Jakarta, aktual.com – Isu hangusnya sisa kuota internet pasca berakhirnya masa aktif paket kembali memicu polemik nasional. Berdasarkan data dari Indonesia Audit Watch (IAW), kerugian masyarakat akibat kebijakan tersebut diperkirakan mencapai Rp63 triliun per tahun, dan jika diakumulasi sejak 2009, nilainya bisa melampaui Rp600 triliun.
Menanggapi isu ini, Asosiasi Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI) angkat bicara. Direktur Eksekutif ATSI, Marwan O. Baasir, menyatakan bahwa penetapan kuota dan masa aktif oleh operator telah sesuai dengan Pasal 74 Ayat 2 Peraturan Menkominfo No. 5 Tahun 2021, yang menyebutkan bahwa deposit prabayar memiliki batas waktu penggunaan.
“Penerapan masa aktif adalah praktik wajar dalam industri ini. Kuota internet tergantung lisensi spektrum yang diberikan pemerintah, bukan volume pemakaian, dan berbeda dengan listrik atau kartu tol,” jelas Marwan dalam keterangan resminya.
Ia menambahkan bahwa transparansi adalah prinsip utama. Setiap paket data yang ditawarkan operator selalu disertai informasi lengkap mengenai masa aktif, harga, dan hak pelanggan. Marwan juga menyebut bahwa kebijakan serupa berlaku global, seperti di Kogan Mobile (Australia) dan CelcomDigi (Malaysia).
Meski demikian, suara kritis muncul dari parlemen. Anggota Komisi VI DPR RI dari Fraksi PKB, Nasim Khan, menyatakan bahwa Telkom Group dan Telkomsel perlu menjelaskan kebijakan kuota hangus kepada publik.
“Banyak keluhan masyarakat. Ini menunjukkan ketidakberpihakan pada konsumen. Kami mendorong kebijakan yang lebih adil,” tegas Nasim. Ia juga mendorong penerapan sistem rollover kuota, di mana sisa data bisa digunakan pada bulan berikutnya.
Nasim menilai bahwa di tengah meningkatnya kebutuhan internet, konsumen harus mendapatkan perlindungan hak digital yang memadai, dan operator tidak boleh hanya berfokus pada keuntungan.
Senada, Anggota Komisi I DPR RI dari Fraksi PAN, Okta Kumala Dewi, menilai kebijakan hangusnya kuota adalah bentuk ketidakadilan digital.
“Ini bukan semata masalah teknis, tapi menyangkut prinsip keadilan dan transparansi. Kuota yang sudah dibeli masyarakat adalah hak yang tidak boleh hilang tanpa jejak,” tegas Okta.
Okta bahkan mendorong BPK dan KPK untuk turun tangan menyelidiki potensi penyimpangan. Ia menyebut bahwa praktik ini bisa menjadi pintu masuk penyimpangan sistemik yang telah terjadi selama lebih dari satu dekade.
Sebagai solusi, Okta juga menekankan pentingnya regulasi wajib rollover yang memungkinkan masyarakat memanfaatkan kuota tanpa terbuang percuma. Ia memastikan bahwa Komisi I DPR akan menjadikan isu ini sebagai bagian dari pengawasan terhadap sektor komunikasi digital.
“Hak masyarakat tidak boleh terus dikorbankan demi keuntungan sepihak. Kami akan kawal agar regulasi yang lebih adil dan transparan bisa diwujudkan,” pungkasnya.
Di tengah tarik-ulur antara kepentingan industri dan hak konsumen, dialog terbuka dan kebijakan berbasis kepentingan publik menjadi kunci untuk memastikan keberlanjutan industri digital yang adil dan bertanggung jawab.
Artikel ini ditulis oleh:
Tino Oktaviano