Aliran Uang Ilegal ke Luar Negeri Meningkat Rp 85 Triliun (Aktual/Ilst.Nelson)

Jakarta, Aktual.com — Peneliti Kebijakan Ekonomi Publish What You Pay (PWYP) Indonesia Wiko Saputra mengatakan, aliran uang ilegal dari Indonesia ke luar negeri meningkat menjadi Rp227,75 triliun pada 2014 dari Rp141,82 triliun pada 2003.

“Indonesia termasuk lima negara dengan jumlah aliran uang ilegal terbesar di dunia setelah Tiongkok, Rusia, India, dan Malaysia,” ujar Wiko dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Kamis (22/10).

Dari sejumlah dana ilegal tersebut, Wiko menuturkan aliran uang ilegal terbesar berasal dari sektor pertambangan, diantaranya migas, mineral dan batubara/bahan galian, dengan kenaikan aliran uang ilegal sebesar 102,43 persen dalam kurun 2003-2014 atau rata-rata kenaikan per tahun sebesar 8,53 persen.

Pada 2003, ujar dia, total aliran uang ilegal di sektor pertambangan diperkirakan sebesar Rp11,80 triliun, sedangkan tahun 2014 naik menjadi Rp23,89 triliun.

“Aliran uang ilegal di sektor pertambangan diakibatkan adanya transaksi perdagangan faktur palsu (trade mis-invoicing). Hal ini terjadi karena maraknya tambang-tambang ilegal yang beroperasi (illegal mining) dan terjadi ekspor komoditi pertambangan yang tidak tercatat,” kata Wiko.

Selain itu, menurut dia, besarnya jumlah aliran uang ilegal di sektor pertambangan disebabkan tingginya indikasi penghindaran dan pengelakan pajak yang melibatkan perusahaan pertambangan di Indonesia.

Indikasi tersebut, ujar dia, dapat dilihat dari data realisasi penerimaan pajak di sektor pertambangan hanya sebesar Rp96,9 triliun, sementara Produk Domestik Bruto (PDB) sektor pertambangan sebesar Rp1.026 triliun.

“Artinya, nisbah penerimaan pajak terhadap PDB (tax ratio) sektor pertambangan hanya sebesar 9,4 persen,” tutur Wiko.

Sementara itu, berdasarkan data hasil Koordinasi dan Supervisi KPK dengan Kementerian ESDM dan instansi terkait, dari 7.834 perusahaan yang didata oleh Direktorat Jenderal Pajak, sebesar 24 persen tidak memiliki NPWP, serta sekitar 35 persen tidak melaporkan SPT.

Sementara itu, Peneliti Indonesia for Global Justice (IGJ) Rachmi Hertanti mengatakan dengan adanya indikasi kejahatan keuangan dan perpajakan dari perusahaan pertambangan tersebut, rencana pemerintah mengeluarkan RUU Pengampunan Nasional yang akan memberikan pengampunan bagi Wajib Pajak Badan/Perusahaan termasuk perusahaan pertambangan merupakan hal yang tidak tepat.

“Dengan adanya wacana pemerintah untuk memberikan pengampunan pajak dan kejahatan keuangan lainnya bagi perusahaan tambang, tindakan pengemplangan pajak, transaksi keuangan ilegal oleh perusahaan pertambangan akan bertambah,” tutur dia.

 

Artikel ini ditulis oleh:

Eka