Komisi VI DPR menegaskan bahwa holding BUMN sektor industri Migas tidak memiliki nilai legitimasi di mata DPR karena dianggap melanggar perundang-undangan. (ilustrasi/aktual.com)

Jakarta, Aktual.com – PT Perusahaan Gas Negara (PGN) telah melaksanakan Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPS LB) atas perintah Menteri BUMN Rini Soemarno pada Kamis 25 Januari 2018 Lalu.

Dalam forum RUPSLB tersebut di setujui bahwa PGN mengalihkan saham seri B milik negara sebesar 56,6 persen kepada PT Pertamina dengan masa berlaku 60 hari.

Pengalihan ini akan resmi berlaku jika Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) yang kini sudah masuk ke Setneg yang di ajukan oleh Menteri Keuangan dan Menteri BUMN disetujui oleh Presiden Jokowi.

Adalah sesuatu yang bermanfaat jika pembentukan Holding BUMN Migas antara PGN dan Pertamina ini untuk memperkuat struktur aset dan modal agar dua perusahaan yang digabungkan ini menjadi lebih efisien, kompetitif dan tidak bersaing secara bisnis dengan jenis usaha yang sama.

Namun pada kenyataannya di lapangan, pembentukan holding migas ini tidak memberikan nilai tambah bagi perusahaan induk holding, menambah birokrasi, memperpanjang rantai pengambil keputusan serta menimbulkan inefisiensi biaya karena diketahui saat ini inefisiensi keuangan dan manajemen Pertamina saat ini tidak ‘prudent’.

Terbukti dalam tahun buku 2017 kerugian Pertamina mencapai Rp17 Triliun. Berbanding terbalik dengan dengan PGN mendapat laba US$150 juta di tahun yang sama sehingga kesan yang muncul adalah PGN di ‘caplok’ oleh Pertamina untuk menutupi keuangan Pertamina yang kolaps.

Kemudian yang menjadi persoalan berikutnya adalah mekanisme “top down” yang di tempuh oleh Rini Soemarno dengan skema ‘inbreng’, dengan memaksakan PGN di-‘caplok’ Pertamina menimbulkan ketidakpercayaan investor bahwa BUMN sangat mudah diintervensi sehingga terjadi gejolak pasar dimana nilai kapitalisasi saham PGN (PGAS) terus menurun di perdagangan pasar saham sampai saat ini.

Seharusnya Rini tak usah buru-buru memaksakan Holding ini dengan menempuh cara yang lebih soft dengan metode ‘bottom up’.

Dengan mengintegrasikan lebih dahulu dengan skema PGN mengakuisisi Pertagas, anak perusahaan Pertamina yang memiliki usaha sejenis dengan PGN, yang bergerak di bidang usaha distribusi gas bukan sebaliknya memaksakan kehendak dengan digabung dari atas dan Pertamina sendiri perlu memperbaiki Good Corporate Governance (GCG) sebelum ditetapkan menjadi holding disebabkan Pertamina sampai saat ini tak mampu mengatasi “Kelompok kepentingan” yang melingkupinya.

Presiden Jokowi harus lebih berhati-hati dengan agenda agenda sendiri oleh pembantu-pembantunya di kabinet yang tidak mencerminkan program Nawa Cita di bidang energi.

Rini sering membuat Keputusan kontroversial contohnya membuat BUMN jadi sekarat semisal Garuda Indonesia yang di suruh membeli pesawat besar yang tidak sesuai dengan kebutuhan Garuda sehingga menyebabkan kerugian besar dan Garuda terus merugi karena beban hutang, belum lagi tidak adanya persetujuan DPR karena Rini tidak di terima dalam rapat kerja bersama komisi VI sejak keputusan Pansus Pelindo yang merekomendasikan pemecatannya.

Keputusan holding BUMN Migas ini akan menimbulkan turbolensi dan kegaduhan politik yang tidak produktif sehingga sebaiknya Presiden Jokowi tidak buru-buru menyetujui dan menolak Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) yang di ajukan Menteri BUMN.

Karena kebijakan holding ini lebih pada uji coba ‘trial & error’. lebih baik Rini fokus untuk menindaklanjuti perintah Presiden Jokowi untuk mengatasi mahalnya harga gas dalam negeri menjadi US$ 6/MMBtu dari US$ 11/MMBtu saat ini dengan memperbaiki dan memperkuat sistem distribusi infrastruktur Gas dari hulu hingga hilir. ‘Mindset’ bahwa Holding BUMN Migas adalah solusi mengatasi mahalnya harga gas ini adalah keliru dan sesat pikir.

Oleh: M. Adnan Rara Sina, Koordinator Indonesia Energy Watch (IEW)