Jakarta, Aktual.com – Mahkamah Konstitusi (MK) telah menolak permohonan Pemohon untuk mendiskualifikasi Cawapres KH Ma’ruf Amin karena, salah satu dalilnya, masih menjabat sebagai Dewan Pengawas Syariah di Dua Bank yang berstatus Anak Perusahaan (AP) BUMN, yakni Bank Syariah Mandiri dan BNI Syariah.

Dalam pertimbangannya saat membacakan putusan Sengketa Pilpres 2019, Hakim MK menyatakan kedua bank syariah tersebut bukanlah berstatus BUMN, meskipun ada penyertaan BUMN menjadi modal kedua bank syariah tersebut.

“Bahwa modal atau saham Bank BNI Syariah dimiliki oleh PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk dan PT BNI Life Insurance. Adapun komposisi pemegang saham Bank Syariah Mandiri adalah PT Bank Mandiri (Persero) Tbk dan PT Mandiri Sekuritas. Dengan demikian, mengingat tidak ada modal atau saham dari negara yang bersifat langsung yang jumlahnya sebagian besar dimiliki oleh negara, maka kedua bank tersebut tidak dapat didefinisikan sebagai BUMN, melainkan berstatus AP BUMN, karena didirikan melalui penyertaan saham yang dimiliki oleh BUMN atau dengan kata lain modal atau saham kedua bank tersebut sebagian besar dimiliki oleh BUMN,” demikian bunyi Pertimbangan MK saat pembacaan putusan sengketa Pilpres, Kamis (27/6/2019) lalu.

Lantas apa kaitannya Putusan MK dengan Vonis bersalah Pengadilan Tipikor Jakarta pada Senin (10/6/2019) lalu dengan Terdakwa Mantan Dirut Pertamina, Karen Agustiawan, terkait Akuisisi Blok Basker Manta Gummy (BMG)?

Akuisisi Blok BMG di Australia dilakukan oleh AP Pertamina, yakni PT Pertamina Hulu Energi (PHE) pada 2009. Jika menggunakan dalih MK di atas, maka akuisisi yang dilakukan PHE tidak dapat dikategorikan sebagai kerugian negara. Hal ini karena modal yang digunakan oleh PHE bukanlah berasal langsung dari negara, sehingga Aparat Penegak Hukum (APH) semestinya tidak boleh menjadikan ini sebagai objek untuk menjadikan seseorang (Pejabat Direksi ataupun Komisaris) sebagai tersangka Tipikor.

Sebagaimana fakta di lapangan, bahwa PT Pertamina (Persero) dibentuk pada tahun 2003 tanpa modal awal dan atau penambahan modal dari APBN setiap tahunnya. Modal awal yang diakui oleh Pemerintah RI adalah justru Nilai Aset Pertamina sendiri yang dibukukan di tahun 2003 sebesar Rp84,5 Triliun. Sementara PT PHE dibentuk pada tahun 2008, sehingga jelas tidak ada aliran uang yang bersifat langsung dari Pemerintah RI kepada PT PHE.

Lebih jauh lagi, menurut Pakar Hukum Keuangan dan Administrasi Negara, Dian Puji N Simatupang, dalam Teori Hukum Keuangan Publik, BUMN dan AP BUMN seharusnya merupakan entitas hukum yang berbeda dan terpisah dalam tata kelola, regulasi, dan pengelolaan risikonya. Sehingga terhadapnya tidak dapat diperlakukan sebagai keuangan negara.

“BUMN memperoleh penyertaan modal dari negara sebagai kekayaan negara yang dipisahkan, sehingga secara hukum kekayaan tersebut menjadi milik BUMN, sedangkan negara memperoleh saham sebagai penggantinya,” jelasnya.

“Demikian juga, AP BUMN sebagai badan hukum memperoleh penyertaan modal dari BUMN induknya sebagai kekayaan BUMN yang dipisahkan, sehingga secara hukum kekayaan tersebut menjadi milik AP BUMN, dan BUMN induknya memperoleh saham sebagai penggantinya,” jelasnya lagi.

Dian menambahkan, saham yang dimiliki Negara pada BUMN, dan saham yang dimiliki BUMN pada AP BUMN, seharusnya tidak menunjukkan bukti kepemilikan atas kekayaan dan keuangan yang telah disetorkan, tetapi hanya sebagai bukti pengendalian secara korporasi.

“Saham digunakan sebagai bukti pengendalian dalam menciptakan tata kelola perusahaan yang baik dan berkepastian hukum. Artinya, saham tidak serta-merta bisa mengubah status kekayaan dan keuangan yang dimiliki BUMN atau AP BUMN. Status tersebut sudah berubah atau tidak lagi menjadi milik negara (tetapi milik BUMN), dan tidak lagi menjadi milik BUMN (tetapi milik AP BUMN),” urainya.

Kemudian lanjutnya, selama ini ada persepsi di Aparat Penegak Hukum (APH) bahwa keuangan negara “merambat” jauh ke manapun mengalirnya. Sehingga, meskipun telah lolos dari Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) BUMN dan telah diaudit oleh BPK RI, para Jaksa Penuntut Umum (JPU) dan Hakim masih boleh men-challenge Keputusan Pemegang Saham (Menteri BUMN) dan Hasil Pemeriksaan Auditor BPK/BPKP. Bahkan, hanya dengan menggunakan jasa dari sebuah Kantor Akuntan Publik (KAP) yang diragukan kompetensinya dan diduga telah melanggar kode etik.

“Dengan adanya persepsi tersebut, APH terlibat terlalu jauh menelusuri keuangan sampai anak-anak bahkan cucu-cucu perusahaan BUMN yang justru tidak ada keterkaitannya dengan keuangan negara. Hal ini telah menimbulkan terjadinya ketidakpastian hukum dan menyulitkan para Pengurus/Pengelola BUMN. Padahal, keuangan negara harus memiliki batasan hak dan kewajiban agar ada kepastian hukum, sehingga antara peraturan perundang-undangan dan kenyataan hukum di lapangan akan memiliki padanan yang sama,” ungkapnya.

Ketidakpastian hukum ini telah banyak melahirkan keresahan karena adanya banyak “kejanggalan” pada kasus-kasus Tipikor, utamanya yang melibatkan BUMN dan AP BUMN. Dari banyak kasus yang ada, yang paling aktual adalah kasus investasi oleh PT PHE di atas.

Dalam sebuah aksi korporasinya PHE berinvesati di Blok Migas Basker Manta Gummy (BMG) Australia pada 2009, yang kemudian menjadi kasus pidana korupsi. Karena adanya ketidakpastian hukum dalam tata kelola, regulasi, dan pengelolaan risikonya, kini Mantan Direktur Utama, Karen Agustiawan, telah divonis Pengadilan Tipikor Jakarta 8 tahun penjara dan Denda Rp1 miliar, meskipun tanpa aliran dana yang memperkaya dirinya.

Dengan adanya Putusan MK yang menyatakan AP BUMN bukanlah BUMN, seharusnya ini menjadi titik terang dan sudah seharusnya membatalkan vonis hukum yang sudah terlanjur dijatuhkan kepada para Terpidana karena tuduhan korupsi di BUMN dan atau AP BUMN. Putusan MK ini harus menjadi “angin segar” bagi terwujudnya kepastian hukum yang selama ini selalu memiliki multitafsir.

Sudah saatnya Presiden terpilih 2019-2024, Joko Widodo, memanggil Ketua BPK, Menteri Keuangan, Menteri BUMN dan Ketiga Aparat Penegak Hukum (Kejagung, Kepolisian dan KPK) guna mengakhiri multitafsir dalam sistem penegakan hukum di Indonesia.

Lebih baik membebaskan seribu orang yang bersalah daripada menghukum seorang yang benar…

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Arbie Marwan