Jakarta, Aktual.com – Pengamat perpajakan dari Danny Darussalam Tax Center (DDTC), Darussalam, mengungkapkan rumus keberhasilan reformasi pajak adalah melalui pengupayaan penyederhanaan atau simplifikasi peraturan perpajakan.
“Tidak ada refromasi pajak yang memberikan kepastian hukum tanpa simplifikasi peraturan perpajakan. Maka ke depan, kita upayakan reformasi aturan yang sifatnya simplikasi,” kata Darussalam dalam acara diskusi perpajakan di Universitas Indonesia (UI) Salemba, Jakarta, Senin (9/1).
Menurut Darussalam, pnyederhanaan/ simplifikasi peraturan perpajakan tersebut antara lain dilakukan dengan mengurangi biaya administrasi pemungutan pajak bagi otoritas pajak dan mengurangi biaya kepatuhan wajib pajak.
“Sehingga arah perpajakan 2017 adalah bagaimana meletakkan kerangka dasar reformasi perpajakan,” kata dia.
Sebelumnya, pemerintah telah membentuk tim reformasi perpajakan dan tim penguatan reformasi kepabeanan dan cukai agar institusi pajak serta bea dan cukai dapat lebih efektif dalam mengawal penerimaan negara dan mampu melayani dengan tingkat integritas yang tinggi.
Pembentukan tim reformasi perpajakan ini ditegaskan melalui Keputusan Menteri Keuangan Nomor 885/KMK.03/2016, sedangkan tim reformasi penguatan reformasi kepabeanan dan cukai melalui Keputusan Menteri Keuangan Nomor 909/KMK.04/2016.
Menteri Keuangan Sri Mulyani menjelaskan tim ini memiliki fungsi untuk mempersiapkan dan mendukung pelaksanaan serta penguatan reformasi yang mencakup aspek organisasi, sumber daya manusia, infrastruktur, penganggaran, peraturan perundang-undangan, basis data, proses bisnis dan teknologi informasi.
Dari sisi perpajakan, pembentukan tim reformasi ini berguna untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak, meningkatkan kepercayaan terhadap pengelolaan basis data maupun administrasi perpajakan serta mendorong integritas dan produktivitas aparat pajak.
Darrusalam menyebutkan program amnesti pajak juga diharapkan menjadi awal dari reformasi pajak secara komprehensif.
Dia berpendapat reformasi pajak di Indonesia sebaiknya dilakukan dengan menciptakan desain ulang sistem pajak agar di satu sisi menjamin kesinambungan penerimaan, dan di sisi lain meminimalkan sengketa.
“Oleh karena itu, dibutuhkan paradigma baru yaitu kerangka kepatuhan pajak yang berbasis ‘enhanced relationship’ atau sering disebut ‘cooperative compliance’,” kata Darrusalam, yang juga menjadi bagian dalam tim reformasi pajak tersebut.
Dia menjelaskan paradigma baru tersebut mensyaratkan adanya hubungan yang dibangun atas adanya transparansi, partisipasi, keterbukaan, saling percaya, dan saling memahami antara wajib pajak, otoritas pajak, dan konsultan pajak.
Dengan demikian, isu pajak yang berpotensi menjadi sengketa dapat diidentifikasi dan didiskusikan sebelum menjadi pokok sengketa.
ANT
Artikel ini ditulis oleh:
Antara
Arbie Marwan