Jakarta, Aktual.co — Bagi Bali tiada hari tanpa alunan suara gamelan dan gerak lincah orang menari. Alunan musik tradisional itu ibarat denyut nadi Pulau Dewata.
Geliat tari ibarat ritme kehidupan. Puspa ragam ekspresi seni tari tersaji dalam ritual keagamaan, aktivitas budaya, adat dan peristiwa sosial lainnya maupun yang digelar secara khusus sebagai tontonan wisatawan.
Menari bukan hanya dilakoni oleh gadis-gadis cantik dan perjaka-perjaka tampan. Dalam ritual agama Hindu yang dianut masyarakat Bali, orang-orang tua hingga anak-anak pun tampil menari.
Seratus tahun terakhir ini, kehadiran gong kebyar dengan segala perubahannya seakan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan berkesenian, ritual keagamaan, dan dinamika masyarakatnya.
Untuk memberi arti pada seabad gong kebyar memfokuskan pada dua hal, yakni pengaruh gong kebyar pada seni pertunjukan Bali, dan gong kebyar dalam konteks ekspresi budaya masyarakat Pulau Dewata.
Kedua hal itu, menurut Kadek Suartaya, yang juga kandidat doktor program pascasarjana Kajian Budaya Universitas Udayana dianalisis melalui pendekatan kajian teks dan konteks, sebab gong kebyar sebagai sebuah teks tentu memiliki keterkaitan dengan konteks sosial-kultural-religius kehidupan manusia, dalam hal ini manusia Bali.
Saling Mempengaruhi Suartaya yang sering memperkuat tim kesenian Bali mengadakan lawatan ke mancanegara itu menjelaskan, gong kebyar yang lahir di Bali utara dengan cepat menyebar ke penjuru Bali.
Perkembangan pesat gong kebyar bukan hanya secara fisik namun juga secara konsep estetik, terutama secara fungsional. Secara fisik, gong kebyar telah dikenal luas di Bali pascakemerdekaan RI, baik gong kebyar buatan baru atau gong kebyar yang didaur dari gamelan-gamelan yang telah ada sebelumnya.
Pada awalnya, bentuk fisik gong kebyar milik sebuah desa atau banjar, umumnya dengan tungguh instrumen yang masih bersahaja sering disebut lelengisan atau tanpa ukiran dan warna prada.
Hingga dimulainya lomba gong kebyar atau utsawa merdangga pada tahun 1968, utusan masing-masing kabupaten dan kota di Bali masih tampil dengan fisik gamelan yang sederhana.
Kendati dalam bentuk fisik yang sederhana, biasanya gong kebyar yang dibeli dengan susah payah itu oleh warga desa atau banjar pemiliknya, dipelihara dengan telaten. Tidak sembarang warga, terutama anak-anak, dibolehkan memainkan gamelan.
Sebab untuk dapat mengikuti trend gong kebyar yang merebak di Bali itu memerlukan biaya dan pengorbanan yang berat pada situasi krisis ekonomi yang sedang terpuruk.
Selain biaya uang, masyarakat yang ingin memiliki gong kebyar juga berkorban perasaan yang harus melebur gamelan yang telah dimiliki seperti semarapagulingan atau palegongan misalnya agar dapat berkebyaria.
Namun begitu kuatnya pesona gong kebyar memaksa masyarakat desa atau banjar mengikhlaskan gamelan warisan leleluhurnya diubah menjadi gong kebyar.
Ansambel gong kebyar sangat berpengaruh kepada gamelan lainnya. Pengaruh fisikal dari perkembangan kebyar itu dibarengi pula dengan pengaruh estetik musikal. Estetika ngebyar menjalar pada ekspresi musikal sejumlah gamelan Bali yang lainnya.
Ngebyar, kata dia, secara teknis musikal dalam seni tabuh didefinisikan sebagai sesuatu ungkapan secara serentak, keras, cepat, ramai, riuh, lincah, aksentuatif, sarat kejutan, dan seterusnya.
Dari sudut etimologis, kebyar sebagai sebuah istilah dalam bahasa Bali dapat dipandang secara audio dan visual. Secara audio kebyar adalah bunyi yang keras serentak dan secara visual kebyar adalah sinar sesaat yang terang benderang.
Karakteristik musikal ngebyar, secara sadar dan tak sadar, mewarnai estetika sebagian seni karawitan Bali seperti tampak dalam gender wayang, angklung, joged bumbung, dan balaganjur.
Artikel ini ditulis oleh: