Jakarta, Aktual.com – Sejumlah tokoh aktivis hadir dalam sebuah acara Sarasehan Aktivis Lintas Generasi yang digelar pada 21 Mei 2025 dengan mengangkat tema “Dari Demokrasi Politik Menuju Transformasi Demokrasi Ekonomi”. Dalam forum tersebut, para aktivis lintas generasi menekankan pentingnya mendorong reformasi ke arah transformasi struktural yang lebih substansial.

Dalam sarasehan tersebut, Akademisi Universitas Komputer Indonesia (UNIKOM) Bandung, Wim Tohari Daniealdi mengatakan bahwa Sarasehan Aktivis Lintas Generasi merupakan sebuah agenda penting untuk mencapai capaian politik formal menuju transformasi yang lebih substantif.

“Dalam Sarasehan Aktivis Lintas Generasi yang diselenggarakan pada 21 Mei 2025, dengan tema ‘Dari Demokrasi Politik Menuju Transformasi Demokrasi Ekonomi’, sejumlah tokoh aktivis yang hadir menegaskan pentingnya agenda reformasi melampaui capaian-capaian politik formal menuju transformasi struktural yang lebih substantif,” kata Akademisi Wim Tohari Daniealdi, Rabu (21/5).

Menurutnya, dorongan ini bukan sekadar ajakan moral, tetapi merupakan tuntutan historis yang menghendaki semangat reformasi diarahkan pada penegakan demokrasi ekonomi sebagaimana amanat konstitusi.

Ia juga mencatat bahwa usia reformasi kini telah menyentuh angka 27 tahun—hanya terpaut lima tahun dari masa kekuasaan Orde Baru yang berlangsung selama 32 tahun.

“Perbandingan ini bukan soal angka semata, tetapi menjadi pengingat bahwa sebuah sistem yang lahir dari semangat perubahan kini telah mendekati usia yang sama panjang dengan sistem yang dahulu digantikannya. Oleh sebab itu, sarasehan ini menjadi momen reflektif yang sangat relevan – bukan hanya untuk mengenang sejarah, tetapi untuk meninjau secara kritis capaian dan arah perjalanan reformasi,” ucapnya.

Demokrasi Prosedural Tanpa Keadilan Ekonomi

Dalam refleksinya, Wim menyoroti bahwa meskipun reformasi telah menggulingkan rezim otoriter dan membuka ruang demokrasi, cita-cita kerakyatan belum sepenuhnya terwujud.

“Sudah 27 tahun berlalu sejak rezim Orde Baru tumbang. Reformasi 1998, yang mengubah fondasi politik Indonesia, tidak hanya menggulingkan kekuasaan otoriter, tetapi juga membuka jalan bagi demokratisasi, desentralisasi, kebebasan pers, dan partisipasi publik yang lebih luas,” ucapnya.

Namun, ia menilai bahwa demokrasi politik saat ini belum disertai dengan transformasi sosial-ekonomi yang signifikan.

“Namun, seiring waktu, euforia demokrasi politik itu tampak menjauh dari cita-cita kerakyatan yang menjadi ruh utama konstitusi kita. Reformasi berhasil mengubah sistem, tetapi belum berhasil mentransformasikan struktur sosial dan ekonomi,” katanya.

Ia mengungkapkan bahwa demokrasi yang berjalan saat ini cenderung prosedural tanpa keadilan ekonomi, dan yang berkembang justru liberalisme pasar tanpa memperkuat kapasitas nasional.

“Bila kita mau jujur mengakui, dalam dua dekade terakhir, demokrasi Indonesia sebenarnya berjalan berdampingan dengan neoliberalisme. Pasca-1998, Indonesia menjalankan berbagai deregulasi ekonomi atas desakan lembaga-lembaga internasional seperti IMF dan World Bank,” katanya.

Wim menambahkan bahwa kebijakan seperti pembukaan sektor strategis untuk investasi asing, liberalisasi keuangan, dan pelemahan peran negara dalam industri nasional dilakukan dengan dalih efisiensi dan pertumbuhan. Namun, hasilnya belum mencerminkan pemerataan kesejahteraan.

Ia mengutip data World Bank tahun 2023 yang menunjukkan bahwa 1 persen penduduk terkaya Indonesia menguasai hampir 50 persen total kekayaan nasional, sementara gini rasio tetap stagnan di angka 0,38.

“Sementara itu, 9,5 juta penduduk masih hidup di bawah garis kemiskinan nasional, dan lebih dari 130 juta orang bekerja di sektor informal dengan pendapatan yang tidak stabil,” jelasnya.

Ia pun menilai bahwa liberalisasi ekonomi tidak menghadirkan kemandirian, melainkan menciptakan ketergantungan struktural pada kekuatan ekonomi besar.

“Alih-alih menciptakan kemandirian, liberalisasi justru menciptakan ketergantungan struktural. Sektor-sektor vital seperti pertambangan, energi, dan perkebunan didominasi oleh perusahaan asing atau konglomerasi nasional yang dekat dengan kekuasaan,” ucapnya.

Lebih lanjut, ia menyoroti lambatnya perkembangan industri manufaktur dan teknologi, serta tingginya ketergantungan pada impor barang konsumsi.

“Produk-produk hulu Indonesia terus diekspor dalam bentuk mentah, sementara industri manufaktur dan teknologi tak kunjung berkembang signifikan. Impor barang konsumsi naik tajam dalam dua dekade terakhir, dan ketahanan pangan justru melemah. Nilai impor bahan pangan pada tahun 2023 menembus sekitar Rp250 triliun, termasuk impor beras yang mencapai lebih dari 3 juta ton – angka tertinggi dalam satu dekade terakhir,” tutupnya.

Artikel ini ditulis oleh:

Rizky Zulkarnain