Jakarta, Aktual.co — Seks dalam peradaban dan kebudayaan Jawa tentu bukanlah semata-mata terbatas pada makna jenis atau alat kelamin, melainkan segala hal yang berkaitan dengan masalah seks, baik itu masalah seksual atau pun kehidupan seks masyarakat Jawa yang sudah menjadi adat istiadat dan sudah membudaya.

“Setiap kebudayaan dan peradaban itu memiliki bentuk, corak dan sukma yang berbeda. Seksnya akan tetap sama, tetapi kemasannya kan berbeda dengan kebudayaan,” urai Jaya Suparna, kepada Aktual.co, dalam acara diskusinya ‘Seks Dalam Peradaban dan Kebudayaan Jawa’, di Jakarta.

Diskusi tersebut juga banyak menceritakan sejarah budaya seks Jawa dan sejarah lainnya. Bukti sejarah tentang gambaran kehidupan seks dalam peradaban dan kebudayaan Jawa, sudah ada semenjak abad IX, sebagaimana terpahat dalam relief Candi Borodur di Jawa Tengah. Candi Borobudur memiliki 1460 panel relief dan 504 stupa.

Dari panel relief sebanyak itu, ada 160 panel yang sengaja ditimbun tanah karena reliefnya dianggap vulgar dan cabul. Panel-panel itu terletak di bagian paling bawah, yang disebut “Kamadhatu”, yang sekaligus dijadikan sebagai pondasi candi. Panel relief ini yang tersembunyi ini menggambarkan adegan Surta Karmawibhangga atau hukum sebab-akibat kehidupan, yakni gambaran perbuatan yang mengikuti hawa nafsu seperti bergosip, membunuh, menyiksa dan memperkosa. Juga ada adegan seks dalam berbagai posisi.

Dalam seks, cara memuaskan pasangan wanita dan tanda-tanda tatkala mancapai klimaks hubungan seks, menjadi kewajiban dan harus dipahami oleh seorang pria. Karena itu, maka diajarkan dalam kitab Kawruh Sanggama (pengetahuan tentang Sanggama) dan Serat Nitimani dengab cara yang indah dan tidak vulgar.

Untuk diketahui, sebelumnya juga ada sebuah kitab bernama Serat Centhini yang berisi mengenai berbagai pernik kehidupan masyarakat Jawa, ada juga tentang penanggalan Jawa, rumah, makan, obat-obatan, kebiasaan hidup sehari-hari termasuk seks yang dikupas tuntas mulai dari bagaimana mengenal serta memahami perilaku seks seorang. 

Disamping itu juga dibahas tentang perempuan berdasarkan ciri-ciri fisiknya, sampai bagaimana melakukan adegan sanggama secara liar dan nakal dengan berbagai posisi dan cara, adegan sesama lelaki hingga lebih dari satu lelaki yang dilakukan secara mistis dan sakral.

Oleh karena itu, maka banyak para pengamat Sastra Jawa yang menyebut Centhini lebih dahsyat dibandingkan dengan kitab seks Kamasutra dari India yang mendunia itu.

Buku tersebut mengajarkan banyak hal termasuk untuk tidak melakukan hal-hal yang mengikuti hawa nafsu manusia. Mengenal bagaimana peradaban budaya seks Jawa.

Artikel ini ditulis oleh: