Jakarta, aktual.com – Puasa sunah Asyura dan Tasu’a yang dilaksanakan pada 9 dan 10 Muharram memiliki dasar sejarah yang kuat dalam ajaran Islam. Berdasarkan kalender Hijriah 2025 yang dirilis oleh Kementerian Agama (Kemenag), kedua tanggal tersebut jatuh pada 5 dan 6 Juli 2025.
Umat Islam sangat dianjurkan untuk mengamalkan sunah-sunah Nabi Muhammad SAW, selain menjalankan kewajiban pokok dalam ajaran Islam.
Prof. KH Ahsin Sakho Muhammad, seorang pakar tafsir dan hukum Islam, menjelaskan asal mula disyariatkannya puasa Asyura dan Tasu’a. Menurut beliau, praktik puasa ini berawal dari peristiwa hijrahnya Nabi Muhammad SAW dari Makkah ke Madinah pada bulan Rabiul Awal. Beberapa bulan setelah tinggal di Madinah, Nabi melihat kaum Yahudi berpuasa pada tanggal 10 Muharram.
Ketika Nabi bertanya, “Mengapa kamu berpuasa?”, mereka menjawab, “Itulah hari di mana Allah menyelamatkan Nabi Musa dan Bani Israil dari kejaran Raja Firaun.”
Peristiwa tersebut merujuk pada kisah Nabi Musa dan Bani Israil yang berhasil menyeberangi Laut Merah setelah mukjizat tongkat Nabi Musa membelah lautan. Kaum Yahudi berpuasa pada hari itu sebagai bentuk syukur atas keselamatan tersebut.
Nabi Muhammad SAW kemudian menyatakan kepada kaum Yahudi bahwa beliau lebih berhak terhadap Nabi Musa dibandingkan mereka. “Aku lebih berhak terhadap Musa daripada kalian,” sabda beliau. Nabi mengisyaratkan bahwa kenabiannya adalah kelanjutan dari para nabi sebelumnya.
Nabi lalu menganjurkan umat Islam untuk ikut berpuasa pada 10 Muharram. Namun, ketika kemudian turun perintah puasa Ramadan, kewajiban puasa pada hari Asyura tidak lagi berlaku dan berubah menjadi puasa sunah.
Kiai Ahsin juga menyampaikan bahwa “Berpuasa pada 10 Muharram akan bisa mengampuni dosa-dosa selama satu tahun.” Hal ini berdasarkan hadis riwayat Imam Muslim yang menyebut bahwa puasa Asyura dapat menghapus dosa-dosa kecil setahun yang lalu.
Lebih lanjut, Nabi Muhammad SAW juga menyatakan, “Kalau seandainya masih diberi umur selama satu tahun ke depan, maka akan melaksanakan puasa pada 9 Muharram.” Hal ini bertujuan untuk membedakan praktik puasa umat Islam dengan kaum Yahudi. Oleh sebab itu, Nabi menganjurkan puasa dua hari: tanggal 9 dan 10 Muharram. Namun, beliau wafat sebelum sempat melaksanakan puasa tersebut di tahun berikutnya.
Menurut Kiai Ahsin, pelajaran penting dari sejarah puasa Asyura ini adalah sikap tenggang rasa dan toleransi Nabi Muhammad SAW terhadap orang Yahudi di Madinah. Ketika pertama kali tiba, Nabi ikut berpuasa bersama mereka dan juga sempat menghadap ke Baitul Maqdis dalam shalat selama sekitar satu setengah tahun, sebagaimana arah kiblat orang Yahudi.
Ia juga mengisahkan pengalamannya saat menimba ilmu di Madinah. Suatu ketika ia diajak oleh dosennya mengunjungi sebuah istana milik tokoh Yahudi yang sangat memusuhi Nabi. Di sana masih terdapat mihrab yang mengarah ke Baitul Maqdis.
Menanggapi pertanyaan mengenai status hukum puasa Asyura dan Tasu’a, Kiai Ahsin menegaskan bahwa puasa tersebut disunahkan karena sesuai dengan niat dan keinginan Nabi Muhammad SAW. “Jadi kalau Muslim berpuasa pada tanggal 9 dan 10 Muharram melaksanakan puasa, ya bagus-bagus saja, karena orang yang menghidupkan sunah-sunah Nabi akan mendapatkan pahala,” jelas beliau.
Artikel ini ditulis oleh:
Rizky Zulkarnain