Jakarta, Aktual.com — Buku ‘Harry Potter’ merupakan sebuah fenomena tersendiri di dunia literatur. Serial karya J.K. Rowling ini terdiri dari tujuh buku dan juga buku terbarunya ‘Harry Potter and the Cursed Child’ berhasil terjual sebanyak ratusan juta kopi di seluruh dunia. Hal ini secara otomatis menjadikan ‘Harry Potter’ sebagai novel terlaris sepanjang sejarah.
Novel ini berkisah tentang kehidupan Harry, seorang anak lelaki malang yang diadopsi oleh paman dan bibinya yang kejam. Kehidupannya berubah drastis ketika Harry mengetahui bahwa dirinya adalah seorang penyihir yang mempunyai peranan penting dalam menyelamatkan dunia sihir dari kehancuran.
Harry pun memulai hidup barunya dengan bersekolah di sebuah Akademi Sihir bernama Hogwarts, di mana ia mengalami berbagai pengalaman fantastis hingga sebuah petualangan berbahaya untuk melawan Lord Voldemort, sosok penyihir jahat yang mengancam kehidupan umat manusia.
Kisah fiksi seperti ‘Harry Potter’ adalah salah satu dari genre tulisan yang mengedepankan imajinasi dan daya khayal penulisnya. Buku fiksi ini disusun berdasarkan pada kisah-kisah khayalan oleh penulisnya. Dan, bolehkah generasi muda Islam membaca buku fiksi tersebut, seperti ‘Harry Potter’ yang tidak sesuai dengan tuntunan Islam?
“Untuk masalah ini memang telah lama menjadi sebuah perdebatan antara Ulama karena ada dua pendapat yang berbeda akan hal ini ada yang berkata haram dan ada yang berkat mubah,” tutur Ustad Hasanudin, kepada Aktual.com, Senin (15/02), di Jakarta.
Mengapa hukumnya haram?. Menurut Ustad Hasanudin, karena berdasarkan Fatwa Asy Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan, kisah fiksi seperti ini merupakan kedustaan yang hanya menghabiskan waktu si pembaca tanpa memberikan manfaat. Jadi lebih baik bagi seseorang untuk tidak menyibukkan diri dengan perkara tersebut.
Ustad Hasanudin menjelaskan, apabila aktivitas membaca kisah fiksi ini membuat seorang Muslim lalai dari perkara yang hukumnya wajib, maka kegiatan ini hukumnya haram. Dan, jika kegiatan ini melalaikan seorang Muslim dari perkara yang hukumnya sunnah maka kegiatan ini hukumnya makruh.
Dalam setiap kondisi, lanjut ia, waktu seorang Muslim sangatlah berharga. Jadi tidak boleh bagi dirinya untuk menghabiskan waktunya untuk perkara yang tidak ada manfaatnya.
Diharamkan bagi seorang Muslim membaca buku cerita bohong atau novel khayalan tersebut. Karena kisah-kisah yang terdapat dalam Al Quran, Al Hadis, dan kisah nyata lainnya sudah cukup untuk dijadikan pelajaran dan peringatan yang bagus bagi umat Islam.
Ada tiga sebab mengapa dilarang membaca buku fiksi yaitu,
1.Cerita fiksi adalah bentuk kedustaan (bohong)
2.Cerita fiksi tidak dapat dijadikan wasilah dakwah karena sifatnya yang tidak ada contohnya pada masa Nabi Muhammad SAW.
3. Kisah fiksi hanya membuang-buang waktu dan melalaikan dari Al Quran dan As Sunah serta kisah-kisah nyata lainnya.
Dan mengapa, ada Ulama yang mengatakan membaca cerita fiksi ‘mubah’, lantaran terdapat Hadis sahih dari Rasulullah SAW. Beliau bersabda, “Sampaikanlah cerita-cerita yang berasal dari Bani Israil dan itu tidaklah mengapa” (HR Ahmad, Abu Daud dll).
Dalam Mushannaf Ibnu Abi Syaibah terdapat tambahan, “Karena sesungguhnya dalam cerita-cerita Bani Israil terkandung cerita-cerita yang menarik”. Tambahan Ibnu Abi Syaibah ini dinilai sahih oleh Al Albani.
قال أهل العلم: وهذا دالٌّ على حل سماع تلك الأعاجيب للفرجة لا للحجة، أي لإزالة الهم عن النفس، لا للاحتجاج بها، والعمل بما فيها.
Para Ulama mengatakan, bahwa Hadis tersebut menunjukkan bolehnya mendengarkan cerita-cerita Bani Israil yang menarik sekedar untuk hiburan, bukan untuk berdalil. Dengan kata lain, hanya untuk menghilangkan kegundahan hati, bukan untuk berdalil dan beramal dengan isi kandungannya.
وبهذا الحديث استدل بعض أهل العلم على حل سماع الأعاجيب والفرائد من كل ما لا يتيقن كذبه بقصد الفرجة، وكذلك ما يتيقن كذبه، لكن قصد به ضرب الأمثال والمواعظ، وتعليم نحو الشجاعة، سواء كان على ألسنة آدميين أو حيوانات إذا كان لا يخفى ذلك على من يطالعها.
هكذا قال ابن حجر الهيثمي – رحمه الله – من الشافعية.
Hadis di ataslah yang dijadikan dalil oleh sebagian Ulama untuk menunjukkan bolehnya mendengarkan atau membaca cerita-cerita yang unik dan menarik dengan tujuan hiburan dengan syarat cerita tersebut tidak diketahui secara pasti kebohongannya.
Sedangkan, masih dari Ustad Hasanudin, cerita tersebut sudah diketahui secara pasti kebohongannya maka boleh dikisahkan dengan syarat maksud dari membawakan cerita tersebut untuk membuat permisalan. Sebagai nasihat dan menanamkan sifat berani serta baik tokoh dalam cerita tersebut. Misalnya, manusia atau pun hewan asalkan semua orang yang membacanya pasti paham bahwa cerita fiksi itu hanya sekedar imajinasi atau karangan semata.
Inilah pendapat Ibnu Hajar al Haitaimi, seorang Ulama bermazhab syafii.
وذهب آخرون وهم علماء الحنفية إلى كراهة القصص الذي فيه تحديث الناس بما ليس له أصل معروف من أحاديث الأولين، أو الزيادة، أو النقص لتزيين القصص.
Di sisi lain para Ulama bermazhab Hanafi berpendapat makruhnya kisah yang isinya adalah hal-hal yang tidak berdasar berupa kisah-kisah tentang kehidupan masa lalu atau memberi tambahan atau pengurangan pada kisah nyata dengan tujuan memperindah kisah.
ولكن لم يجزم محققو المتأخرين منهم كابن عابدين بالكراهة إذا صاحب ذلك مقصد حسن، فقال ابن عابدين رحمه الله: (وهل يقال بجوازه إذا قصد به ضرب الأمثال ونحوها؟ يُحَرَّر).
Namun demikian, Ulama Muhaqqiq (pengkaji) yang bermazhab Hanafi dari generasi belakangan semisal, Ibnu Abidin tidak menegaskan makruhnya hal tersebut jika orang yang melakukan memiliki niat yang baik.
Ibnu Abidin mengatakan, “Mungkinkah kita katakan bahwa hukum hal tersebut adalah mubah jika maksud dari membawakan kisah tersebut untuk membuat permisalan dengan tujuan memperjelas maksud atau niat baik semisalnya? Perlu telaah ulang untuk memastikan hal ini.”
Kesimpulan yang kita dapat mengenai kajian kisah fiksi ini adalah diperbolehkan membaca buku yang berisi cerita fiksi dengan dua syarat yaitu,
a. Orang yang membacanya menyadari bahwa cerita tersebut hanyalah fiksi.
b. Maksud dari ditulisnya cerita tersebut adalah niat yang baik semisal menanamkan akhlak-akhlak mulia.
أو ضرب الأمثال للتعليم كمقامات الحريري مثلاً، والتي لم نطلع على إنكاره من أهل العلم مع اطلاعهم عليها، وعلمهم بحقيقتها، وأنها قصص خيالية لا أصل لها في الواقع.
“Atau dengan tujuan sekedar membuat permisalan dalam proses belajar mengajar sebagaimana al maqamat karya Al Hariri. Sepanjang pengetahuan kami tidak ada satu pun ulama di masa silam yang mengingkari al maqamat tersebut padahal mereka mengetahui adanya buku fiksi tersebut dan mereka mengetahui bahwa hakikat buku tersebut adalah kisah-kisah fiksi yang tidak ada di alam nyata,” kata ia menutup pembicaraan.
Artikel ini ditulis oleh: