Penelitian tiga universitas di Inggris juga menyatakan negara-negara yang lamban mendekarbonisasi akan merugi, sebaliknya yang sigap mendekarbonisasi akan diuntungkan.

Situasi ini terjadi karena aliran investasi dan komitmen pemerintah dalam mencapai netral karbon sampai 2050 bakal membuat energi terbarukan kian dilirik dunia. Konsekuensinya ini membuat energi hijau menjadi lebih efisien, lebih murah, dan lebih stabil dibandingkan dengan ekonomi berbasis bahan bakar fosil yang di masa nanti diprediksi semakin cepat bergejolak.

Indonesia adalah satu di antara banyak negara yang tanggap mendekarbonisasi diri. Komitmen mengurangi emisi karbon sampai 29 persen sampai 2030 membuktikan Indonesia kian menyadari pentingnya bersegera memasifkan ekonomi berkelanjutan berbasis non-fosil ini.

Berlimpahnya sumber daya alam, mulai sungai, panas bumi, angin, sampai panas matahari, membuat Indonesia kian menyakini skala ekonomi berkelanjutan yang lazim disebut ekonomi hijau ini akan membesar.

Ekonomi hijau ini terus dipromosikan pemerintah Indonesia karena juga yakin akan meningkatkan kesejahteraan dan sekaligus menghindari degradasi lingkungan. Ini bagaikan pepatah, sekali merengkuh dayung, dua tiga pulau terlampaui.

Pertumbuhan lapangan kerja dan pendapatan akan dipacu bergerak lebih cepat oleh investasi baik pemerintah maupun swasta yang mendukung ekonomi ramah lingkungan.

Dalam kata lain, investasi diarahkan kepada infrastruktur dan aset yang berpeluang mengurangi emisi karbon dan polusi, selain meningkatkan efisiensi sumber daya.

Tekad Indonesia membangun ekonomi hijau itu semakin kuat setelah negara-negara Kelompok 20 (G20) yang saat ini diketuai Indonesia, pada 2021 mengeluarkan komitmen mencapai karbon netral sampai 2050.

Walau tidak begitu jelas, mengingat ada kesenjangan pandangan di antara internal G20, komitmen itu menjadi titik awal untuk lebih ditekankan kembali oleh Indonesia selama Presidensi G20 saat ini.

Komitmen-komitmen individual seperti janji Italia pada 2021 untuk tiga kali menaikkan kontribusinya dalam memerangi perubahan iklim menjadi 1,4 miliar dolar AS per tahun, bisa diartikulasikan lebih kuat lagi selama Presidensi G20 Indonesia.

Di Indonesia sendiri, hampir semua elemen bergerak ke arah itu, termasuk Bank Indonesia yang aktif meningkatkan pemahaman dan kesadaran tentang keuangan berkelanjutan sehingga pada waktunya nanti masyarakat terbiasa dengan instrumen keuangan yang mendorong pengelolaan ekonomi hijau.

BI juga aktif mendorong seluruh pemangku kepentingan bersinergi mengimplementasikan kerangka kerja menyeluruh untuk kebijakan terkait ekonomi berkelanjutan itu.

“Sehingga tercipta ruang untuk memperkuat dan mengembangkan aspek fundamental dan infrastruktur ekosistem keuangan berkelanjutan, misalnya terkait taksonomi, lembaga pendukung, regulasi, dan hal-hal lain guna mempercepat pembangunan dengan konsep hijau dan berkelanjutan,” kata Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Destry Damayanti dalam laman BI belum lama ini.

Bank Indonesia sudah siap menyediakan payung untuk investasi hijau dan keuangan berkelanjutan demi ekonomi hijau.

Keuangan berkelanjutan ini berkaitan dengan usaha mengembangkan sumber-sumber pembiayaan yang mendukung upaya dunia memerangi perubahan iklim, termasuk menangani risiko transisi menuju ekonomi rendah karbon.

Keuangan berkelanjutan sendiri menjadi salah satu topik dari enam isu prioritas bidang keuangan yang diangkat Indonesia selama Presidensi G20.

Mayoritas anggota G20 cenderung semakin serius menggarap investasi hijau ini. Semestinya memang ada tekad bersama untuk mendorong bagi terus berkembangnya investasi hijau mengingat hal ini terkait erat dengan dunia yang terus terancam pemanasan global.

Dampak pemanasan global sendiri semakin mengerikan dari waktu ke waktu, mulai dari berubahnya pola tanam yang merusak proses ekonomi di banyak negara, sampai bencana yang kian dahsyat yang kian menghancurkan pencapaian-pencapaian umat manusia.

Selain itu, ada harapan besar dari dunia kepada G20 untuk lebih serius memajukan ekonomi hijau.

Program Lingkungan PBB (UNEP) misalnya, menyatakan G20 mesti berinvestasi 285 miliar dolar AS per tahun sampai 2050 agar bisa mengatasi krisis-krisis terkait iklim, biodiversitas dan degradasi alam.

Saat ini tingkat investasi per tahun G20 baru mencapai 120 miliar dolar AS. Yang memprihatinkan adalah investasi sektor swasta untuk ekonomi hijau ini masih kecil, hanya 11 persen pada 14 miliar dolar AS per tahun, padahal sektor swasta menyumbangkan 60 persen dari total PDB kebanyakan negara G20.

Presidensi G20 akan memberi kesempatan kepada Indonesia untuk mengangkat ketimpangan ini guna diperbaiki dengan mengajak dunia semakin intensif mengalokasikan dana untuk investasi berbasis alam, baik oleh pemerintah maupun swasta.

Memang akan berlangsung alot tetapi dunia tak bisa lagi lari dari keharusan menekan emisi akibat pembakaran bahan bakar fosil.

Jika pada Presidensi G20 itu ada tekad ke arah upaya riil mewujudkan ekonomi hijau, maka itu akan menjadi bekal sangat berharga bagi Indonesia dalam memajukan ekonomi dan investasi hijau-nya sendiri. Selain itu, seperti disebut Presiden Joko Widodo beberapa waktu lalu, “Indonesia dapat lebih cepat berkontribusi terhadap program nol emisi dunia.”

Ada alasan sangat kuat Indonesia mesti menapaki jalan ekonomi hijau, yakni sifatnya yang dianggap sangat menguntungkan Indonesia.

Menurut Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS), jalur pembangunan karbon rendah menuju nol emisi nol pada 2045 dapat membuat Produk Domestik Bruto tumbuh rata-rata 6 persen per tahun, membuka 15,3 juta lapangan kerja, dan membuat Indonesia menjadi tujuan utama investasi swasta hijau.

Argumentasi ini bisa menjadi modal bagi Indonesia untuk mengajak dan meyakinkan G20 mengenai pentingnya segera beralih kepada ekonomi hijau.

Tren ekonomi hijau juga tak akan memudar, malah sebaliknya menguat. Fakta PBB menaksir angka kebutuhan investasi hijau global menunjukkan ekonomi hijau adalah keniscayaan yang tak bisa ditolak.

Bagi Indonesia sendiri, mempercepat transisi hijau bukan hanya langkah yang benar dalam melindungi umat manusia dan lingkungan, tetapi juga langkah cerdas dalam membangun ekonomi dan masa depan.

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Nurman Abdul Rahman