Aspek Kebenaran Materiil Diabaikan, Aspek Formalitas Diutamakan, dan Hak Asasi Manusia Dilecehkan
Jakarta, Aktual.com – Permohonan praperadilan Karen Agustiawan akhirnya ditolak oleh hakim tunggal PN Jakarta Selatan, Tumpanuli Marbun. Meskipun ini sangat membuat shock Mantan Direktur Utama Pertamina, namun Karen tetap semangat untuk membela kebenaran dan keadilan.
Nenek 65 tahun yang sudah berjasa buat negara ini benar-benar yakin bahwa ia tidak merugikan negara, demikian info dari salah satu anggota keluarganya.
Hakim Tumpanuli berdalih menolak praperadilan dan memutuskan untuk melanjutkan perkara ke proses peradilan berikutnya meski terbukti secara nyata, terang, jelas, dan pasti bahwa kontrak LNG CCL tersebut sudah untung. Saksi dari Pertamina yang berkompeten untuk menyatakan itu, Aris Mulya Azof, Senior VP Downstrean, Power, Gas, & NRE, telah menjelaskan keuntungan komulatif kontrak CCL sudah positif sebesar USD88,87 per 28 Juli 2023.
Namun hal ini, tidak dianggap sebagai bukti yang sah dan meyakinkan di proses praperadilan. Alasan yang dipakai untuk menolak bukti ini oleh hakim adalah bahwa kesaksian ini telah masuk pokok materi persidangan dan oleh karena itu harus diajukan dan dibuktikan dalam proses persidangan pokok materi, yaitu sidang pengadilan di pengadilan negeri.
Hakim betul-betul hanya mempertimbangkan aspek hukum formil dalam menyidangkan permohonan praperadilan ini, yang semestinya hakim lebih mengutamakan aspek hukum materiil.
Praperadilan yang dimohonkan Karen adalah masuk dalam wilayah hukum publik atau hukum pidana. Oleh karena itu, sudah sepatutnya, seorang hakim akan menghentikan proses persidangan yang akan mengadili pokok materi, jika diketahuinya, unsur terpenting dari delik pidana tersebut tidak terpenuhi.
Dakwaan kepada Karen oleh KPK adalah pelanggaran Pasal 2 dan 3 UU Tipikor, maka unsur terpenting dari kedua pasal ini adalah kerugian negara. Ketiadaaan kerugian negara ini semestinya dipakai oleh hakim untuk menghentikan kasus hukum Karen ini.
Namun sayang sekali, hakim lebih percaya kepada saksi Inne Anggraeni yang menyatakan bahwa kerugian kontrak CCL masih indikasi, yang artinya tidak nyata, tidak terang, tidak jelas, dan tidak pasti. Hakim mengabaikan kebenaran materiil yang disampaikan oleh Aris Mulya Azof dari Pertamina yang menyatakan sudah tidak ada kerugian lagi.
Demikian juga dalam penjelasan Aris Mulya Azof tentang kontrak LNG mana yang berlaku dalam pembelian dan penjualan kembali kargo LNG ini. Ia menyatakan dengan jelas, bahwa trading LNG ini mengacu kepada SPA 2015, bukan kontrak LNG SPA 2013 dan 2014 yang sudah tidak berlaku lagi.
Selain hal di atas, hakim juga mengabaikan lamanya pengambangan satus Karen selama 1 tahun 3 bulan setelah sprindik dan SPDP diterbitkan. Nampaknya hakim tidak mau mempertimbangkan aspek hukum materiil dalam menyidangkan permohonan pra peradilan pidana ini.
Hakim tidak perduli bahwa melalui keputusan seperti itu, ia telah mengabaikan rasa keadilan masyarakat yaitu tercampakkannya hak asasi manusia Karen, secara Karen bukan hanya ditersangkakan namun ia juga telah ditahan sejak tanggal 19 September 2023 lalu. Ia sudah dihukum meskipun ada kebenaran materiil yang terbukti secara sah dan meyakinkan di sidang praperadilan.
Dengan mengamati keputusan hakim yang seperti itu, demikian juga tindakan/pembelaan KPK di sidang yang mempertahankan penetapan tersangka dan penahanan terhadap Karen, kita semua memahami bahwa ada sisi gelap penegakan hukum di Indonesia.
Hukum pidana di Indonesia ini tidak lagi melihat kebenaran materiil sebagai satu-satunya kebenaran, namun lebih memaksakan aspek formil, aspek formalitas hukum, meski itu terjadi untuk orang yang terampas hak asasi manusianya.
Hukum tidak dijalankan dengan hati nurani lagi, di mana ini akan sangat berbahaya kepada supremasi hukum di Indonesia. Kejadian seperti ini, yang terjadi di banyak kasus hukum di Indonesia telah memperbesar potensi penolakan masyarakat kepada hukum itu sendiri, terutama kepada otoritas aparat penegak hukum.
Masyarakat banyak yang menyaksikan kejadian seperti ini terjadi berulang-ulang, maka mereka secara pelan-pelan, di bawah alam sadarnya, sudah mulai tidak percaya hukum lagi.
Jika ini terjadi terus, tanpa ada perbaikan politik penegakan hukum di Indonesia, maka tinggal menunggu waktu kapan akan terjadi ledakan sosial yang akan merugikan semua pihak.
(Redaksi Aktual)