Prabowo Subianto (kiri) dan Presiden Joko Widodo (kanan). Foto: BPMI Setpres
Prabowo Subianto (kiri) dan Presiden Joko Widodo (kanan). Foto: BPMI Setpres

Oleh: Sir Muda (Inisiator Semua Anak Bangsa, Prabowo-Gibran 02)

Max Weber berpendapat, negara adalah lembaga yang memiliki monopoli atas penggunaan kekerasan fisik yang sah di dalam suatu wilayah tertentu.

Hannah Arendt filosof politik, menggambarkan negara sebagai “ruang politik tempat manusia dapat hidup bersama dalam kebebasan dan membangun dunia bersama melalui tindakan politik.”

Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Prabowo yang terjun ke lapangan menyaksikan kondisi masyarakat di balik peradaban megah kota-kota besar di Indonesia, dari kaum terdidik di Perguruan Tinggi, hingga masyarakat miskin.

Secara umum ada tiga jenis kemiskinan disampaikan oleh Hendi Sulaiman dalam bukunya Dhuafa’ dan Mustadh’afin dalam Pikiran Rakyat (2005). Pertama, kemiskinan natural yaitu yang dialami sejak lahir, kondisi disabilitas menyebabkan terbelenggu dalam kemiskinan, juga kondisi ekonomi dan sosial yang kebetulan tidak baik dapat menyebabkan terjerembab dalam miskin sejak lahir.

Tawaran solusinya dalam Islam adalah santunan, jelas perlu bantuan orang lain terutama pemerintah. Maka dari sinilah sudah tepat strateginya dalam menyalurkan Bantuan Langsung Tunai (BLT) atau Bantuan Sosial (Bansos), lebih-lebih di bulan Februari 2024. Namun bukan hanya tugas Jokowi dan Prabowo saja sebab ada hak dan kewajiban, yakni siapa saja yang kaya dan mampu, maka ia perlu membantunya. Sebagaimana dalam QS at-Taubah ayat 60 dan QS Adz-Dzariyat ayat 19.

Kedua, kemiskinan kultural, dimana teori konvensional, faktor kultural, budaya atau gaya hidup malas budaya demikian berdampak kepada ketertinggalan dalam berbagai aspek kehidupan terutama pemenuhan kebutuhan primer. Imbasnya dapat dilihat dari klasifikasi daerah-daerah tertinggal dibanding dengan daerah lainnya. Solusinya adalah budaya etos kerja. Sebagaimana QS Al-Jumu’ah ayat 10, mencari Fadhlullah, berusaha dan bekerja yang terampil dalam pelatihan dalam ekonomi digital, UMKM, dan lain-lain.

Ketiga, Kemiskinan Struktural oleh Azyumardi Azra, dalam tulisannya “bangun pagi dan Kemiskinan” Republika (2005), yang disebabkan rajin atau tidaknya individu bekerja, tetapi disebabkan adanya sistem atau struktur yang mencegah sebagain besar orang untuk menjadi kuat, sejahtera, bahkan kaya. Solusinya menawarkan struktur sosial yang bebas dari eksploitasi, penindasan dan konsentrasi pada elit saja, keadilan sistem dalam segala hal.

Serajin apapun ia bekerja, ia tidak dapat meningkatkan taraf hidupnya karena struktur mencegah untuk berkembang entah disebabkan kesenjangan sosial yang lebar antara kelompok kaya dengan mayoritas masyarakat miskin, ke-dua lambatnya mobilitas sosial akibat kungkungan struktur yang ada.

Prabowo dan Jokowi boleh disebut interaksionis mendalami bahasa simbol apa yang diinginkan mayoritas rakyat. Dimana, kebutuhan sehari-hari masyarakat yang pergi ke ladang sawah, ke pasar, ke pangkalan ojek dan ngetem untuk menanti rezeki dalam memenuhi kebutuhan keluarganya. Setelah sampai di rumah, bagi masyarakat miskin perkotaan disempatkan melihat HP ataupun menyaksikan siaran TV dan berita lainnya.

Presiden Jokowi sadar bahwa demografi serta kemapanan dalam menyeimbangkan data survei dan cross check langsung terjun di lapangan yang jauh dari laboratorium dan peradaban kampus. Maka yang dibutuhkan rakyat adalah BLT dan bansos meskipun dikritik elit tapi cara inilah yang mujarab membantu mereka.

Dari sinilah, tidak begitu penting apa yang disampikan kelompok elit yang tidak mengalami langsung dan terjun langsung mengecek data di lapangan sebagaimana tuduhan yang diberikan kepadanya.

Presiden Jokowi menggandeng Nahdlatul Ulama (NU), bahkan kabarnya nama Joko Widodo akan disematkan di lantai 9 gedung Universitas NU di Yogyakarta. Kepiawaiannya juga dalam berdiplomasi di kancah Internasional, terutama bersama Menteri Luar Negeri (Menlu) Retno Marsudi untuk menjalin kerjasama membantu warga Palestina di Gaza atas Israel.

Prabowo becoming a Leader merupakan sebuah proses yang melibatkan kombinasi antara keterampilan, kepribadian, pengalaman, dan pengembangan diri secara terus-menerus tidak lelah dan putus asa, selalu dapat masukan dan kritikan ia terima.

Terus belajar untuk memperluas pengetahuan dan keterampilan Prabowo dalam bidang yang diminati atau keahlian yang ingin kembangkan. Ia dalam pendidikan formal, pelatihan, atau belajar mandiri telah terbukti. Prabowo tidak lelah dalam mengembangkan potensi yang dimilikinya.

Pengalaman adalah guru terbaik. Prabowo melakukan aktivitas-aktivitas yang memungkinkannya untuk mempraktikkan keterampilan kepemimpinan, seperti memimpin tim, mengelola jabatan atau berperan sebagai mentor bagi orang lain dalam menjaga keutuhan NKRI di mana diberikan kepercayaan menjadi Menhan tidak digunakan untuk membalas kekalahan dalam kontestasi pilpres tahun 2019.

Namun dibuktikan dengan kerjasama dan kinerja yang amanah. Prabowo Sang mentorship atau role model yang dapat memberikan bimbingan dan inspirasi dalam berkolaborasi.

Tim Kampanye Nasional (TKN) 02 mengetahui kekuatan dan kelemahan dirinya dan juga lawannya serta bagaimana hal-hal tersebut memengaruhi cara bekerjasama dalam pemerintahan era Jokowi sehingga menjadi pemimpin yang lebih efektif.

Komunikasi efektif keterampilan komunikasi yang baik, termasuk mendengarkan dengan empati, berbicara dengan jelas, dan memotivasi orang lain dapat disaksikan dalam berdebat pilpres pada sebelumnya kepemimpinan adaptif pendekatan kepemimpinan yang fleksibel dan adaptif sesuai dengan situasi dan kebutuhan tim atau organisasi meskipun dihujat pendukungnya dengan berbagai tuduhan tetap rela dan ikhlas sebagaimana pernyataan Gus Dur padanya di acara kick Andy di Metro TV

Prabowo mempelajari bagaimana mengelola konflik dengan bijaksana dan membangun hubungan yang harmonis di antara anggota tim. Gemoy dan menyenangkan serta mendamaikan lebih bisa. Ngalah dalam strategi mendulang suara dan kontemplasinya dari masa lalu adalah kuncinya.

Akhirnya, dengan evaluasi diri dan pembelajaran terus-menerus merefleksikan kinerja Presiden Jokowi dan tindakan sebagai seorang pemimpin, demi menjadi lebih baik dan pengorbanan di usia tuanya pada Indonesia.

Becoming a leader adalah Prabowo dan Gibran, perjalanan panjang yang membutuhkan komitmen, disiplin, dan ketekunan. Dengan kerja keras dan dedikasi, siapa pun memiliki potensi untuk menjadi pemimpin yang efektif dan inspiratif.

Prabowo dan Gibran punya tugas eksekutif dalam ulil amri, menegakkan keadilan, saling menasehati, menghargai kemanusiaan, menjaga keamanan, meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: A. Hilmi

Tinggalkan Balasan