daerah tersebut. UMK sendiri harus lebih tinggi dari UMP.

Ketentuan lebih lanjut, mengenai penetapan upah minimum akan diatur lebih rinci pada PP.

Dengan keberadaan pasal-pasal baru itu, maka UU Cipta Kerja menghapuskan Pasal 89 dan 90 yang berada di UU Ketenagakerjaan.

Namun, dalam pemberian upah minimum UU Cipta Kerja memberikan pengecualian bagi Usaha Mikro dan Kecil yang terdapat di dalam pasal 90B. Dalam sektor tersebut upah ditetapkan bukan berdasarkan ketetapan provinsi tapi berdasarkan kesepakatan antara pengusaha dan pekerja di suatu perusahaan.

Tapi, upah di sektor itu sekurang-kurangnya sebesar persentase tertentu dari rata-rata konsumsi masyarakat berdasarkan data yang bersumber dari lembaga yang berwenang di bidang statistik.

Ketentuan lebih lanjut tentang pengupahan sektor Usaha Mikro dan Kecil kembali diatur dalam PP.

Perangkap pendapatan menegah

Melihat fakta tersebut, terlihat bahwa upah minimum masih ada baik yang berada di tingkat provinsi maupun di tingkat kabupaten/kota. Meski kekhawatiran buruh soal UMSK belum terjawab sepenuhnya dalam draft 812 halaman UU Cipta Kerja yang sudah diserahkan Sekjen DPR Indra Iskandar ke Menteri Sekretaris Negara Pratikno pada 14 Oktober 2020.

Namun, satu yang selalu ditegaskan baik oleh Menaker Ida Fauziyah maupun Presiden Joko Widodo dalam pernyataan resmi mereka, UU Cipta Kerja dimaksudkan untuk melepaskan Indonesia dari middle income trap atau perangkap pendapatan menengah.

Perangkap pendapatan menengah sendiri adalah suatu kondisi ketika suatu negara berhasil mencapai tingkat pendapatan menengah, tapi tidak bisa keluar dari keadaan itu untuk menjadi negara maju.

Perangkap itu bisa terjadi adalah salah satunya karena ketidakmampuan bersaing dengan negara-negara yang memiliki produktivitas tinggi dan inovasi.

Jika hal itu terus terjadi maka ada potensi lapangan pekerjaan akan pindah ke negara-negara lain yang dirasa lebih kompetitif, padahal di Indonesia setiap tahun bisa bertambah 2,9 juta penduduk usia kerja baru yang masuk ke pasar kerja.

Tidak hanya itu, terdapat juga permasalahan kualitas pekerja dengan pekerja Indonesia masih didominasi dengan tingkat pendidikan SMA ke bawah. Sekitar 56 persen pekerja Indonesia bergerak di sektor informal dan pekerja usia 15-24 tahun lulusan SMA/SMK jadi penyumbang terbesar pengangguran.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) per Februari 2020 menunjukkan dari 137,91 juta orang angkatan kerja saat ini, 52,34 juta orang memiliki pendidikan SD, 24,75 juta orang juta lulusan SMP, 25,78 juta orang lulusan SMA, 16,92 juta orang lulusan SMK, 3,92 juta orang lulusan D1/D2/D3/Akademi serta 14,22 juta merupakan lulusan S1/S2/S3.

Urgensi peluang dan lapangan pekerjaan untuk angkatan kerja baru itu juga disampaikan oleh pengamat ketenagakerjaan dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Tadjuddin Nur Effendi. Dia menyebut, kebijakan untuk menciptakan peluang kerja terutama untuk pemuda memang dibutuhkan.

“Untuk menciptakan itu tidak bisa hanya begitu saja, tentunya harus kebijakan, salah satunya adalah investasi,” kata Tadjuddin ketika dihubungi ANTARA.

Keberadaan investasi tidak bisa berdiri sendiri tapi butuh dukungan seperti inisiatif untuk mempermudah proses penanaman modal di Indonesia terutama perusahaan yang berasal dari luar Indonesia.

Menurut Tadjuddin, Omnibus Law UU Cipta Kerja adalah salah satu usaha pemerintah Presiden Joko Widodo untuk menarik pemodal masuk ke Indonesia yang pada akhirnya bisa menciptakan peluang kerja.

“Jadi yang demo itu keliru, yang demo kebanyakan milenial, itu sesungguhnya untuk mereka,” kata akademisi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik UGM itu.

Terkait berbagai aksi yang dilakukan buruh dan mahasiswa, yang sempat berakhir ricuh dengan penghancuran banyaknya fasilitas umum di Jakarta, dia memperingatkan bahwa UU Cipta Kerja adalah payung hukum yang implementasinya akan diatur dalam PP.

Peraturan Pemerintah

Tidak bisa dipungkiri, masih banyak yang perlu diperjelas terkait klaster ketenagakerjaan di UU Cipta Kerja. Hal itu karena banyak pasal implementasinya secara rinci akan diatur dalam PP, termasuk dalam permasalahan upah yang disoroti oleh buruh.

Menurut Menaker Ida Fauziyah paling tidak akan ada tiga PP yang mengatur klaster ketenagakerjaan seperti PP pelaksanaan ketenagakerjaan termasuk untuk penggunaan tenaga kerja asing, hubungan kerja dan pemutusan hubungan kerja (PHK), dan waktu kerja serta istirahat.

Selain itu, ada PP khusus untuk pengupahan yang merevisi sebagian PP Nomor 78 Tahun 2018 tentang Pengupahan yang diantaranya mengatur Dewan Pengupahan, UMP, UMK, dan penetapan aturan upah minimum.

PP ketiga adalah tentang penyelenggaraan program jaminan kehilangan pekerjaan (JKP), sebuah jaminan yang baru muncul dalam UU ini. Hal ini untuk mengatur prinsip penyelenggaraannya, cakupan pekerja yang dapat mengikuti JKP, manfaat, masa kepesertaan dan pendanaan.

Dalam penyusunannya Menaker Ida memastikan bahwa akan melibatkan berbagai pemangku kepentingan di sektor ketenagakerjaan termasuk pengusaha dan serikat pekerja/buruh.

Ida menargetkan pembahasan bersama Tim Tripartit Plus yang terdiri dari serikat pekerja/buruh, pengusaha, pemerintah, pakar dan akademisi itu dapat diselesaikan pada pekan ketiga Oktober agar harmonisasi dan penandatanganan PP dapat dilakukan pada awal November.

Tentu saja, itu semua menunggu pengesahan UU Cipta Kerja dengan ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo dan serta diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Belum lagi usai pengesahan masih akan ada potensi aksi lanjutan dari berbagai elemen masyarakat yang menentang UU Cipta Kerja dan kemungkinan judicial review atau uji materi UU tersebut yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi.

Melihat hal tersebut, fokus seharusnya tidak hanya lagi terpusat kepada UU Cipta Kerja tapi juga ke proses pembahasan PP agar tidak lagi terjadi distorsi informasi yang akan membingungkan masyarakat umum dan supaya kepentingan baik buruh maupun dunia usaha dapat diakomodasi dalam PP itu.

Semua langkah tersebut dilakukan agar dapat memenuhi hak masyarakat Indonesia untuk pekerjaan dan penghidupan yang layak sesuai dengan cita-cita UUD 1945. (Antara)

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: As'ad Syamsul Abidin