Komisi VI DPR RI Hafisz Thohir (Aktual/Ilst.Nelson)
Komisi VI DPR RI Hafisz Thohir (Aktual/Ilst.Nelson)

Jakarta, Aktual.com — Sejak diresmikan pelaksanaan pembangunannya oleh Presiden Joko Widodo, Kamis (21/1) pekan lalu, Komisi VI DPR RI terus mendapatkan pertanyaan seputar proyek kereta cepat Jakarta – Bandung. Namun, selama itu pula Komisi VI DPR tidak bisa menjawab pertanyaan demi pertanyaan yang masuk.

“Kalau ada (pembahasan) kan kami bisa jawab, oh dari sisi ini tidak visible, dari sisi ini visible dan lain-lain. Kami enggak punya seperti proposalnya,” terang Ketua Komisi VI Hafidz Thohir kepada wartawan kemarin, ditulis Kamis (28/1).

Diakui dia, pelaksanaan proyek kereta cepat Jakarta Bandung bersifat bisnis to bisnis. Dengan kata lain pembiayaan dalam proyek tersebut tidak menggunakan anggaran negara. Akan tetapi pelaksana dari proyek itu melibatkan empat BUMN yang tergabung dalam PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia (PSBI).

“Tetap diperlukan ijin karena menyangkut 4 BUMN yang asetnya dimiliki negara. Kan ada Undang-Undangnya BUMN itu, dimana kekayaan negara yang dipisahkan, itulah BUMN itu,” terangnya.

“Jadi harus sepengetahuan DPR meskipun bisnis to bisnis, apalagi ini sizenya lima setengah bilion US Dolar. Kalau kita rupiahkan nilainya Rp 77 triliun kalau dikali kurs Rp 14 ribu,” sambung Hafidz.

Anggota Fraksi PAN itu menambahkan, keterlibatan empat BUMN dalam proyek kereta cepat yang diketahuinya dari media massa komposisinya pembiayaannya 25 persen dari total nilai proyek. Sementara pihak investor, China Railway International Co. Ltd sebesar 75 persen.

Besaran komposisi 25 persen dari nilai proyek yakni sekitar Rp 77 triliun adalah Rp 20 triliun. Nilai yang sangat besar yang tidak cukup bagi empat BUMN semata mengandalkan non performance asset.

“Enggak mungkin, pasti orang akan melihat asetnya sejauh mana. Asetnya ini milik siapa? Milik negara. Negara ini siapa yang mengawasi? Parlemen. Jadi kalau ditanya tidak perlu ijin parlemen, salah itu,” jelas Hafidz.

Artikel ini ditulis oleh: