Jakarta, Aktual.com —Jabatan Kepala Badan Intelijen (BIN) tidak pantas dijadikan sebagai ‘jatah politik’ bagi setiap pengusung calon penguasa baru di Indonesia. Pasalnya, seorang spionase sebuah negara dituntut mempunyai rasa nasionalisme dan integritas yang tinggi.

Aktivis Badan Relawan Nasional, Eky Tarigan menegaskan, BIN adalah lembaga negara dengan fungsi dimana faktor integritas terhadap negara dan regenerasi harus menjadi pertimbangan utama.

“Pencalonan Kepala BIN bukan porsi politik dipertontonkan seorang Ketua parpol yang diusulkan sebagai pimpinannya,” ujar Eky, dalam keterangan resminya, Minggu (21/6).

Terlebih, lanjut Eky, calon tunggal yang diusung Presiden Joko Widodo itu dianggap mempunyai sisi sejarah yang gelap. Sebut saja konflik sosial ‘Kuda Tuli’, yang memakan korban tidak lain adalah warga negara Indonesia.

Keterlibatan Sutiyoso dalam konflik tersebut dinilai sangat kental. Mengingat saat itu dirinya tengah menjabat sebagai Panglima Daerah Militer (Pangdam) Jaya.

“Keterlibatannya terbukti dalam beberapa kesaksian yang menyebutkan adanya pertemuan pada tanggal 24 – 26 Juli 1996 di Kodam V Jaya maupun rumah kediaman Pangdam Jaya (Sutiyoso) pada saat itu,” papar Eky.

Tak berhenti sampai disitu, Eky menyebutkan beberapa kasus dugaan korupsi juga menyelimuti Sutiyoso saat menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta. Berbagai kasus yang diduga menampilkan kekuasaan Sutiyoso ketika menjadi Gubernur yakni, Pembebasan Lahan Taman BMW 2007-200, pembangunan fasos dan fasum, 68.400 rumah susun.

“Pengadaan busway tahun 2003-2004, penggelembungan dana pengadaan blanko surat ketetapan pajak daerah (SKPD) yang menempel pada STNK di Pemda Dinas Pendapatan Daerah (Dispenda) DKI Jakarta,” bebernya.

Dengan pertimbangan tersebut Badan Relawan Nusantara pun menegaskan kepada Presiden Jokowi untuk membatalkan pencalonan Sutiyoso sebagai Kepala BIN.

“Selamatkan BIN dari kepentingan politik maupun kelompok. Menolak Sutiyoso sebagai Kepala BIN,” pungkasnya.

Artikel ini ditulis oleh: