Jakarta, Aktual.com – Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta yang mengabulkan gugatan Ketua Umum Partai Hanura Oesman Sapta Odang (OSO) dinilai menjadi koreksi total atas pertimbangan dan amar putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang melarang pengurus partai politik mendaftar sebagai calon anggota legislatif (Caleg) DPD RI.

Penilaian ini diungkapkan oleh Wakil Sekretaris Bidang Hukum dan HAM Partai Hanura Petrus Selestinus.

“Putusan ini telah memberi arah baru bagi sejarah perkembangan politik ketatanegaraan Indonesia yaitu pengurus parpol dibolehkan menjadi caleg DPD RI pada Pemilu 2019,” ujar Petrus di Jakarta, Kamis (15/11).

Sebagaimana diketahui, putusan PTUN mengabulkan gugatan OSO dan memerintahkan KPU mencantumkan kembli nama OSO sebagai Calon Tetap Perseorangan Peserta Pemilu Anggota DPD RI 2019.

“Jadi, putusan PTUN Jakarta merupakan sebuah terobosan karena mengoreksi secara total seluruh Pertimbangan Hukum dan Amar Putusan MK,” tambah Petrus.

Putusan MK yang dimaksud adalah putusan MK Nomor 30/PUU-XVI/2018, tanggal 23 Juli 2018, tentang Uji Materiil Pasal 182 huruf l UU Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu, yang melarang pengurus Parpol tidak boleh merangkap menjadi anggota DPD RI dalam pemilu 2019 dstnya.

Menurut Petrus, putusan PTUN Jakarta ini sekaligus menunjukan bahwa Majelis Hakim PTUN Jakarta, mendukung penuh Putusan Mahkamah Agung RI dalam perkara uji materiil Peraturan KPU Nomor 26 Tahun 2018 tentang Pencalonan DPD yang digugat oleh OSO karena mengatur larangan calon perseorangan anggota DPD dari pengurus Parpol.

“Jadi, putusan PTUN Jakarta memperkuat putusan MA yang membatalkan PKPU dengan alasan Putusan MK tidak boleh berlaku surut,” tandas dia.

Di mata OSO, kata Petrus, putusan MK, tidak hanya telah “mencedarai” rasa keadilan publik akan tetapi sekaligus menimbulkan “anomali” dalam penyelenggaraan Pemilu 2019. Karena itu, kata dia, OSO harus berjuang keras untuk meluruskan jalan yang bengkok demi menyelamatkan marwah Partai Politik termasuk partai Hanura dan puluhan bahkan ratusan kader parpol yang menjadi calon perseorangan anggota DPD 2019.

“Ini adalah akibat keteledoran MK dalam membuat Pertimbangan Hukum dan Amar Putusan dalam perkara Nomor 30/PUU-XVI/2018, tanggal 23 Juli 2018, yaitu melanggar asas retroaktif berupa memberlakukan putusannya untuk pemilu 2019, yang tahapan-tahapannya sudah berjalan jauh ke depan,” terang dia

OSO, menurut Petrus, mempunyai alasan yang lebih substantif yaitu ingin meluruskan pemahaman yang keliru dari MK di mana pekerjaan pengurus parpol disejajarkan dengan pekerjaan profesional seperti advokat, notaris, PPAT, akuntan publik, dokter dan pekerjaan lainnya yang pekerjaannya didasarkan pada bayaran karena keahliannya.

“Sedangkan pengurus parpol itu pekerjaan yang didasarkan pada kehendak bersama secara sukarela, tanpa dibayar dan tanpa mensyaratkan keahlian khusus, untuk mewujudkan cita-cita nasional bangsa Indonesia, menjaga keutuhan NKRI sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan UUD 1945 dan UU Partai Politik,” terang dia.

Selain itu, lanjut dia, antara visi dan misi parpol menurut UU Partai Politik di satu pihak dan visi, misi, hak, kewajiban dan tanggung jawab anggota DPR dan DPD menurut UU MD3 Nomor 17 Tahun 2014 di pihak lain, secara kasat mata terdapat persamaan.

Pasalnya, kedua UU tersebut sama-sama mengemban rangkaian tugas, tanggung jawab, hak dan kewajiban konstitusional mewujudkan tujuan nasional sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan UUD 1945, yang kelak dipertanggungjawabkan secara moral dan politis kepada masyarakat dan pemilih di daerah yang diwakilinya masing-masing.

Dengan demikian, kata Petrus, kekhawatiran MK tentang pengurus parpol yang menjadi caleg DPD berpotensi melahirkan perwakilan ganda atau double representation dan bertentangan dengan pasal 22D UUD 1945, sangat tidak berdasar secara hukum.

“Ini sesungguhnya sebuah kekhawatiran yang bersifat semu, karena OSO akan buktikan kelak bahwa tidak akan ada perwakilan ganda karena pada hakekatnya parpol mengemban misi melahirkan kader-kader untuk mendapatkan kekuasaan di lembaga legislatif, eksekutif dan yudikatif dan sekali lagi DPR dan DPD bukan wakil Partai Politik melainkan wakil rakyat dan wakil daerah,” pungkas dia menambahkan.

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Teuku Wildan