Mencipta Tanda, Melahirkan Pemimpin

Setiap gerakan kebangkitan-kepemimpinan selalu bermula dari tanda (sistem simbol). Tanda baru yang menjadi mercusuar, ke arah mana idaman orang diarahkan; tanda baru yang menjadi pembatas antara tradisi dan inovasi, masa lalu dan masa depan.

Kata dan bahasa adalah rumah tanda. Karena tidak ada kemungkinan mengada di luar tanda (bahasa), maka sebagai rumah tanda, mereka (kata dan bahasa) pun menjadi rumah kehidupan. Meminjam Martin Heidegger, ”Language is the house of being.

Sebagai rumah kehidupan, upaya perjuangan dan kebangkitan dan kepemimpinan apa pun harus bermula dari  bebenah sistem simbolik; dengan jalan merebut dan menghidupkan kembali darah kata.

Taruhlah, gerakan kebangkitan dan kebangsaan Indonesia. Budi Utomo bukanlah yang pertama dan satu-satunya aktor kebangkitan. Ia sekadar monumen dari arus sejarah kebangkitan yang melewati fase persiapan (gestation), fase pembentukan (formative), dan fase pematangan (consolidation). Di sepanjang lintasan fase pergerakan ini, perjuangan kata/bahasa sebagai penanda baru memainkan peran penting.

Gerakan kebangkitan bermula pada akhir abad ke 19, distimulasi oleh kehadiran lembaga-lembaga pendidikan modern dan kelahiran secara embrionik ruang publik modern di Hindia (Indonesia).

Penetrasi kapitalis-Liberal pada paruh kedua abad ke-19 dalam era kolonial Belanda berperanan penting dalam mendorong pemerintah kolonial untuk memperkenalkan sistem pendidikan bergaya Barat ke masyarakat Hindia Belanda (selanjutnya akan disebut Hindia). Pada perkembangan selanjutnya, kebijakan ‘Politik Etis’ yang dipromosikan oleh politisi ‘sayap kanan’ di Belanda pada dekade-dekade awal abad ke-20 membawa proses transformasi di dunia pendidikan ini ke tahap yang lebih jauh.

Dibangkitkan oleh gelombang pasang gerakan-gerakan liberal dan revolusi demokratik di Eropa sekitar tahun 1840-an  (Stromberg 1968: 72-78), sayap Liberal di negeri Belanda yang dipimpin oleh Jan Rudolf Thorbecke dengan cepat merespon momentum politik itu dengan mengubah haluan Undang-undang Dasar (grondwetsherziening) negeri kincir angin itu, dari konservatisme menuju liberalisme. Dengan Undang-undang Dasar 1848 ini, Belanda berubah menjadi sebuah negara monarki konstitusional, dan sang Ratu menjadi bertanggung jawab kepada Parlemen. Sebagai konsekuensinya, negara Belanda berubah dari kekuasaan dengan otoritas absolut (rule of absolute authority) menjadi kekuasaan dengan hukum (rule of law). Di bawah ketentuan hukum inilah, sayap Liberal mampu mengintervensi persoalan-persoalan di negeri jajahan lewat parlemen. Dalam bidang pendidikan, Undang-undang Dasar 1848 menjamin pendidikan secara bebas bagi setiap orang di negeri Belanda yang selanjutnya  memiliki ‘efek turunan ke bawah’ (trickle down effect) berupa lahirnya sebuah sikap baru terhadap persoalan pendidikan di Hindia (Simbolon 1995: 126-127).

Didukung oleh para pengusaha swasta dan kelas menengah Liberal yang sadar politik, kekuatan Liberal ini kian merasa tak puas dengan pengelolaan keuangan, pertama-tama di negeri Belanda sendiri dan selanjutnya di negeri jajahan. Berangkat dari perasaan seperti itu, kaum Liberal pada awalnya memiliki tujuan untuk meraih kekuasaan di negeri Belanda, dan kemudian memiliki akses atau kontrol atas keuntungan-keuntungan kolonial (Furnivall 1944: 148). Dalam konteks aspirasi-aspirasi kaum Liberal mengenai ‘kebebasan usaha’ (free cultivation), ‘kebebasan kerja’ (free labour), dan ‘pemilikan pribadi’ (individual possession), upaya memperoleh kendali atas keuntungan-keuntungan kolonial berarti mendesak pemerintahan kolonial untuk melindungi modal swasta dalam rangka mendapatkan tanah, buruh, dan kesempatan menjalankan usaha atau perkebunan yang baru.  Peralihan menuju ekonomi Liberal pada kenyataannya memerlukan bukan hanya reformasi institusional, namun juga dukungan infrastruktur,  terutama perbaikan pelayanan-pelayanan birokrasi, yang pada gilirannya menuntut perbaikan sektor pendidikan di Hindia.

Era kolonial Liberal tidak berlangsung lama. Pergantian peristiwa-peristiwa sosio-ekonomi dan politik, baik di negeri Belanda maupun di Hindia, pada akhir abad ke-19 membawa perkembangan-perkembangan baru dalam perlakuan-perlakuan kolonial terhadap Hindia. Di negeri Belanda, peristiwa-peristiwa yang dimaksud itu terutama ialah munculnya bibit-bibit administrator baru yang budiman sejak tahun 1870 karena terpengaruh oleh sosialisme dan idealisme sentimental à la Multatuli,  berbarengan dengan berlangsungya reorientasi partai-partai politik yang berbasis agama. Ini terjadi pada tahun 1888 ketika posisi kaum Konservatif lama digantikan oleh kekuatan aliansi antara kaum

Anti-Revolusioner dengan Kalvinis dan ‘Romanis’,  yang menyempal dari sekutu tuanya, yakni partai Liberal, yang kemudian membentuk sebuah Partai Kristen baru sebagai Sayap Kanan untuk berhadapan dengan Sayap Kiri, kelompok sekularis. Barangkali secara tak terduga, partai Kanan itulah justru yang pertama kali mendeklarasikan sebuah kebijakan kolonial baru yang menegaskan bahwa eksploitasi, entah oleh Negara maupun oleh perusahaan swasta, haruslah didasarkan pada sebuah kebijakan yang bertanggungjawab secara moral (Furnivall 1944: 228-229).

Yang menjadi pendorong bagi munculnya kredo dari Partai Kristen itu ialah adanya kemerosotan yang terus-menerus dalam kehidupan sosial di Hindia sebagai akibat dari stagnasi ekonomi, kegagalan panen, penyakit ternak, kelaparan dan kondisi-kondisi kesehatan yang memprihatinkan. Beragam malapetaka sosial ini merupakan konsekuensi-konsekuensi tak diinginkan dari ekonomi Liberal  yang kemudian menciptakan sebuah iklim opini baru di negeri Belanda. Semua partai yang ada menjadi lebih mendukung aktivitas Negara dalam persoalan ekspansi, efisiensi, dan kesejahteraan, yang menempatkan kesejahteraan Hindia  sebagai latar depan dari kebijakan kolonial. Maka, setelah pemilihan umum tahun 1901 yang menghasilkan kemenangan sayap Kanan, liberalisme menjadi sebuah kredo yang usang, digantikan oleh semangat kasih Kristen (Furnivall 1944: 225-233).

Partai Kristen berhasil meraih kekuasaan karena posisinya sebagai pembela tanggung jawab moral. Dengan semangat tanggung jawab moral itu pula, Ratu Wilhelmina dalam pesan tahunannya yang disampaikan dari tahtanya di hadapan dewan Parlemen pada tahun 1901 mengemukakan tentang ‘hutang budi’  dan tanggungjawaban etis negeri Belanda kepada rakyat Hindia (Van Niel 1970: 32).  Orientasi baru dalam perlakuan kolonial terhadap Hindia ini dikenal sebagai ‘Politik Etis’.

Di bawah Politik Etis, educatie (pendidikan), irrigatie (irigasi) dan ëmigratie (transmigrasi)  menjadi prioritas dari program kesejahteraan (yang berwatak etis). Dari ketiga program itu, pendidikan ternyata dianggap sebagai hal yang paling esensial. Di mata bapak gerakan Etis, Th. Van Deventer, meningkatnya kesejahteraan kaum pribumi sulit dicapai tanpa adanya personel pribumi yang cukup terlatih untuk bisa menjalankan tugas kerjanya. Dia memimpikan lahirnya kembali Hindia yang akan bisa dicapai melalui perbaikan pendidikan, sementara kaum Ethici lainnya, Abendanon, menganggap pendidikan merupakan pengikat persahabatan dan kepercayaan, yang akan bisa menyatukan semua orang yang melangkah di jalan menuju kemajuan. Dalam pandangan-pandangan idealistik ini, pendidikan ditujukan sebagai sebuah sarana untuk memperbaiki kesejahteraan kaum Pribumi dalam kerangka peradaban yang terinspirasi Barat (Van Niel 1970: 34, 66-67).

Berkat introduksi lembaga pendidikan modern di bawah rezim liberal dan politik etis ini,  pada dekade pertama abad ke-20 muncullah  generasi pertama inteligensia bumiputera sebagai elit pemimpin baru. Sementara itu, mereka yang mulai masuk sekolah-sekolah dasar modern pada (tahun-tahun terakhir) dekade pertama dan kedua abad ke 20, yang memiliki ekposur yang lebih dalam terhadap proses ‘pem-Belanda-an’, akan membentuk generasi kedua inteligensia Hindia. Generasi-generasi awal dari inteligensia Hindia ini—sama-sama (sebagian besar) berasal dari kalangan priyayi, sama-sama mengalami ekposur terhadap ide-ide Barat, sama-sama berbicara dengan (campuran) bahasa Belanda  di antara mereka sendiri, dan sama-sama sadar akan peran dan status baru mereka yang istimewa– membentuk sebuah strata (stratum) baru dalam masyarakat Hindia.

Inteligensia sebagai sebuah strata (stratum) sosial tersendiri lebih dari sekedar sekelompok orang yang berbagi kriteria pendidikan dan pekerjaan yang sama. Yang lebih penting lagi, inteligensia juga berbagi kepentingan-kepentingan, sifat-sifat dan identitas-identitas tertentu yang sama (Gella 1976: 13). Namun kesamaan ini tidak terjadi begitu saja, melainkan terbentuk terutama lewat praktik-praktik diskursif.

Praktik-praktik diskursif dari generasi pertama inteligensia Hindia pada mulanya merupakan wahana untuk mengekspresikan kepentingan-diri dan aktualisasi-diri dari strata masyarakat Hindia yang terdidik secara baru. Keberhasilan pendidikan modern telah meningkatkan ekspektasi-ekspekstasi mereka.    

Bagi embrio inteligensia ini, bergerak dari pinggir dunia kolonial dan feodal menuju pusaran mesin birokrasi modern, menempati peran-peran baru ini berarti merubah dunia kehidupan mereka. Bangku pendidikan tampaknya telah membawa mereka ke dalam proses ‘belajar tak langsung’ (vicarious learning) yang menghasilkan kekuatan refleksi-diri untuk menilai sampai seberapa jauh mereka telah melangkah maju jika dibandingkan dengan capaian ‘ pihak-pihak lain’ (others). Apa yang tampaknya menjadi ukuran mutakhir dari prestasi manusia pada masa itu ialah teknik-teknik modern serta perusahaan-perusahaan industri baru, yang masuk ke Hindia sebagai dampak ikutan dari ekonomi Liberal. Hal ini dicontohkan oleh introduksi sistem-sistem komunikasi yang lebih canggih dan inovatif, seperti teknologi perkapalan yang baru, jalur rel kereta api, telepon, telegraf, kantor pos, industri percetakan dan koran. Introduksi sistem komunikasi modern ini seiring dengan pertumbuhan pusat-pusat kota dan super-kultur metropolitan (metropolitan super-culture) yang ditandai dengan ekspansi-ekspansi dunia industri, bank, perluasan bidang-bidang jasa, dan gudang-gudang yang berisikan barang-barang impor dari pusat-pusat dunia kapitalis di Eropa  (Adam 1995: 79; Shiraishi 1990: 27; Geertz 1963).

Berhadapan dengan fenomena modern yang mengagumkan itu, gugus homines novi itu merasa sangat takjub dan menganggapnya sebagai simbol-simbol kemadjoean yang ingin mereka capai. Dalam gerak kemajuan ini, prestasi yang dicapai oleh ‘pihak-pihak lain’ (the others) sungguh seperti tak dapat disaingi. Orang-orang Eropa sebagai pemilik perkebunan yang kaya serta kaum borjuis baru yang bermunculan di pusat-pusat kota tentu telah terekspos secara baik terhadap pendidikan modern, media baru, properti-properti mewah, kereta-kereta kuda, dan klub-klub sosial ‘beradab’. Bahkan orang-orang keturunan Cina, karena kekayaannya yang berlebih yang diperolehnya sebagai perantara dalam transaksi-transaksi komersial serta kekuatan dominannya dalam perdagangan eceran dan juga eksposurnya terhadap sekolah-sekolah misionaris, juga mengikuti jalur kemajuan yang sama. Ini ditunjukkan dengan prestasi mereka yang luar biasa dalam bidang penerbitan, pendidikan dan perhimpunan.

Di bawah kondisi-kondisi historis semacam itu, persoalan tentang bagaimana mengejar kemadjoean menjadi wacana yang dominan di kalangan bibit inteligensia yang baru muncul ini. Bagi mereka, kemadjoean mengekspresikan suatu kehendak untuk mencapai status sosial yang ideal, baik sebagai individu maupun komunitas imajiner, yang meliputi banyak hal: kemajuan pendidikan, modernisasi (yang secara luas diasosiasikan dengan Westernisasi), kehormatan, dan keberhasilan dalam hidup. Sebagai tanda dari besarnya obsesi mereka dengan kemadjoean, kata-kata Belanda, yang merupakan ikon dari kemajuan itu sendiri, makin sering dipergunakan dalam percakapan sehari-hari di kalangan homines novi. Maka, meminjam penjelasan Shiraishi (1990: 27), ‘kata-kata yang bermakna kemajuan—seperti vooruitgang (kemajuan), opheffing (peningkatan), ontwikkeling (pengembangan), dan opvoeding (pembelajaran)—menghiasi  perbincangan sehari-hari bersama-sama dengan kata-kata bevordering van welvaart’ (promosi kesejahteraan).

Penting dicatat bahwa meluasnya wacana mengenai kemadjoean  ini dimungkinkan oleh kemunculan ruang publik modern yang masih bersifat embrionik. Bibit-bibit kelahiran ruang publik modern di Hindia dimungkinkan oleh  dampak ikutan dari penerapan ekonomi Liberal pada paruh akhir abad ke-19, yang bertanggungjawab dalam mendorong pendirian pers-pers vernakular (berbahasa lokal)  serta dalam penyebarluasan klub-klub sosial bergaya Eropa. Lewat proses pendidikan dan mimicry dan dengan cara membaca pers vernakular yang didirikan oleh orang Eropa dan kemudian juga oleh orang keturunan Tionghoa, serta dengan membentuk perhimpunan-perhimpunan, inteligensia pribumi pada akhirnya bisa menciptakan ruang publiknya sendiri.

Sampai akhir abad ke-19, tongkat kepemimpinan  kaum inteligensia baru ini dipegang oleh kaum guru. Peran para guru dalam mempromosikan wacana kemadjoean sangatlah menonjol, setidaknya karena dua alasan. Pertama, profesi guru hingga masa ini menghimpun porsi terbesar dari orang-orang pribumi berpendidikan terbaik, dan sebagai para pendidik, mereka merupakan pihak yang paling merasa terpanggil untuk mengemban misi suci untuk mencerahkan saudara-saudara sebangsanya. Kedua, fakta bahwa profesi guru kurang dihargai jika dibandingkan dengan posisi-posisi administratif mungkin telah menstimulasi mereka untuk menjadi artikulator dari konsep ‘kemadjoean’ dalam rangka menjadikannya sebagai tolok ukur baru dalam menentukan privilese sosial. Peran yang menonjol dari para guru ini menunjukkan bahwa ‘intelektual organik’ dari bibit inteligensia pada akhir abad ke-19 ini terutama berasal dari lingkaran-lingkaran para guru.

Para guru melancarkan tuntutan dan kritik mereka terutama lewat majalah-majalah pendidikan, seperti Soeloeh Pengadjar di Probolinggo (yang pertama kali terbit pada tahun 1887) dan Taman Pengadjar di Semarang (terbit sekitar tahun 1899-1914). Majalah-majalah itu memainkan peran yang signifikan dalam mengartikulasikan aspirasi-aspirasi guru pribumi. bagi penghapusan diskriminasi dalam pendidikan. Seiring dengan itu, persis menjelang akhir abad ke-19, perkumpulan guru paling berpengaruh terbentuk, yang diberi nama klub ‘Mufakat Guru’. Cabang-cabang dari klub ini bermunculan di berbagai kabupaten dan kawedanan di Jawa. Tujuan dari ‘Mufakat Guru’ pada pokoknya ialah ‘untuk membuka jalan bagi para guru untuk bersatu dan berdiskusi mengenai permasalahan dan isu kemadjoean.

Tuntutan utama dalam proyek emansipasi kaum guru ini berkisar pada upaya perjuangan kata/bahasa. Yakni peluasan akses terhadap kepustakaan serta peningkatan pengajaran bahasa Belanda di sekolah-sekolah pendidikan guru pribumi dan pengajaran bahasa Belanda bagi semua anak pribumi (Adam 1995: 89).

Dengan trajektori kemadjoean yang telah dirintis kaum guru, sedini awal dekade pertama abad ke-20, terjadilah fase formatif ruang publik modern. Sejauh mengenai perkembangan pers vernakular, dekade pertama abad ke-20 merupakan momentum paling penting dalam sejarah keterlibatan kaum pribumi dalam bidang tersebut. Sementara pada abad ke-19, telah ada beberapa redaktur dan jurnalis pribumi yang bekerja untuk pers milik orang Belanda/Indo dan orang keturunan Tionghoa, peran kaum pribumi dalam dekade awal abad ke-20 jauh lebih substansial. Di samping jumlah redaktur dan jurnalis pribumi yang meningkat, para anggota dari inteligensia pribumi itu sekarang telah mendirikan pers yang sepenuhnya dimiliki dan dikelola oleh kalangan pribumi sendiri.

Para jurnalis pribumi yang paling terkemuka pada masa itu berasal dari para pelajar atau mantan pelajar sekolah Dokter-Djawa/STOVIA. Di antara mereka, yang paling terkenal ialah Abdul Rivai (lahir tahun 1871) dan Tirto Adhi Surjo (1880-1918). Melanjutkan tradisi perjuangan kaum guru, para juranalis-inteligensia ini juga memancangkan tongkat kebangkitan lewat bahasa dan konstruksi tanda.

Menulis pada edisi perdana (1902) majalah pengobar ‘kemajuan’, Bintang Hindia,  Abdul Rivai memperkenalkan istilah ‘bangsawan pikiran’. Dikatakan, “Tak ada gunanya lagi membicarakan ‘bangsawan usul’, sebab kehadirannya merupakan takdir. Jika nenek-moyang kita keturunan bangsawan, maka kitapun disebut bangsawan, meskipun pengetahuan dan capaitan kita bagaikan katak dalam tempurung. Saat ini, pengetahuan dan pencapaianlah yang menentukan kehormatan seseorang. Situasi inilah yang melahirkan ‘bangsawan pikiran’.”

Tulisan seorang lulusan sekolah Dokter-Jawa ini, mewakili kegetiran anak-anak terdidik dari kalangan priyayi rendahan dan non-bangsawan. Karena administrasi pribumi, sebagai lambang kehormatan, diperuntukkan bagi anak-anak priyayi tinggi, anak-anak dari kalangan ini cenderung memilih sekolah menak yang disebut hoofdenschool (awal abad 20 menjadi OSVIA). Sementara itu, perluasan birokrasi dan kapitalisme memerlukan tenaga-tenaga pertukangan. Sekolah Dokter-Jawa (awal abad 20 menjadi STOVIA) dan sekolah guru (Kweekschool) semula dirancang untuk memenuhi keperluan itu.
Diskriminasi tidak sendirinya lenyap dengan menyandang ijazah. Baik dalam standar gaji maupun status sosial, lulusan STOVIA lebih rendah ketimbang lulusan OSVIA. Situasi inilah yang mendorong kaum terdidik dari keturunan priyayi rendahan dan non-bangsawan berjuang memancangkan ‘pikiran’ sebagai tanda baru kehormatan sosial.

Dalam usaha itu, anak-anak STOVIA bermotivasi tinggi untuk memperjuangkan gerakan-gerakan kebangkitan.  Salah satu yang terpenting adalah pendirian perkumpulan Budi Utomo (BU) pada 1908. Dengan melancarkan kritik terhadap kegagalan kepemimpinan priyayi tua dalam melindungi kepentingan rakyat, pada awalnya BU bermaksud memperjuangkan kepemimpinan kaum muda. Meskipun terbukti, pengaruh priyayi mapan masih terlalu kuat, membuat BU segera dibajak oleh kalangan priyayi konservatif.

Betapapun, BU menjadi tonggak penting dalam pertumbuhan gerakan kebangkitan berbasis ‘bangsawan pikiran’. Sejak itu, ‘pikiran’ menjadi peta-jalan bagi ideal-ideal generasi selanjutnya. Memasuki dekade kedua abad ke-20, dengan dibukanya sekolah ala Eropa bagi penduduk bumiputera, seperti HIS (sekolah dasar), MULO (sekolah menengah pertama), dan AMS (sekolah menengah atas), orang-orang terdidik dari keturunan priyayi-rendahan dan non-bangsawan makin besar jumlahnya. Berpijak pada peta-jalan yang telah dipancangkan generasi sebelumnya, angkatan baru kaum terdidik begerak lebih maju dengan mencampakkan kata bangsawan yang mendahului kata pikiran. Seseorang menulis di Sinar Djawa (4 Maret 1914): “Dengan pergeseran waktu, telah muncul jenis bangsawan baru, yakni ‘bangsawan pikiran’. Namun jika bangsawan pikiran ini hanyalah kelanjutan dari bangsawan usul, maka perubahan dan pergerakan tak akan pernah lahir.”
Maka tanda baru segera dicipta, tanda yang sepenuhnya bebas dari imaji kebangsawanan, dan bekhidmat sepenuhnya pada pikiran. Tanda itu bernama ‘kaum terpelajar’ atau ‘pemuda-pelajar’, atau seringkali diungkapan dalam bahawa Belanda, ‘jong’. Dalam tanda dan peta-jalan seperti inilah generasi Sukarno, Hatta, Sjahrir dan Natsir dibesarkan.
Semua tokoh-tokoh ini lahir pada dekade pertama abad ke-20, dan semuanya tak bisa dikatakan sebagai anak-anak priyayi tinggi.  Sukarno hanyalah anak priyayi-rendahan yang mujur bisa masuk ELS karena pertolongan seorang guru Belanda; Hatta adalah anak ulama-pedagang, yang beruntung bisa diterima di ELS karena kekayaan keluarganya; Sjahrir berlatar sedikit lebih baik, ayahnya seorang jaksa pribumi sehingga diterima di ELS; Keluarga Natsir lebih rendahan lagi, ayahnya hanyalah seorang jurutulis kontelir, yang membuatnya hanya diterima di HIS. Alhasil, mereka bisa memasuki pendidikan sistem Eropa, berkat kegigihan generasi sebelumnya dalam menciptakan tanda; tanda yang membuat Belanda terpaksa mengendurkan persyaratan keturunan.

Kebetulan juga, generasi ini merupakan buah pertama dari gelombang ‘pem-belanda-an (Dutchification) yang intens serta politik asosiasi  yang dicanangkan oleh Snouck Hurgronje. Memasuki abad ke-20, bahasa dan budaya Belanda makin penting menyusul perluasan operasi perusahaan-perusahaan swasta Eropa, perluasan birokrasi dan institusi pendidikan, kemudahan hubungan antara Eropa dan Nusantara akibat dibukanya Terusan Suez (1869) serta munculnya arma-armada pelayaran swasta. Sejak itu, bahasa Belanda menggantikan bahasa lokal dalam pergaulan formal. Saat yang sama, politik asosiasi juga memperluas terpaan Barat terhadap kaum terdidik bumiputera.

Kedua hal ini memperluas akses kaum terdidik bumiputera terhadap pengajaran bahasa Belanda dan Eropa lainnya. Dengan bahasa sebagai kunci pembuka kepustakaan dunia, genenasi Sukarno mampu berkenalan langsung dengan pemikiran dan wacana semasa tanpa perantara.

Akses kepustakaan kaum inteligensia ini diperkuat oleh kebijakan pemerintahan kolonial untuk mendirikan sebuah ‘rumah penerbitan buku’, yang memiliki dampak yang signifikan terhadap perkembangan kepenulisan dalam sejarah Hindia di kemudian hari. Pada tahun 1908, pemerintah membentuk sebuah komisi untuk memberikan saran bagi penyediaan bahan bacaan bagi kaum pribumi dan sekolah-sekolah pribumi.  

Apapun agenda tersembunyi dari komisi tersebut, yang jelas keberadaan BP berperan penting dalam penyediaan bahan-bahan bacaan yang murah bagi khalayak umum di Hindia. Selain itu, dalam pandangan para kritikus sastra, A Teeuw, lahirnya novel modern Indonesia dan popularitasnya sangat dimungkinkan oleh keberadaan dari Balai Pustaka. Bahkan kebanyakan pujangga nasional dari dekade selanjutnya merupakan mantan pegawai, entah untuk jangka waktu lama atau sebentar, dari BP. Atau paling tidak beberapa karya mereka pernah diterbitkan BP. Dengan demikian, makna penting dari rumah penerbitan (buku) yang disponsori pemerintah ini pada kurun waktu itu adalah dalam fungsinya sebagai medan permagangan bagi para anggota inteligensia untuk meniru aktivitas kesusastraan Barat. Proses peniruan ini membuka jalan bagi keterpautan literati Hindia ke dalam semangat universal ‘Respublica litteraria’ (Republik Para Pujangga).

Sementara kesusastraan BP masih bersifat apolitis, sebuah genre kesusastraan politik menemukan medium ekspresinya dalam koran-koran dan majalah-majalah vernakular dalam bentuk literatur serial. Contoh-contoh dari genre novel politik yang diterbitkan dalam dekade tersebut ialah Student Hidjo karya Mas Marco Kartodikromo, dan Hikajat Kadiroen karya Semaun. Sementara karya yang pertama diterbitkan dalam koran Sinar Hindia Semarang pada tahun 1918, karya yang kedua diterbitkan oleh koran yang sama pada tahun 1920.   Dimuatnya dua cerita bersambung dalam koran tersebut mencerminkan peran penting kesusateraan dan medianya dalam menyuarakan bahasa nasionalisme. Imajinasi kesasteraan tentang kemerdekaan bahkan mendahului dan memberi inspirasi bagi gerakan-gerakan kemerdekaan yang menjadi agenda gerakan politik di kemudian hari.

Demikianlah, perjuangan kebangkitan selalu dimulai dari kerja wacana. Tanpa kata, perjuangan kehilangan arah. Seperti itu jugalah generasi Sukarno. Praksis wacana lewat ruang publik yang terbentuk dari jaringan kelompok studi, kerja jurnalistik, dan kesasteraan menjadi tahap awal dari perjuangan mereka. Sejak 1924, Hatta terlibat aktif di Perhimpunan Indonesia berikut jurnalnya Indonesia Merdeka, seraya tak lupa menulis puisi-puisi patriotik . Pada 1926, Sukarno mendirikan Algemene Studieclub berikut jurnalnya, Indonesia Moeda. Saat yang sama ia juga aktif sebagai editor malajah SI, Bandera Islam (1924-1927), bahkan selama pembuangan tak luput menulis naskah drama. Seperti Hatta, Sjahrir aktif di Perhimpunan Indonesia, dan kelak berperan penting dalam jurnal Daulat Rakyat. Ia pun dikenal sebagai pemain sandiwara dengan erudisinya yang luas di bidang kesusasteraan. Natsir mengikuti beberapa kelompok diskusi dan terlibat intens di Persatuan Islam. Sejak 1929 ia mulai menekuni kerja jurnalistik sebagai ko-editor dari jurnal Pembela Islam.
Demikianlah, menulis adalah mencipta, dan mencipta selalu mensyaratkan membaca. Semakin banyak mencipta, semakin banyak membaca; semakin kaya bacaan, semakin kaya hasil penciptaan. (Bersambung)

Oleh: Yudi Latif,  Chairman Aktual