Jakarta, Aktual.com — Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menolak pengampunan pidana pajak, pidana umum, dan pidana khusus atau “special amnesty” yang sering diwacanakan untuk menarik dana-dana orang kaya Indonesia di luar negeri.

Kepala PPATK mengatakan jika pemerintah ingin mengoptimalkan penerimaan negara dari dana-dana di luar negeri, sebaiknya relaksasi yang diberikan tidak menyentuh penghapusan sanksi pidana.

“Artinya Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) tidak bisa diganti dengan Inpres. Mereka hanya diberi pengampunan pajak, tapi jika uangnya dari hasil kejahatan tetap tidak dibiarkan,” ujar kepala PPATK, Muhammad Yusuf di sela pertemuan dengan pimpinan Bappenas, di Jakarta, Jumat (3/7).

Jusuf meminta wacana “special amnesty” yang disebutkan juga mencakup pengampunan pidana pajak, pidana umum dan pidana khusus, harus diluruskan. Terlebih, kata Jusuf, jika wacana tersebut menimbulkan spekulasi bahwa terduga koruptor atau koruptor bisa membawa dananya kembali ke Indonesia dan terbebas dari sanksi pidana.

“Kewenangan penegak hukum tidak akan hilang untuk mengusut. Jadi tidak sampai dibebaskan tindak pidananya. Misalnya kasus TPPI, si A buron di Singapura, dia tidak akan kena amnesty,” kata dia.

Yusuf mengatakan hingga saat ini, belum ada koordinasi dari Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, maupun unsur penegak hukum lain seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), untuk membahas mengenai “special amnesty”.

Jika wacana ini terus bergulir, Yusuf mengaku siap untuk menjelaskan kepada Presiden Joko Widodo mengenai dampak dari penghapusan pidana tersebut.

“Saya cuma sempat diberitahu sama Komisi III DPR. Mungkin karena persepsi belum sama. Belum duduk bersama, karena memang ada wacana tax amnesty, special amnesty, tapi bukan crminal amnesty,” kata dia.

Wacana “special amnesty” mencuat ketika pemerintah perlu melakukan berbagai upaya ekstra untuk meraih target penerimaan pajak tahun ini sebesar Rp1.296 triliun. Sementara dengan target tersebut yang meningkat sekitar 30 persen dibanding target 2014, pemerintah dikhawatirkan dengan perlambatan ekonomi yang dapat menggerus penerimaan pajak.

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Eka