Dari Wacana ke Aksi Pergerakan
Memasuki dekade 1920-an, inteligensia telah menemukan cara-cara untuk berkomunikasi dengan massa rakyat. Saat me¬nyadari penderitaan yang dialami massa, pesona ide-ide kemadjoean yang diwarisi dari dekade-dekade sebelumnya menjadi redup daya tariknya. Dihadapkan pada fenomena perluasan problem-problem sosial, inteligensia-sadar-politik merasa tertantang untuk segera me¬¬ner-jemahkan ideologi-ideologi anutannya ke dalam program aksi yang praktis dalam rangka melakukan perlawanan ter¬hadap kolonialisme.

Memburuknya perekonomian Hindia pasca-Perang Dunia I dan depresi ekonomi dunia yang hebat pada 1930-an menyediakan lahan yang subur bagi merajalelanya radikalisme. Di tengah me¬luas¬nya semangat untuk melakukan perlawanan politik, banyak perhimpunan proto-nasionalis terdahulu yang mulai mengabaikan tujuan-tujuan sosio-kulturalnya dan lebih peduli pada pengadopsi¬an dan perumusan ideologi-ideologi politik. Se¬¬bagai respons ter¬hadap timbulnya persaingan ideologi po¬litik, gerakan-gerakan sosial proto-nasionalis yang kurang ter¬struk¬tur pada dua dekade awal abad ke-20 mulai mentransformasi¬kan dirinya menjadi “partai-partai politik” yang terstruktur.

Seiring dengan merajalelanya radikalisme politik, “Politik Etis” segera menjadi kredo yang usang. Pada awal 1920-an, arus utama dalam opini publik Belanda beranggapan bahwa para inte¬lektual Hindia yang progresif merupakan pengacau ketertiban publik di negeri jajahan. Untuk mengekang potensi ketidakpatuhan ini, rezim rust en orde (ketenteraman dan ketertiban) semakin diper¬tegas oleh pemerintah kolonial. Alih-alih mendorong ditegakkan¬nya pemerintahan hukum, rust en orde merupakan eufemisme bagi penggelaran aparatur represif kolonial yang menegasikan penegak¬an prinsip-prinsip hukum. Se¬panjang periode 1920-1940-an, media massa disensor ketat, rapat-rapat umum dikontrol oleh agen rahasia, dan tokoh-tokoh politik terkemuka ditangkap dan diasingkan. Maka, kehadiran ruang pub¬lik modern yang masih belia itu pun segera “terpenjara” oleh sangkar besi dari rezim rust en orde.

Kontrol politik yang represif ini terus berlanjut dan bahkan se¬makin memburuk selama pendudukan Jepang (1942-1945). Peme¬rintah militer Jepang melarang setiap diskusi atau organisasi yang berkaitan dengan politik atau pemerintahan di Hindia. Pengetatan ini mengakibatkan organisasi-organisasi politik yang muncul se¬belum Perang Dunia II dengan segera lenyap dari ruang publik.

Perkembangan ini mengubah struktur peluang politik dan kondisi ruang publik. Di satu sisi, perubahan ini memberi impetus bagi mun¬cul¬nya ide-ide bersama yang mengarah pada formasi “Indonesia” sebagai sebuah komunitas imajiner bersama. Di sisi lain, perubahan ini juga mempengaruhi interaksi antara negara (kolonial) dan masyarakat serta memperuncing kompetisi di antara beragam aliran ideologi politik. Ketegangan ini mengarah pada terbentuknya pelbagai tradisi politik intelektual.

Pada awalnya, penemuan ideologi memang dibutuhkan bukan saja untuk memberikan landasan teoretis yang solid dalam rangka mem¬berikan respons terhadap negara kolonial yang represif, me¬lainkan juga untuk memberikan makna dan rasa identitas bersama terhadap tindakan-tindakan kolektif. Namun, dalam usaha mena¬namkan ideologi ke dalam tubuh partai politik yang terstruktur—yang memiliki aturan-aturan tertentu, kode perilaku tertentu, rantai komando, dan disiplin partai—maka batas-batas mental, linguistik dan spasial secara otomatis tercipta yang memisahkan antara “kita” dari “mereka”, identitas kelompok-dalam (in-group) dan kelom¬pok-luar (out-group). Pada tahap ini, identitas-identitas kolektif yang telah tercipta bersama bangkitnya gerakan-gerakan proto-nasional pada era sebelumnya mulai berubah menjadi identitas-iden¬titas politik.

Dengan segera muncullah beragam tradisi politik yang ber¬pusat di seputar gugus inteligensia dan “ulama-intelek”. Prinsip dasar dari pembentukan tradisi-tradisi ini bersumber dari perbedaan dalam jaringan intelektual, tingkat keterbukaan terhadap peradaban Barat, basis kultural dan sosio-ekonomi, dan orientasi politiknya. Selama masa pra-pendudukan Jepang terbentuk setidaknya enam tradisi politik intelektual utama: tradisi reformis-modernis Islam, tradisi tradisionalis Islam, tradisi ko¬munis, tradisi ‘nasionalis’ (nasionalis-tradisionalis), tradisi ‘sosialis’ (nasionalis-modernis), dan tradisi Kristen (baik Protestan maupun Katolik). Tradisi yang lain muncul pasca-penjajahan Jepang, yakni tradisi militer.

Di sepanjang garis perbedaan tradisi politik intelektual itu, semuanya dipersatukan oleh kehendak bersama untuk memerdekakan diri dari cengkraman kolonial. Dalam usaha ini. rentang waktu 1920-1945 merupakan pe¬riode ketika gagasan mengenai nasionalisme politik dan negara Indonesia diperkenalkan dan dinegosiasikan di antara berbagai kelompok inteligensia. Pada periode ini, inteligensia berpendidikan tinggi memainkan peran besar dalam kepemimpinan pergerakan politik-kebangsaan, meneruskan peran yang sebelumnya dimainkan oleh mereka yang berlatar sekolah guru (Kwekschool) dan STOVIA.

Usaha pencarian dan pengartikulasian identitas kolektif baru memerlukan ruang publik yang relatif bebas. Hal itu pada awalnya lebih mungkin bagi para mahasiswa Hindia di Belanda dengan mendapati ruang publik borjuis Eropa yang bebas. Dalam ruang publik ini, mereka bisa berin¬ter¬aksi dengan para aktivis politik Eropa dan menjadi akrab dengan pemikiran-pemikiran humanis semasa, maupun dengan para aktivis dari negeri-negeri terjajah lainnya dalam liga anti-penjajahan.
Usaha menemukan identitas kolektif baru ini mulai disemai sejak akhir tahun 1910-an. Kedatangan tiga serangkai pemimpin IP, yaitu Douwes Dekker, Suwardi Surjaningrat, dan Tjipto Mangunkusumo, sebagai tahanan politik pada 1913, mendatangkan inspirasi bagi beberapa aktivis Indische Vereeniging, yang membuat haluan perhimpunan ini perlahan bergeser dari orientasi kultural ke politik. Pada 1916, perhimpunan ini mulai menerbitkan majalah Hindia Poetra, sebagai medium untuk memperdebatkan isu-isu politik di Hindia.

Dengan kedatangan mahasiswa baru berlatar pergerakan, para aktivis perhimpunan makin kritis dalam melihat adanya kesenjangan antara kebebasan yang mereka alami di negeri penjajah dengan represi yang terjadi di negeri jajahan, antara superiori¬tas negara kolonial dan inferioritas rakyat terjajah. Dari jarak jauh mereka juga bisa menyaksikan dengan jernih bahwa sebab dari ketidakberdayaan gerakan-gerakan nasional di Hindia terutama karena tidak adanya persatuan.  
Untuk mempertautkan beragam unsur pergerakan, mereka memandang perlu adanya konsepsi kebangsaan baru yang bisa mengatasi pelbagai perbedaan agama, etnis dan ideologis. Konsepsi kebangsaan baru ini memerlukan kode baru yang terbebas dari bias kolonial, sebagai mercu suar ke arah mana idaman-idaman bersama diarahkan. Dalam semangat inilah, me¬reka menyadari bahwa istilah “(East) Indies” (India/Hindia-Timur) tak lagi tepat. Bukan saja hal itu merupakan istilah yang ambigu—karena mungkin bisa saja diasosiasikan orang dengan “India” (British India), melainkan juga karena sebutan itu merupakan konstruk kolonial.

Usaha menemukan kode konsepsi kebangsaan baru ini mendapatkan inspirasinya dari penggunaan istilah ‘Indonesia’ (‘indu-nesians’) dalam studi-studi etnologi dan antropologi, untuk menamai suatu gugus geo-kultur di sepanjang India ‘kepulauan’ (nesos dalam bahasa Yunani, nusa dalam bahasa Melayu), sebagai sutau entitas tersendiri yang bisa dibedakan dari India daratan.  Istilah ‘Indonesia’ pertama kali diperkenalkan dalam bentuk ‘Indu-nesians’ oleh seorang sarjana Inggris, George Windsor Earl pada 1850. Istilah ini pada mulanya merupakan istilah etnografis untuk melukiskan suatu rumpun ras Polinesia yang mendiami kepulauan India, atau ras kulit sawo matang dari kepulauan India. Dalam perkembangannya, penggunaan istilah ini diteruskan oleh rekannya, James Richardson Logan, tetapi bukan dalam artian etnografis melainkan dalam artian geografis, yang meliputi empat wilayah distrik yang tersebar dari Sumatra hingga Formosa. Istilah ini meraih popularitas setelah digunakan oleh seorang etnolog Belanda terkemuka, Adolf Bastian, dalam karyanya pada 1884-1894, baik dalam artian geogragis maupun kultural secara luas, mencakup orang-orang yang berbagi kesamaan bahasa dan budaya di sepanjang gugus kepulauan India, mulai dari Madagaskar di Barat, Nusantara di Asia Tenggara, hingga Formosa (Taiwan) di Utara (Elson, 2008: 1-4).

Percobaan penggunaan istilah Indonesia (Indonesisch, dalam bahasa Belanda) dalam kaitan spesifik dengan Hindia Belanda dimulai pada akhir 1910-an. Pada 1917, kaum Ethici Belanda mencoba mempertautkan perhimpunan mahasiswa pribumi Hindia (Indische Vereeniging), perhimpunan mahasiswa China Hindia (Chung Hwa Hui), dan perhimpunan mahasiswa Belanda yang tertarik pada masalah Hindia (Groeven van Indologisch Studenten) ke dalam suatu federasi yang diberi nama ‘Indonesisch Verbond van Studeerenden’. Setahun kemudian, tiga pemimpin IP menggunakan istilah yang sama untuk menamai kantor berita yang didirikannya di Belanda, ‘Indonesisch Persbureau’.  

Terinspirasi oleh kian kerapnya penggunaan istilah Indonesia, para aktivis mahasiswa dan inteligensia sadar politik di Belanda dan Tanah Air terdorong untuk menggunakan istilah tersebut sebagai suatu neologisme. Neologisme dalam arti mencoba menggunakan istilah lama untuk konteks dan pemaknaan baru, dalam usaha menemukan kode bersama bagi kebangsaan baru.  Di tangan mereka, istilah itu direformulasi secara spesifik untuk merujuk pada konteks politiko-spasial tertentu dari Hindia, dan memberikan sebuah arah politik baru bagi gerakan-gerakan nasionalis. Dalam kata-kata Hatta (1928; 1998: 15): “Bagi kami, Indonesia menyatakan suatu tujuan politik, karena dia melambang¬kan dan mencita-citakan suatu tanah air di masa depan dan untuk mewujudkannya, tiap orang Indonesia akan berusaha dengan segala tenaga dan kemampuannya.”

Pemaknaan kembali istilah itu menegaskan adanya perge¬seran dari makna aslinya, yang merefleksikan suatu perjuangan demi konstruksi-diri. Bagi para mahasiswa dan inteligensia sadar politik, hal itu merep¬re¬sen¬¬tasi¬¬kan keberadaan basis bagi pembentukan suatu identitas ko¬lek¬tif dan permulaan dari proses penciptaan satu bangsa.
Untuk menegaskan adanya pergeseran dalam kesadaran itu, Indische Vereeniging mengubah namanya menjadi Indonesische Vereeniging pada 1922. Perkem¬bang¬an dari kesadaran nasional yang baru dan kebutuhan untuk men-ciptakan sebuah batas antara dunia penjajah dan yang terjajah meng¬haruskan adanya perubahan dalam universum simbolik. Hal ini tercermin dalam pernyataan Sunarjo (seorang mahasiswa hukum Leiden): “Saya merasa jijik dengan apa yang telah diperbuat oleh Belanda dan saya berniat segera setelah pulang ke Tanah Air untuk menemukan seorang guru yang bisa membantu memperbaiki ba¬hasa Melayu dan Jawa saya yang sangat terabaikan, karena kedua-nya dalam kondisi yang sangat menyedihkan” (Ingleson, 1979: 8-9).

Para mahasiswa Hindia percaya bahwa menggunakan ungkapan Belanda untuk nama sebuah perhimpunan sekarang tak lagi cocok dengan identitas Indonesia baru. Untuk mengekspresikan semangat nasionalisme ini, pada 1924 Indonesische Vereeniging (IV) sekali lagi diubah namanya dengan menggunakan ungkapan Indonesia (bahasa Melayu), “Perhimpunan Indonesia” (PI), dan ma-jalahnya, Hindia Poetra, menjadi Indonesia Merdeka.

Dengan itu, penemuan Indonesia sebagai kode kebangsaan baru dipertautkan dengan visi kemerdekaan Indonesia. Salah seorang tokoh utama di kalangan para mahasiswa pendukung Indonesia Merdeka ini ialah Mohammad Hatta (1902-1980). Di¬rasuki oleh ide kemerdekaan dan blok nasional, dia dan rekan-re¬¬kan¬nya secara saksama mengikuti perkembangan gerakan-gerakan nasionalis di Tanah Air dan mereka kecewa dengan kerapuhan dari gerakan-gerakan itu. Gerakan-gerakan itu bukan hanya gagal mem¬bentuk sebuah organisasi berbasis massa yang kuat untuk melawan Belanda, melainkan juga terperangkap dalam spiral riva¬litas di an-tara mereka sendiri.

Seperti halnya para aktivis mahasiswa di luar negeri yang ter¬obsesi dengan ide tentang blok nasional, Sukarno dan para maha¬siswa aktivis lainnya di Hindia juga memiliki ideal yang sama. Pada 1926, Sukarno menulis sebuah esai dalam majalah milik ASC, Indonesia Moeda, dengan judul “Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme” yang mengidealkan sintesis dari ideologi-ideologi besar tersebut demi terbangunnya blok nasional. Tulisan tersebut mencerminkan pemikiran dari banyak anggota ASC.

Langkah lebih jauh untuk membentuk blok nasional ialah pendirian Perhimpunan Peladjar-Peladjar Indonesia (PPPI) pada 1926. PPPI ini pada awalnya merupakan lingkaran kecil maha¬siswa yang sadar politik, terutama para aktivis dari RHS di Jakarta yang berdiri pada 1924. Kemudian, keanggotaan PPPI ini diper¬luas sehingga merekrut banyak anggota dari mahasiswa Jakarta dan Bandung. Makna penting dari perhimpunan ini ialah perannya dalam menyatukan beragam perhimpunan pemuda pelajar (dari level yang lebih bawah), sementara para anggota PPPI dianggap sebagai mitra senior yang patut dihormati (Pringgodigdo, 1964: 99). Pada saat yang bersamaan, usaha untuk membentuk sebuah blok nasional dilakukan oleh ISC ketika klub itu mengirimkan sekretarisnya, R.P. Singgih (mantan aktivis PI) untuk mempro¬mosi¬kan pendirian dan penyatuan study club-study club lewat perjalanan keliling Jawa yang dilakukannya pada sekitar perte¬ngahan 1920-an. Kampanye ini bergema di Bandung ketika be¬ragam study club dan organisasi pemuda pelajar, serta organsiasi-organisasi sosial-politik (BU, SI, Muhammadiyah, Pasundan) mem-bentuk ‘Komite Persatuan Indonesia’ pada 1926.

Munculnya ‘Komite Per¬satuan Indonesia’ memberi inspirasi bagi para aktivis dari ber¬bagai perhimpunan pemuda pelajar untuk mengadakan Kerapatan (Kongres) Pemuda Indonesia pertama (30 April-2 Mei 1926) di Jakarta. Meski kepanitiaannya lebih merepresen¬tasi¬kan suara individu ketimbang perwakilan resmi perhimpunan pemuda-pelajar, dan bahasa Belanda masih dipergunakan dalam rapat-rapatnya (Purbopranoto, 1987: 314), kongres tersebut telah membuka jalan bagi menguatnya aliansi di kalangan perhimpunan pemuda-pelajar dan diterimanya konsep blok nasional. Dalam semangat yang sama, para mahasiwa di Bandung di bawah patronase ASC, yang tak lagi merasa nyaman untuk berjuang dalam batas-batas penge¬lompokan etnis dan agama, pada awal 1927 mendirikan sebuah organisasi pemuda pelajar yang bernama Jong Indonesie. Orga¬nisasi ini memiliki cabang-cabang di beberapa kota besar dan me¬nerbitkan sebuah majalah, Jong Indonesie. Pada akhir 1927, nama organisasi dan majalah tersebut diganti menjadi Pemoeda In¬do¬nesia, dan bersamaan dengan itu dibentuk organisasi keputriannya, Putri Indonesia. Kesemuanya itu mencerminkan semakin mening-kat¬nya antusiasme untuk menyebarluaskan gagasan tentang Indo¬nesia.

Sebuah langkah besar dalam pembentukan sebuah blok his¬toris ialah pendirian dua perhimpunan politik. Yang pertama ialah Perserikatan Nasional Indonesia (PNI) pada bulan Juli 1927 yang tujuannya ialah untuk mencapai Indonesia merdeka. Ini diikuti dengan berdirinya Permufakatan Perhimpunan-Perhimpunan Po¬litik Kebangsaan Indonesia (PPPKI) pada bulan Desember 1927. Berusaha untuk menciptakan kesadaran nasionalisme seluruh In¬donesia, federasi ini memberikan dasar baru bagi para pemimpin nasionalis bahwa sebuah Indonesia yang bersatu adalah mungkin, meski federasi itu sendiri tidak berusia lama.

Munculnya PNI dan PPPKI merangsang para aktivis organi¬sasi-organisasi pemuda pelajar untuk mengadakan Kerapatan Pe¬muda Indonesia Kedua. Dipimpin oleh PPPI, kongres itu diadakan pada tanggal 26-28 Oktober 1928 dan menghasilkan sebuah tong¬gak sejarah yang monumental dalam pembentukan blok historis. Tonggak itu bernama ‘Sumpah Pemuda’, yang diikrarkan pada 28 Oktober 1928:

Kami poetera dan poeteri Indonesia mengakoe bertoempah-darah jang satoe, Tanah Indonesia. Kami poetera dan poeteri Indonesia mengakoe berbangsa jang satoe, Bangsa Indonesia. Kami poetera dan Poetri Indonesia mendjoendjoeng bahasa persatoean, Bahasa Indonesia.

Penanda penting yang mewarnai Kerapatan Besar Pemuda Indonesia Kedua adalah penggunaan bahasa Melayu (Indonesia) sebagai bahasa utama Kongres. Suatu trajektori baru dalam kesadaran nasional, ditandai oleh penarikan batas antara dunia penjajah dan yang terjajah dalam ”universum simbolik”—sebagai rumah kehidupan (the house of being).  Tetapi pemancangan tanda baru ini bukanlah perkara mudah. Bagi para pemuda-pelajar yang terdidik dalam persekolahan dan komunitas epistemik bergaya Eropa, penggunaan bahasa Indonesia membawa kesulitan yang serius: menimbulkan kegagapan bagi pembicara dan kebingungan bagi pendengar.

Pengamat resmi dari Belanda, Van der Plas, melaporkan bahwa Soegondo Djojopoespito sebagai pemimpin Kongres tak mampu menunaikan tugasnya secara baik: ”Pemimpin kongres, pelajar Soegondo, tidak dapat memenuhi tugasnya dan kekurangan otoritas. Ia mencoba untuk berbicara bahasa Indonesia, tetapi tidak mampu membuktikan dirinya mampu melakukannya dengan baik.”

Dilaporkan pula, ada penolakan secara diam-diam dari beberapa peserta terhadap penggunaan bahasa Indonesia. Sedang beberapa yang lain tidaklah menolak, namun tak mampu menggunakannya; hingga akhirnya terpaksa menggunakan bahasa Belanda.  Salah seorang dalam kategori terakhir adalah Siti Soendari, perwakilan dari Poetri Indonesia.

Tetapi komitmen kebangsaan membuat hal yang sulit membangkitkan tekad untuk menaklukkannya. Hanya selang dua bulan sejak peristiwa itu, Siti Soendari secara heroik sanggup berpidato dalam bahasa Indonesia pada Kongres Perempuan Indonesia, 22-25 Desember 1928. Dia memulai pidatonya dengan melakukan disklaimer:
Sebeloem kami memoelai membitjarakan ini, patoetlah rasanja kalau kami terangkan lebih dahoeloe, mengapa kami tidak memakai bahasa Belanda atau bahasa Djawa. Boekan sekali-kali karena kami hendak merendahkan-rendahkan bahasa ini, atau mengoerang-ngoerangkan harganja. Itoe sekali-kali tidak. Tetapi barang siapa diantara toean jang mengoendjoengi kerapatan pemoeda di kota Djacatra (Betawi), jang diadakan beberapa boelan jang laloe atau setelah membatja poetoesan keraptan jang terseboet, tentoe masih mengingat akan hasilnja, jaitu hendak berbangsa jang satoe, bangsa Indonesia, hendak bertoempah darah jang satoe, tanah Indonesia, dan hendak mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia. Oleh karena jang terseboet inilah maka kami sebagai poetri Indonesia jang lahir dipoelau Djawa jang indah ini berani memakai bahasa Indonesia dimoeka ra’jat kita ini. Boekankah kerapatan kita kerapatan Indonesia, ditimboelakan oleh poetri Indonesia dan dioentoekkan bagi seloeroeh kaoem istri dan poetri Indonesia, beserta tanah toempah darah dan bangsanja.”

Perubahan radikal dalam tempo cepat dari keberanian seorang Siti Soendari menggunakan bahasa Indonesia, dengan melepaskan diri dari bahasa ibunya (Jawa) dan bahasa keduanya—dan juga bahasa intelektualnya (Belanda), merupakan simbol dari kuatnya komitmen kebangsaan baru.

Komitmen menggunakan bahasa baru ini menandai transformasi dari ’nasionalisme kultural’  (cultural nationalism) menuju ’nasionalisme politik’ (political nationalism).  Gerakan-gerakan kebangkitan yang semula terkungkung dalam komunitas-komunitas berbasis etno-religius dan kelas sosial yang bersifat lokal dan fragmentaris,  mulai mempertautkan diri ke dalam komunitas politik impian yang bersifat lintas-kultural, bernama ”Indonesia”.

Pada titik ini, nasionalisme politik tumbuh melalui proses transendensi ikatan warga dengan simbol-simbol primordialnya. Seturut dengan itu, fantasi inkorporasi baru dihidupkan berdasarkan konsepsi kewargaan yang bersifat teritorial (territorial conception of citizenship), yang menjalin solidaritas atas dasar kesamaan tumpah darah. Meski demikian, disadari sepenuhnya bahwa persatuan kebangsaan dalam konteks kebhinekaan bangsa Indonesia semestinya tetap memberi ruang bagi keragaman ekspresi budaya. Kesadaran ini tercermin dalam ikrar ketiga Sumpah Pemuda (versi aslinya) yang terkait dengan bahasa persatuan. Berbeda dengan ikrar tentang ‘tumpah darah’ dan ‘bangsa’ yang diakui hanya ada satu tumpah darah dan satu bangsa, dalam hal ‘bahasa’ tidaklah dikatakan dengan ungkapan ‘mengakoe berbahasa satu’, melainkan ‘mendjoendjoeng bahasa persatoean’. Para aktivis pemuda pada masa itu, seperti Muhammad Yamin, memiliki visi yang jauh ke depan, bahwa bagi Indonesia sebagai bangsa majemuk tidaklah mungkin hanya berbahasa satu. Yang dibutuhkan hanyalah komitmen untuk menjungjung tinggi bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Dengan adanya formula tersebut memungkinkan dipergunakannya konsep kebhinekaan yang lebih luas dalam semangat kesetiaan terhadap persatuan bangsa (Foulcher, 2000).

Demikianlah, lewat Sumpah Pemuda, kaum muda dengan kesadaran baru menerobos kelembaman solidaritas etno-religius melalui ”penemuan” politik (the invention of politics). Bukan saja, hingga awal abad ke-20, bahasa Melayu-Indonesia tidak memiliki kata yang spesifik untuk ’politik’; tetapi yang lebih penting, pemuda-pelajar pada akhir 1920-an mulai merumuskan konsepsi baru ideologi politik perjuangan. Perjuangan politik untuk menjelmakan suatu nation of citizens yang dapat menyatukan pelbagai keragaman posisi, determinasi dan aliran kultural ke dalam suatu blok nasional, kebangsaan Indonesia.   

Komitmen kebangsaan baru kaum muda ini terbukti tidaklah bertepuk sebelah tangan. Menyusul peristiwa Sumpah Pemuda, berbagai organisasi pergerakan dari berbagai latar etnis-keagamaan kian terdorong untuk mengintegrasikan diri ke dalam keindonesian dengan membubuhkan kata “Indonesia” dalam namanya. Sarekat Islam bermetamorfosis menjadi Partai Sjarikat Islam Indonesia (PSII) pada 1929. Budi Utomo bertransformasi menjadi Partai Indonesia Raya (Parindra) pada 1935. Komunitas Protestan mulai mendirikan Parta Kaum Masehi Indonesia (PKMI) pada 1930, disusul kemunculan Federasi Perkumpulan Kristen Indonesia (FPKI) pada 1939. Komunitas Katolik mendirikan Persatuan Politik Katolik Indonesia (PPKI) pada 1938.  Komunitas agama-agama lain seperti Hindu-Budha mempertautkan diri dengan ke-Indonesia melalui keterlibatan anggota-anggotanya dalam berbagai pergerakan dan partai politik yang ada.

Komitmen kebangsaan Indonesia itu tidak hanya diartikulasikan lewat jalur politik, melainkan juga lewat jalur kul¬tural. Periode 1920-an/1930-an memperlihatkan perkembangan ke¬sadaran nasional dan kultural dalam medan kesusastraan. Per¬wujudan paling penting dari hal ini ialah munculnya maja¬lah sastra bernama Poedjangga Baroe (PB) pada 1933. Tokoh utama dari majalah ini ialah Sutan Takdir Alisjahbana (lahir 1908) dan Armijn Pane (lahir 1908). Meskipun disebut sebagai majalah sastra, PB lebih peduli dengan ide-ide kebudayaan yang lebih luas yang bertumpang-tindih dengan isu-isu politik. Perubahan-perubahan dalam subtitel majalah tersebut mengindikasikan berlangsungnya metamorfosis kepeduliannya dari dunia kesusastraan kepada isu-isu ke¬budayaan secara umum dalam kerangka pembentukan blok nasional. Pada tahun pertama, subtitel majalah tersebut ialah “Madjalah kesoesastraan dan bahasa serta keboedajaan oemoem”. Dari tahun ketiga dan selama beberapa tahun, subtitelnya menjadi “Pembawa semangat baroe dalam kesoesastraan, seni, keboedajaan dan soal masjarakat oemoem”. Kemudian, berubah menjadi “Pembimbing semangat baroe jang dinamis oentoek membentoek keboedajaan baroe, keboedajaan per¬satoean Indonesia” (Teeuw, 1986: 29-30). Selama sekitar delapan tahun kehidupannya—sampai awal pendudukan Jepang—PB menjadi medan diskursif utama bagi pertukaran pikiran para intelektual mengenai kebudayaan baru dan fondasi intelektual bagi penciptaan komunitas imajiner Indonesia.

Alhasil, menjelang pendudukan Jepang, “Indonesia” sebagai kode kebangsaan baru telah ditemukan dan bahasa persatuan telah diproklamasi¬kan. Pada saatnya, struktur peluang politik yang diciptakan oleh peme¬rintahan pendudukan Jepang menjadi katalis yang menen¬tukan bagi penguatan dan perluasan kesadaran nasionalisme Indonesia yang mengarah pada perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia.
    
Penutup: Musibah Indonesia
Apabila gerakan kebangkitan di masa lalu berhasil memancangkan ’pikiran’ dan ’keberaksaraan’ sebagai tanda kemajuan, lantas tanda apakah gerangan yang kita ciptakan masa kini, seabad setelah BU berdiri? Inilah pertanyaan genting yang harus dicermati.

Terdapat tanda-tanda bahwa ‘pikiran’ dan keberaksaraan tak lagi menjadi ukuran kehormatan.  Inteligensia dan politisi berhenti membaca dan mencipta, karena kepintaran kembali dihinakan oleh ‘kebangsawanan baru’: kroni dan daulat modal.  Terdapat indikasi bahwa ‘pikiran’ dan keberaksaraan tak lagi menjadi ukuran kehormatan.
Penaklukan daya pikir dan daya literasi oleh pragmatisme dan banalisme membuat mindset kebangsaan kehilangan daya refleksivitasnya? Tanpa kemampuan refleksi diri, suatu bangsa kehilangan wahana pembelajaran untuk menakar, memperbaiki dan memperbaharui dirinya sendiri.

Tanpa kapasitas pembelajaran, bangsa Indonesia (secara keseluruhan) bergerak seperti zombie. Pertumbuhan penampilan fisiknya tak diikuti perkembangan rohaninya. Tampilan luar dari kemajuan peradaban modern segera kita tiru, tanpa penguasaan sistem penalarannya. Sebagai pengekor yang baik dari perkembangan fashion dunia, kita sering merasa dan bergaya seperti bangsa maju. Padahal, secara substantif, tak ubahnya bak Peterpan yang mengalami fiksasi ke fase “kanak-kanak” (jahiliyah). Bahkan bisa lebih buruk lagi. Dalam kasus strategi kebudayaan, kita cenderung mempertahankan yang buruk dan membuang yang baik.

Dalam situasi demikian, gerakan kebudayan yang mengeluhkan apa yang disebut Taufiq Ismail sebagai ”generasi nol buku”, yang berpotensi mengalami kelumpuhan daya tulis, daya baca, dan daya pikir, secara tepat menyasar pusat syaraf kelumpuhan kebudayaan Indonesia.

Gerakan kebudayaan seperti ini penting untuk melakukan koreksi terhadap kecenderungan untuk menjadikan politik dan ekonomi sebagai panglima.  Dalam teori sosial secara umum, responsibilitas untuk perubahan biasanya dialamantkan pada faktor-faktor semacam modernisasi, kapitalisme, imperialisme, figur karismatik atau individu-individu berpengaruh
Hal ini mengabaikan kenyataan bahwa reformasi sosial tidak akan pernah muncul hanya mengandalkan reformasi politik dan ekonomi, melainkan perlu berjejak pada reformasi sosial-budaya.

Gerakan kebudayaan merupakan jantung dari reformasi sosial. Pada dekade 1960-an, Herbert Marcuse menekankan dimensi estetik dari gerakan sosial pada masa itu, dengan menegaskan bahwa dalam seni, musik dan sastera lah gerakan-gerakan sosial mengingat dan menyimpan tradisi kritik dan perlawanan (Marcuse, 1969). Hal ini diperkuat oleh Richard Flacks dalam analisisnya tentang “tradisi kiri” Amerika, yang mengindikasikan bahwa gerakan sosial seringkali lebih penting sebagai aktor budaya ketimbang politik (Flacks, 1988).

Reformasi sosial merupakan fungsi dari perubahan proses belajar sosial secara kolektif, yang membawa transformasi tata nilai, ide dan jalan hidup (ways of life). Dalam hal ini, minat pengetahuan (knowledge interest) serta aktivitas produksi ide (ideas-producing activities) sangat esensial dalam mengkonstruksikan identitas kolektif baru yang memungkinkan gerakan sosial mampu memelihara vitalitasnya.

Dalam ketiadaan platform politik yang jelas, gerakan kebudayaan menjadi alternatif menjaga kewarasan publik. Adalah melalui sastera, nyanyian dan seni yang lain—yang dibudayakan dalam masyarakat—yang bisa membuat gerakan dan cita-cita sosial bisa bertahan dalam memori kolektif.

Dalam kaitan ini, ada baiknya kita simak pernyataan Antonio Skármeta, Sastrawan Chile, ”Jika modernitas bukan sekadar budaya efisiensi, dan jika demokrasi bukan hanya pesta pemilihan dan penjelimetan prosedur politik, akan selalu ada intelektual-sastrawan di seberang struktur politik—berhadapan dengan mereka yang memburu kekuasaan—di luar institusionalisasi akademik dan negara. Akan selalu ada intelektual-sastrawan yang melontarkan pertanyaan jenaka, menafsirkan kembali kontroversi dengan memunculkannya lagi, untuk menunjukkan bahwa hal-hal yang mungkin diabaikan agenda publik, atau digelapkan oleh media masih absah dipertanyakan” (Skármeta 1996: 48-49).

Oleh: Yudi Latif,  Chairman Aktual