Aksi Bela Isla, 411 dan 212 harus tetap dalam satu tarikan nafas. Bahwa energi islam dan nasionalisme tak mungkin dipisahkan. Dan acara reuni Akbar seperti Sabtu 2 Dsember kemarin, akan selalu jadi sarana mengingatkan kita bahwa usaha memisahkan keduanya akan berakhir dengan kegagalan. Karena melawan kodrat geopolitik indonesia.
Penting untuk kita sadari bersama bahwa energi spiritual Islam dan Nasionalisme merupakan sebuah persenyawaan yang tak terpisahkan. Dan sedang menunggu momentum kebangkitannya.
Kebangkitan nasional jilid 2. Kebangkitan khas Indonesia. Maka itu menarik ketika utz Bachtiar Nashir menganjurkan saudara saudara kita yang tidak ikut ke Monas Membaca Surat al Kahfi.
Apakah ini pertanda 7 pemuda yang tidur di gua Kahfi akan segera terjaga? Wallahualam. Namun, apa yang bisa kita renungkan dari acara Reuni Akbar 2 Desember kali ini?
Adanya persatuan perangai yang timbul karena persatuan nasib. Satu perasaan yang sama bahwa saat ini kita sedang dijajah oleh bangsa asing dengan batuan para kompradornya. Bukan dijajah secara militer dan politik, melainkan dijajah melalui sarana ekonomi dan budaya.
Rasa persatuan nasib dan persatuan perangai inilah yang memancar di acara Reuni 212 di Lapangan Monas. Ya persatuan perangai yang timbul karena ada rasa senasib saat ini.
Yang mana rasa senasib itu mempunyai dorongan untuk mengubahnya ke arah yang lebih baik. Berkumpul bersama, berdoa bersama, Dzikir bersama, dan sholat bersama, merupakan perilaku kolektif yang timbul dari perasaan dan kesadaran koilektif. Bung Karno menyebutnya bertemunya pikiran sadar dan alam bawah sadar.
Sisi lain dari fenomena reuni 212 adalah, betapa pentingnya kesadaran geopolitik. Yaitu persatuan atau persenyawaan antara orang dan tempat dimana dia bermukim. Persatuan antara manusia dan tempatnya memang tidak boleh diremehkan. Tidak dapat dipisahkan,
Dalam bahasa peristilahan Bung Karno, antara rakyat dan bumi yang ada di bawah kakinya. Jadi harus ada keselarasan antara manusia, perasaannya, dan tempatnya, bumi yang didiami manusia itu. Itulah yang disebut tanah air. Tanah dan Air merupakan satu kesatuan.
Bahwa selain rasa seiman sebagai umat beragama Islam, Islam itu sendiri sudah bersatu dan bersenyawa dengan bumi nusantara secara geopolitik. Bahwa kepulauan Indonesia merupakan satu kesatuan. Bahwa Indonesia yang bulat bukan Jawa saja, bukan Sumtra saja, bukan Maluku saja, dan bukan Kalimantan saja. Melainkan segenap kepulauan yang ditunjukkan oleh Allah SWT menjadi satu kesatuan di antara dua benua dan dua samudra. Itulah Tanah Air kita.
Dan itulah pesan sentral dari perhelatan Sabtu kemarin. Betapa manusia, karakter, perasaan, dan tempatnya, bertali-temali. Dan Islam itulah yang menujadi tali-temali penting dari kodrat geopolitik Indonesia. Melawan itu, berarti melawan kodrat geopolitik Indonesia.
Hendrajit, redaktur senior.