Ribuan mahasiswa yang tergabung dalam Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) mengadakan unjuk rasa di depan kantor Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Jakarta, Jumat (14/9). Unjuk rasa ini diadakan sebagai bentuk protes terhadap pelemahan rupiah yang terjadi pada beberapa waktu belakangan. AKTUAL/ FADLAN BUTHO

Aktual- Pemerintah telah mengembalikan dana restitusi PPN sebesar Rp253 triliun hanya untuk enam jenis barang tambang, yakni batubara, besi/baja, gas alam, minyak, lignit, dan minyak mentah pada 2020-2023.

Kondisi regulasi perpajakan seperti dinilai sangat tidak adil bagi keuangan negara dan berpotensi memperlebar ketimpangan fiskal.

“Negara justru membayar kembali PPN yang tidak pernah dipungut, dan ini mayoritas dinikmati oleh konglomerasi tambang. Ini bentuk subsidi tersembunyi untuk para oligarki tambang,” kata Rinto Setyawan, Ketua Umum Ikatan Wajib Pajak Indonesia (IWPI) dalam keterangan tertulisnya, Rabu 18 Juni 2025.

Rinto mengungkapkan, salah satu sektor yang menjadi sorotan adalah sektor pertambangan, dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) sebagaimana dirubah terakhir dengan UU Nomor 2 Tahun 2025, pemerintah menghapus daftar barang yang tidak dikenai PPN.

Akibatnya, seluruh barang hasil pertambangan, termasuk batu bara, minyak, gas, dan logam, sekarang menjadi Barang Kena Pajak (BKP).

Namun, karena ketentuan ekspor tetap dikenai PPN 0 persen berdasarkan Pasal 7 ayat (2) huruf a UU PPN, para eksportir tambang tidak dikenakan PPN atas penjualannya ke luar negeri, tetapi tetap berhak mengajukan restitusi PPN masukan.

“Kondisi ini menimbulkan “subsidi fiskal terbalik” yang membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN),” tutur Rinto.

Karenanya, IWPI mengusulkan agar Presiden Prabowo Subianto merevisi UU Pajak Pertambahan Nilai (PPN), khususnya untuk pengecualian barang tambang dari tarif 0 persen PPN ekspor.

Selain itu, IWPI menyarankan tarif PPN khusus ekspor tambang sebesar 5-10%, agar ada kontribusi riil dari sektor tambang ke APBN, restitusi besar-besaran bisa dikendalikan, dan tercipta keadilan fiskal dan konstitusional, sesuai amanat Pasal 33 UUD 1945.

“Kalau negara tidak segera melakukan revisi, maka APBN kita akan terus terkuras. Ini bukan hanya masalah teknis fiskal, ini masalah moral konstitusi,” tegas Rinto.

Selain itu kata dia IWPI mendesak pemerintah untuk tidak lagi bersikap pasif terhadap beban restitusi pajak dari sektor tambang.

Dengan revisi UU PPN dan pemberlakuan tarif khusus untuk ekspor tambang, negara bisa memperbaiki ketimpangan fiskal dan memulihkan keadilan konstitusional dalam pengelolaan sumber daya alam.

“Negara tidak boleh rugi di tanah sendiri,” pungkas Rinto.

Sebelumnya, Kementerian Keuangan mengungkapkan, realisasi penerimaan pajak pada periode Januari hingga Mei 2025 hanya mencapai Rp683,3 triliun. Angka ini turun signifikan sebesar 10,14 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.

Menurut Wakil Menteri Keuangan Anggito Abimanyu, penurunan ini disebabkan oleh tingginya pengembalian pajak atau restitusi.

“Memang di (penerimaan pajak) netonya ada negatif karena ada kewajiban restitusi yang jatuh tempo,” jelas Anggito, dalam konferensi pers “APBN Kita” pada Selasa 17 Juni 2025.***

Artikel ini ditulis oleh:

M. Malik