Jakarta, Aktual.com — Komisi VI DPR RI menelusuri dugaan korupsi kerjasama antara BUMN PT Hotel Indonesia Natour (HIN) dengan PT Grand Indonesia atau PT Cipta Karya Bumi Indah (CKBI). Komisi VI pun telah mencantumkan kasus yang diduga merugikan negara hingga triliunan rupiah tersebut sebagai agenda pokok penyelidikan panja Asset.

Anggota Komisi VI DPR Primus Yustisio mengatakan dalam dokumen perjanjian PT HIN dan PT GI tidak ditemukan kesalahan. Namun, kesepakatan perjanjian tersebut terkesan direncanakan agar bisa ‘Dimainkan’.

“Setelah dipelajari, Dokumen yang diberikan HIN bahwa dugaan pribadi saya tidak ada kesalahan prosedural tapi ada kesepakatan sejak awal. Jadi ini ‘by design’. Saya melihatnya karena ini melibatkan pejabat nagara, yakni direksi yang punya kewenangan. Jadi ini ‘crime organize’,” ujar Primus di gedung DPR, Senayan, Jakarta, Selasa (1/3).

Dugaan kerugian negara senilai triliunan rupiah ini akibat murahnya sewa dan pelanggaran kontrak yang dilakukan oleh pengelola Hotel Indonesia dan pusat perbelanjaan Grand Indonesia yaitu PT Grand Indonesia, anak usaha PT Cipta Karya Bumi Indah (CBIK). Sebab, asumsi perpanjangan 20 tahun dengan nilai kompensasi Rp400 terlalu murah, sedangkan perpanjangan itu 25 persen kali dari nilai jual obyek pajak (NJOP). Harusnya NJOP 2014 total bangunan Rp6 triliun itu sekitar Rp1,5 triliun.

“Memang betul tahun 2003 harga tanah nggak semahal sekarang tapi itu adalah jantung negeri ini, itu di pusat. Kalau negeri kita terus berkembang pasti harga tanah dari tahun ke tahun akan mengalami peningkatan. Nah tetapi yang dipatok tidak sesuai dengan NJOP,” tegasnya

Tentunya, lanjut Primus, itu menguntungkan pihak ‘pencuri’, dalam hal ini yang bertanggungjawab melakukan kesepakatan. “Mohon maaf, bagi saya direksi-direksi itu perampok negara,” cetusnya.

Primus menambahkan, Komisi VI menunggu direksi PT HIN beserta mitra bisnisnya baik PT GI maupin PT CKBI untuk membuktikan hazard moral. Sebab, meskipun hanya masuk pada tata hukum perdata, hal tersebut juga perlu dipertanggungjawabkan.

“Biar saja nanti di akhirat juga diadilin. Jadi yang buat kesepakatan ini selalu beranggapan di akhirat selelai. Tidak kena hukum di dunia tidak juga nggak kena di akhirat. Salah, di akhirat itu dipertanyakan,” tandasnya.

Artikel ini ditulis oleh: