Jakarta, aktual.com – Pada dasarnya dalam sejarah berdirinya Islam, Nabi Muhammad Saw sendirilah yang memegang posisi sebagai hakim dan mufti pada masa itu, sebab apabila para sahabat bingung atau tidak tahu atau tidak memahami suatu masalah, maka mereka akan bertanya langsung kepada Nabi Saw. Kendati menjadi penegak hukum dan penjelas syariat dan hukum yang ditetapkan Allah, Nabi Muhammad Saw juga mengajarkan dan menerapkan nilai-nilai Qurani di tengah masyarakat. Oleh karena itu, dapat disebut bahwa Nabi Muhammad Saw adalah hakim pertama dalam Islam.

Kala itu istilah mufti belum menjadi istilah khusus yang mapan sebagaimana saat ini, kendati Nabi Saw pernah menyebut redaksi ‘ifta’ atau ‘afta’ dalam hadisnya, maka itu merujuk kepada makna fatwa secara bahasa. Misalnya hadis yang diriwayatkan Ali bin Abī Thālib dari Nabi Saw:

من أفتي بغير علم لعنته الملائكة السماء والأرض

“Barang siapa yang berfatwa tanpa ilmu, maka malaikat langit dan bumi melaknatnya,”

Hadis yang terdapat dalam kitab Ibnu ‘Asākir ini menyatakan secara jelas redaksi Nabi Saw dengan lafaz أفتى yang berarti berfatwa, namun istilah mufti kala itu masih berupa istilah kebahasaan.

Pasca Rasulullah Saw wafat pada tahun 11 Hijriah, semua persoalan yang ditanyakan para sahabat tentunya akan ditanyakan kepada sahabat lainnya. Meski penunjukan mufti kala itu belum ada dan memang istilah mufti belum mencuat kala itu, hakikatnya para sahabat melakukan hal yang seperti di masa Nabi Saw hidup, yaitu ada yang meminta fatwa atau bertanya soal hukum tertentu kemudian ada yang menjawabnya. Mereka menggunakan metode yang sudah diwariskan oleh Rasulullah Saw dari Al-Quran dan Sunah. Para sahabat Nabi Saw adalah generasi yang mendengar Al-Quran dan Hadis langsung dari Rasulullah Saw, mereka mengetahui asbāb nuzul dan juga asbāb wurūd dan īrad-nya suatu hadis.

Adapun para sahabat setelah kewafatan Rasulullah Saw terdapat tiga golongan yang disebut muqil (sedikit dalam berfatwa), mustaktsir (banyak dalam berfatwa) dan mutawassith (sederhana, tidak banyak tidak sedikit).

Adapun golongan yang banyak yaitu mereka adalah tujuh orang sahabat Nabi Saw: Umar bin al-Khatthāb, Ali bin Abī Thālib, Abdullah bin Mas’ūd, ‘Aisyah binti Abī Bakr, Zaid bin Tsābitah, ‘Abdullah bin ‘Abbās dan ‘Abdullah bin ‘Umar. Adapun yang golongan mutawassith ialah Abū Bakr al-Shiddīq, Ummu Salamah, Anas bin Mālik, Abū Sa’ide al-Khudrī, Abū Hurairah, Utsman bin ‘Affān, Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash, Abdullah bin al-Zubair, Abū Mūsa al-Asy’arī, Sa’ad bin Abī Waqqās, Salmān al-Fārisī, Jābir bin Abdillah, Mu’adz bin Jabal, Thalhah bin Zubair, ‘Abdurrahman bin ‘Auf, ‘Imran bin Hushain, Abū Bakrah, ‘Ubaidah bin al-Shāmit dan Mu’awiyah bin Abī Sufyān. Adapun yang termasuk golongan yang bagian muqill ialah seperti Abū Dardā, Abū Salamah, Abū ‘Ubaidah al-Jarrāḥ, Sa’īd bin Zaid al-Hassān, al-Nu’mān bin Basyīr dan lain-lain.

Secara singkat, masa-masa setelahnya yaitu tabiin dan seterusnya tidak jauh berbeda dengan masa Nabi Saw dan sahabat, hingga terjadi masa di mana seorang mufti umum ditentukan oleh negara secara resmi untuk melaksanakan tugasnya. Masa demi masa, seorang mufti kedudukannya, selain ditentukan langsung oleh negara, di kemudian hari sorang mufti kadang ditentukan lewat pihak yang berwenang dari lembaga keagamaan, kementerian, departemen atau masyarakat umum bahkan fatwa seiring berkembangnya waktu tidak terpaku pada satu orang mufti, namun ia dihasilkan dari musyawarah ulama dalam suatu lembaga demi memastikan keakuratan, ketidakberpihakkan, objektivitas dan ketelitian fatwa tanpa memengaruhi ulama lainnya dalam skala yang lebih luas.

Pada dasarnya dalam sejarah berdirinya Islam, Nabi Muhammad Saw sendirilah yang memegang posisi sebagai hakim dan mufti pada masa itu, sebab apabila para sahabat bingung atau tidak tahu atau tidak memahami suatu masalah, maka mereka akan bertanya langsung kepada Nabi Saw. Kendati menjadi penegak hukum dan penjelas syariat dan hukum yang ditetapkan Allah, Nabi Muhammad Saw juga mengajarkan dan menerapkan nilai-nilai Qurani di tengah masyarakat. Oleh karena itu, dapat disebut bahwa Nabi Muhammad Saw adalah hakim pertama dalam Islam.

Kala itu istilah mufti belum menjadi istilah khusus yang mapan sebagaimana saat ini, kendati Nabi Saw pernah menyebut redaksi ‘ifta’ atau ‘afta’ dalam hadisnya, maka itu merujuk kepada makna fatwa secara bahasa. Misalnya hadis yang diriwayatkan Ali bin Abī Thālib dari Nabi Saw:

من أفتي بغير علم لعنته الملائكة السماء والأرض

“Barang siapa yang berfatwa tanpa ilmu, maka malaikat langit dan bumi melaknatnya,”

Hadis yang terdapat dalam kitab Ibnu ‘Asākir ini menyatakan secara jelas redaksi Nabi Saw dengan lafaz أفتى yang berarti berfatwa, namun istilah mufti kala itu masih berupa istilah kebahasaan.

Pasca Rasulullah Saw wafat pada tahun 11 Hijriah, semua persoalan yang ditanyakan para sahabat tentunya akan ditanyakan kepada sahabat lainnya. Meski penunjukan mufti kala itu belum
ada dan memang istilah mufti belum mencuat kala itu, hakikatnya para sahabat melakukan hal yang seperti di masa Nabi Saw hidup, yaitu ada yang meminta fatwa atau bertanya soal hukum tertentu kemudian ada yang menjawabnya. Mereka menggunakan metode yang sudah diwariskan oleh Rasulullah Saw dari Al-Quran dan Sunah. Para sahabat Nabi Saw adalah generasi yang mendengar Al-Quran dan Hadis langsung dari Rasulullah Saw, mereka mengetahui asbāb nuzul dan juga asbāb wurūd dan īrad-nya suatu hadis.

Adapun para sahabat setelah kewafatan Rasulullah Saw terdapat tiga golongan yang disebut muqil (sedikit dalam berfatwa), mustaktsir (banyak dalam berfatwa) dan mutawassith (sederhana, tidak banyak tidak sedikit).

Adapun golongan yang banyak yaitu mereka adalah tujuh orang sahabat Nabi Saw: Umar bin al-Khatthāb, Ali bin Abī Thālib, Abdullah bin Mas’ūd, ‘Aisyah binti Abī Bakr, Zaid bin Tsābitah, ‘Abdullah bin ‘Abbās dan ‘Abdullah bin ‘Umar. Adapun yang golongan
mutawassith ialah Abū Bakr al-Shiddīq, Ummu Salamah, Anas bin Mālik, Abū Sa’ide al-Khudrī,
Abū Hurairah, Utsman bin ‘Affān, Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash, Abdullah bin al-Zubair, Abū
Mūsa al-Asy’arī, Sa’ad bin Abī Waqqās, Salmān al-Fārisī, Jābir bin Abdillah, Mu’adz bin Jabal,
Thalhah bin Zubair, ‘Abdurrahman bin ‘Auf, ‘Imran bin Hushain, Abū Bakrah, ‘Ubaidah bin al-
Shāmit dan Mu’awiyah bin Abī Sufyān. Adapun yang termasuk golongan yang bagian muqill ialah seperti Abū Dardā, Abū Salamah, Abū ‘Ubaidah al-Jarrāḥ, Sa’īd bin Zaid al-Hassān, al-Nu’mān bin Basyīr dan lain-lain.

Secara singkat, masa-masa setelahnya yaitu tabiin dan seterusnya tidak jauh berbeda
dengan masa Nabi Saw dan sahabat, hingga terjadi masa di mana seorang mufti umum ditentukan oleh negara secara resmi untuk melaksanakan tugasnya. Masa demi masa, seorang mufti kedudukannya, selain ditentukan langsung oleh negara, di kemudian hari sorang mufti kadang ditentukan lewat pihak yang berwenang dari lembaga keagamaan, kementerian, departemen atau masyarakat umum bahkan fatwa seiring berkembangnya waktu tidak terpaku pada satu orang
mufti, namun ia dihasilkan dari musyawarah ulama dalam suatu lembaga demi memastikan
keakuratan, ketidakberpihakkan, objektivitas dan ketelitian fatwa tanpa memengaruhi ulama
lainnya dalam skala yang lebih luas.

 

 

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Rizky Zulkarnain