Ilustrasi Satgas Hilirisasi dan Ketahanan Energi
Ilustrasi Satgas Hilirisasi dan Ketahanan Energi

Jakarta, Aktual.com – Pemerintah baru saja mengambil langkah besar dengan menetapkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 1 Tahun 2025. Keputusan ini membentuk Satuan Tugas Percepatan Hilirisasi dan Ketahanan Energi Nasional (Satgas) dengan harapan mempercepat hilirisasi sumber daya alam dan memperkuat ketahanan energi.

Meski terlihat sebagai inisiatif strategis yang diperlukan, pertanyaan besar tetap menggantung: mampukah Satgas ini menjawab kompleksitas tantangan yang ada?

Dalam konteks ekonomi nasional, hilirisasi sumber daya alam bukan lagi pilihan, melainkan kebutuhan mendesak. Selama bertahun-tahun, Indonesia terlalu bergantung pada ekspor bahan mentah yang nilai tambahnya minim. Upaya meningkatkan nilai tambah di dalam negeri melalui pengolahan bahan mentah adalah langkah logis untuk menciptakan lapangan kerja, meningkatkan pendapatan negara, dan memperkuat daya saing global.

Namun, perjalanan menuju hilirisasi bukanlah jalan yang mulus. Hambatan regulasi, perizinan, penyediaan lahan, dan tata ruang sering kali menjadi batu sandungan. Di sisi lain, ketahanan energi nasional menghadapi tantangan serius dengan fluktuasi harga energi global, ketergantungan pada energi fosil, dan lambatnya adopsi energi terbarukan.

Pembentukan Satgas ini, dengan tujuan menyelesaikan hambatan tersebut, adalah pengakuan pemerintah bahwa koordinasi lintas sektor sangat diperlukan. Tapi, apakah pembentukan sebuah tim baru akan cukup untuk menyelesaikan masalah yang sudah mengakar selama bertahun-tahun?

Melihat struktur organisasi Satgas, pemerintah tampaknya serius. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral ditunjuk sebagai Ketua, didampingi wakil ketua yang berasal dari kementerian terkait seperti investasi, agraria, hingga kehutanan. Dengan berbagai kementerian yang terlibat, Satgas memiliki mandat besar: mulai dari menyelaraskan kebijakan lintas sektor, mengidentifikasi proyek strategis, hingga menyelesaikan hambatan hukum dan administratif.

Namun, pengalaman menunjukkan bahwa struktur besar tidak selalu menjamin efektivitas. Koordinasi antar kementerian sering kali terkendala ego sektoral. Dalam konteks ini, Satgas harus membuktikan bahwa ia mampu menjadi penggerak nyata, bukan sekadar tambahan birokrasi yang memperpanjang proses.

Salah satu tugas utama Satgas adalah memetakan wilayah usaha yang memiliki potensi hilirisasi. Ini melibatkan perubahan tata ruang darat dan laut serta pemanfaatan kawasan hutan. Langkah ini tentu penting, tetapi juga berpotensi memicu konflik lingkungan dan sosial. Apakah Satgas memiliki mekanisme untuk memastikan bahwa eksploitasi sumber daya tidak mengorbankan keberlanjutan lingkungan dan hak-hak masyarakat lokal?

Selain itu, fokus pada energi baru dan terbarukan (EBT) patut diapresiasi, tetapi implementasinya tidak semudah yang diharapkan. Investasi di sektor EBT memerlukan dukungan teknologi, regulasi yang stabil, dan insentif yang menarik bagi sektor swasta. Tanpa langkah-langkah konkret, EBT hanya akan menjadi jargon dalam dokumen kebijakan.

Keppres mewajibkan Satgas melaporkan pelaksanaan tugasnya kepada Presiden setiap enam bulan. Namun, akuntabilitas kepada publik tidak disebutkan secara eksplisit. Dalam konteks reformasi birokrasi, transparansi menjadi elemen penting. Rakyat berhak mengetahui sejauh mana Satgas bekerja, hambatan apa yang dihadapi, dan dampak nyata yang telah dihasilkan.

Publikasi laporan berkala kepada masyarakat bisa menjadi langkah awal untuk membangun kepercayaan. Selain itu, keterlibatan pemangku kepentingan seperti organisasi masyarakat sipil, akademisi, dan pelaku usaha dapat memperkaya perspektif dan memberikan pengawasan independen.

Keputusan Presiden ini adalah langkah besar yang layak diapresiasi. Namun, seperti kebijakan lainnya, implementasi menjadi kunci. Keberhasilan Satgas tidak hanya bergantung pada niat baik, tetapi juga pada kemampuan eksekusi, pengawasan yang ketat, dan kesediaan untuk beradaptasi dengan dinamika di lapangan.

Masyarakat, media, dan para pengamat harus terus mengawal pelaksanaan Keppres ini. Jangan sampai Satgas ini menjadi sekadar simbol tanpa dampak nyata. Pemerintah perlu menunjukkan bahwa mereka tidak hanya serius di atas kertas, tetapi juga di lapangan.

Pada akhirnya, pertanyaan utama yang harus dijawab adalah: apakah Satgas ini akan menjadi solusi nyata atau hanya tambahan dalam daftar panjang program ambisius yang gagal mencapai tujuannya? Waktu yang akan menjawab, tetapi tindakan nyata harus segera dimulai.

(Redakasi Aktual)