Jakarta, Aktual.com – Presiden Prabowo telah menandatangani Peraturan Presiden Nomor 109 Tahun 2025, yang mengatur pengolahan sampah perkotaan melalui Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) berbasis teknologi ramah lingkungan. Langkah cepat dilakukan BPI Danatara untuk merealisasikan perintah Presiden.
Proses tender proyek pembangunan PLTSa sedang berlangsung, tahap awal pembangunan PLTSa ada di tujuh kota. Proyek yang akan didanai menggunakan dana Patriot Bond senilai Rp 50 triliun dan ditargetkan memiliki commercial operation date (COD) pada 2028 ini, langsung diikuti 24 perusahaan dari China, Jepang, dan Eropa yang terverifikasi.
Selanjutnya perusahaan yang terpilih akan menjadi Badan Usaha Pengembang dan Pengelola (BUPP) Pengolahan Sampah menjadi Energi Listrik (PSEL). Korporasi inilah nanti yang merencanakan, membangun, dan mengoperasikan PLTSa, hingga menjual setrum untuk dijual ke PT PLN dengan harga 20 sen dollar AS per kilowatt per jam (kwh).
Proyek ambisius dengan dana besar ini mendorong sejumlah lembaga nonpemerintah meminta transparansi seluruh kontrak dan skema pembiayaan. Selain itu sejumlah organisasi pemerhati lingkungan yang tergabung dalam Aliansi Zero Waste Indonesia (AZWI) menyampaikan sejumlah catatan kritis terhadap proyek yang akan dibangun tersebut.
Bayang Bayang Korupsi Dibalik Proyek Gunung Sampah
Urban Campaign Team Leader Greenpeace Indonesia Atha Rasyadi menyampaikan, Peraturan Presiden (Perpres) No. 109 Tahun 2025 tentang Percepatan PSEL minim konsultasi publik dan membuka jalan bagi proyek insinerator mahal dan beresiko tinggi secara fiskal.
“Proyek ini berpotensi menjerat keuangan negara melalui kontrak jangka panjang yang mahal, memperburuk pencemaran, mengancam mata pencaharian jutaan pekerja informal, serta tidak sejalan dengan mandat UU No. 18 Tahun 2008,” katanya.
Baca juga:
Menunggu Bukti Istana, Sulap Sampah Jadi Listrik
Pembangunan PLTSa, menurutnya, juga bertentangan dengan strategi nasional pengurangan sampah di sumber. Selain itu ia mencurigai, dibalik narasi energi bersih dan modernisasi pengelolaan sampah yang melibatkan PLN dan Danantara, tersembunyi skema subsidi semu yang berpotensi menguras kas negara hingga puluhan triliun rupiah selama 30 tahun ke depan.
“Setiap proyek PSEL berkapasitas 1.000 ton per hari dapat membebani PLN hingga Rp600 miliar per tahun yang berpotensi menciptakan risiko jebakan fiskal (fiscal trap) melalui kontrak Panjang,” ungkapnya.
Atha juga mengungkapkan, Perpres 109/2025 kurang layak secara bisnis dan teknis. Aturan dari revisi Perpres Nomor 35 Tahun 2018 ini justru meningkatkan tarif dan memperpanjang kontrak sehingga terkesan menguntungkan. Padahal, katanya, sebenarnya membebani keuangan PLN dan APBN serta menimbulkan risiko signifikan bagi lingkungan.
“Perpres ini disusun tanpa analisis kelayakan yang komprehensif yang membandingkan PSEL dengan skenario pengelolaan sampah alternatif, baik dari sisi pendanaan maupun kemampuan pemerintah daerah dalam menjalankan operasional pengelolaan sampah,” ucapnya.
Selain itu, anggaran besar untuk proyek ini justru bisa mengurangi kemampuan daerah mengelola sampah harian. Jika PSEL dijalankan dengan menerapkan standar emisi dan keselamatan yang benar, biaya pengolahan per ton akan menjadi sangat mahal, jauh melampaui kemampuan fiskal daerah yang rata-rata di bawah Rp500 ribu per ton.
“Studi terbaru Universitas Wiralodra di Indramayu menunjukkan biaya ideal pengelolaan sampah mencapai Rp265.000–Rp308.000 per ton, dan bisa melonjak hingga Rp1 juta per ton untuk pengolahan intensif. Kesenjangan ini menandakan eksternalisasi biaya besar-besaran, beban lingkungan dan sosial ditanggung masyarakat, sementara keuntungan dinikmati segelintir pihak,” paparnya.
Disisi lain, Manajer Kampanye Infrastruktur dan Tata Ruang WALHI Eksekutif Nasional, Dwi Sawung, menegaskan, teknologi PSEL merupakan opsi paling mahal jika ingin memenuhi standar emisi rendah.
“PSEL membutuhkan investasi besar dan biaya operasional tinggi, namun untuk insinerator, capex dan opex ditanggung oleh PLN atau disubsidi oleh pemerintah pusat. Meski demikian, sebagian besar pemerintah daerah masih kesulitan membiayai sistem pengumpulan sampah konvensional. Skema ini tetap berisiko mengunci anggaran publik dalam jangka panjang,” katanya.
Baca juga:
Walhi Sebut Perpres 109 2025 “Jurus Mabuk” Pemerintah Atasi Darurat Sampah
Apalagi, ujarnya, dari aspek teknis, mayoritas kota di Indonesia tidak memiliki timbulan sampah yang cukup untuk memenuhi kapasitas insinerator sebesar 1.000 ton per hari. “Mayoritas timbulan sampah di Indonesia, lebih dari 60%, adalah sampah organik dengan kelembaban tinggi dan bernilai kalor rendah, tidak layak bakar,” paparnya.
Karena itu, untuk menghindari risiko fiskal dan korupsi tinggi mestinya Danantara membuka seluruh kontrak dan skema pembiayaan PSEL secara transparan dan melakukan konsultasi kepada publik, termasuk perhitungan tipping fee, sumber dana, dan alokasi subsidi.
Pengelolaan Sampah dan Ancaman Sumber Racun Baru
Senior Advisor Nexus3 Foundation Yuyun Ismawati, menyikapi pengawasan emisi dari sumber tidak bergerak, seperti PSEL di Indonesia. Ia menilai pengawasnnya sangat longgar dan nyaris simbolik. Tidak ada sistem pemantauan emisi dioksin, furan, dan logam berat yang berjalan secara berkelanjutan serta transparan seperti yang disyaratkan di banyak negara.
Menurutnya, Peraturan Menteri Lingkuhan Hidup yang ada sekarang hanya mensyaratkan uji emisi dioksin dan furan, yang dikenal sebagai karsinogen, denga rentang waktu hanya lima tahun sekali. Aturan yang akan sangat membahayakan publik karena dioksin dan furan bisa keluar kapan saja, ketika suhu tungku turun atau bahan bakar tidak stabil.
“Tanpa pemantauan real-time dan akses data publik, PSEL berubah menjadi pabrik racun baru, bukan solusi pengelolaan sampah,” tegasnya.
Selain itu, Manajer Kampanye Polusi dan Urban Walhi Abdul Ghofar menyebut proyek PLTSa sebagai ‘investasi menabur benih kerusakan’ dengan biaya tinggi, dimana Proyek PLTSa membutuhkan investasi besar sekitar 1 sampai 1,5 triliun per lokasi.
“Empat studi kasus kami di Jakarta, Bandung, Surakarta, dan Surabaya, di mana sudah ada PLTSa menemukan, dengan investasi yang mahal PLTSa malah mengakibatkan kerusakan, bukan kemanfaatan lingkungan. Karena muncul polusi udara baru akibat fly ash and bottom ash di udara,” paparnya.
Baca juga:
PLN EPI Pamerkan Keunggulan Hidrogen di Ajang GHES
Menurutnya, agar tidak menilmbulkan sumber racun baru, Kementerian LH mestinya memperketat sistem pemantauan dan pengawasan lingkungan. Termasuk, pengukuran emisi dioksin, furan, logam berat, dan abu beracun secara real-time dan transparan kepada publik. Hal itu, untuk mencegah kebocoran polusi dari fasilitas pembakaran.
Ia pun mengungkapkan, saat ini Walhi telah mendapat banyak laporan dan keluhan masyarakat dengan konsep pembakaran sampah untuk mengolahnya menjadi energi, hingga membentuk Koalisi Anti Bakar Sampah.
Zero Waste dari Sumber
Direktur Operasional Yaksa Pelestari Bumi Berkelanjutan Fictor Ferdinand, mengatakan, pembakaran sampah dan merubahnya menjadi energi bukanlah solusi mengatasi darurat sampah. Menurutnya, darurat sampah bisa tertangani melalui melalui perubahan sistemik di hulu.
“Melalui penguatan kebijakan pengurangan di sumber. Seperti, pembatasan produk sekali pakai sejak produksi, dan perluasan sistem pemilahan agar masyarakat dapat berperan aktif. Sekitar 60% sampah Indonesia yang bersifat organik dapat dikelola tanpa pembakaran melalui kompos, maggotisasi, atau biogas komunitas,” paparnya.
Fictor menyampaikan, pihaknya telah mengembangkan model-model pengelolaan sampah yang lebih memberikan manfaat untuk masyarakat. Karena dalam pengelolaannya melibatkan peran pemulung, para petani kota, peternak, dan komunitas maggot.
“Mereka ini sebenarnya yang saat ini melakukan ‘penghabisan’ sampah, namun kenyataannya selama ini tidak mendapat pengakuan dan dukungan yang cukup dari pemerintah. Apalagi dengan adanya PLTSa,” ujarnya.
Baca juga:
Indonesia dan Jepang: Jejak Berbeda dalam Transisi Energi Terbarukan
Menurutnya, pengelolaan model Zero Waste Cities yang dikembangkan pihaknya di Bandung, Denpasar, dan Gresik telah membuktikan pendekatan berbasis masyarakat jauh lebih inklusif dan berkelanjutan dibanding teknologi PSEL yang boros dan berisiko tinggi.
“Solusi cepat dan tepat adalah percepatan pemilahan sampah serta penerapan Permen LHK 75/2019 mengenai peta jalan pengurangan sampah oleh produsen. Hambatan terbesar sebenarnya berada pada kesiapan tata kelola untuk pengelolaan dan pengurangan, bukan pada teknologi pengolahan,” pungkasnya.
Projek Sampah dan Pemulung yang Terpinggirkan
Sampah takhanya menjadi ancaman lingkungan, namun disisi lain sampah menjadi sumber penghidupan ekonomi sekelompok masyarakat, seperti di Bantargebang.
Direktur Yayasan Gita Pertiwi Titik Sasanti menyampaikan, dari sisi sosial, proyek PLTSa meminggirkan peran pemulung, yang selama puluhan tahun menjadi garda terdepan memilah dan mendaur ulang sampah. Kelompok minoritas ini teranacam kehilangan mata pencaharian oleh proyek ini.
“Karena seluruh sampah dialihkan ke fasilitas pembakaraan, padahal material-material tersebut seharusnya tidak perlu dibakar. Ini bukti nyata, proyek semacam ini bukan hanya gagal secara teknis, tapi juga menyingkirkan keadilan sosial dan ekonomi lokal,” katanya
Ghofar menyebutkan, peran pemulung yang terabaikan itu berpotensi memuncul konflik baru di masyarakat. Selain itu, proyek baru ini akan menghilangkan sektor informal daur ulang sampah yang sudah berjalan dan menjadi ekosistem sosial tersendiri.
Menurutnya, semestinya Pemerintah mengutamakan solusi penanganan sampah yang berbasis sumber. Seperti, pemilahan, pengomposan, maggotisasi, biogas komunitas, dan daur ulang. Solusi ini, katanya, terbukti lebih efektif dan berkeadilan sosial.
Laporan: Muhammad Hamidan
Artikel ini ditulis oleh:
Erobi Jawi Fahmi
Eka Permadhi

















