(ilustrasi/aktual.com)

Tanggal 27 Oktober 2020, tepat sudah 75 Tahun kita memperingati Hari Listrik Nasional (HLN). Peringatan HLN tersebut tentu tak lepas dari sejarah panjang kelistrikan nasional yang tak terpisah dari peran penting PT PLN (Persero) dalam upayanya Menerangi Indonesia untuk Memajukan Bangsa.

Tetapi tahukah kita bahwa dibalik semua peran PT PLN (Persero), ada catatan sejarah yang tidak bisa dilupakan terkait dengan peran serta para pemuda serta buruh listrik dan gas pada masa kemerdekaan, dalam berusaha mengambil alih dan menyatukan perusahaan listrik dan gas yang dikuasi pemerintah kolonial Jepang.

Ketika itu, pada bulan September 1945 suatu delegasi dari buruh listrik dan gas menghadap pimpinan KNI ( Komite Nasional Indonesia ) Pusat, yang ketika itu diketuai oleh M. Kasman Singodimedjo untuk melaporkan hasil perjuangan mereka. Selanjutnya delegasi bersama-sama dengan pimpinan KNI Pusat menghadap Presiden Sukarno untuk menyerahkan perusahaan-perusahaan listrik dan gas kepada Pemerintah Republik Indonesia.

Penyerahan tersebut diterima oleh Presiden Sukarno dan kemudian dengan Penetapan Pemerintah No.1 Tahun 1945 tertanggal 27 Oktober 1945 dibentuklah Jawatan Listrik dan Gas dibawah Departemen Pekerjaan Umum dan Tenaga.

Dengan adanya agresi Belanda I dan II, sebagian besar Perusahaan-Perusahaan Listrik dikuasai kembali oleh Pemerintah Belanda atau pemiliknya semula. Para pekerja yang tidak mau bekerja sama kemudian mengungsi dan menggabungkan diri pada kantor-kantor Jawatan Listrik dan Gas di daerah-daerah Republik Indonesia yang bukan daerah pendudukan Belanda untuk meneruskan perjuangan.

Dengan ditanda tanganinya Perjanjian Konferensi Meja Bundar (KMB) yang berlangsung di Den Haag Belanda pada tanggal 23 Agustus s.d 2 Nopember 1949, dimana merupakan titik puncak sejarah pengakuan Pemerintah Kolonial Belanda terhadap Kemerdekaan Republik Indonesia yang pada saat itu masih bernama Republik Indonesia Serikat (RIS), seluruh wilayah Republik Indonesia harus diserahkan kembali oleh Pemerintah Kolonial Belanda paling lambat akhir tahun 1949 kecuali untuk wilayah Irian Jaya atau Papua yang akan diserah terimakan paling lambat setahun kemudian.

Presiden Sukarno ketika itu, pada tanggal 3 Oktober 1953 kemudian mengeluarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia No.163 tentang nasionalisasi perusahaan listrik milik bangsa asing di Indonesia, jika masa konsensinya habis.

Sejalan dengan meningkatnya perjuangan bangsa Indonesia untuk membebaskan Irian Jaya dari cengkeraman penjajahan Belanda, maka dikeluarkan Undang-Undang Nomor 86 Tahun 1958 tertanggal 27 Desember 1958 Tentang Nasionalisasi Semua Perusahaan Belanda Dan Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1958 Tentang Nasionalisasi Perusahaan Listrik Dan Gas Milik Belanda. Dengan Undang-Undang tersebut, maka seluruh perusahaan listrik Belanda, kemudian berada di tangan Pemerintah Republik Indonesia.

Dari sejarah singkat diatas sangatlah jelas bahwa kaum buruh mempunyai peranan penting dalam terbentuknya Perusahaan Listrik Negara (PLN) yang kini dikenal dengan PT PLN (Persero), meskipun pada masa Era Orde Baru, para pekerja di sektor kelistrikan tersebut sempat bernaung didalam wadah Korps Pegawai Republik Indonesia atau disingkat KORPRI selama tahun 1971 hingga tahun 1999, dimana pasca reformasi dilingkungan PT PLN (Persero) dibentuk Organisasi Serikat Pekerja PT PLN (Persero) atau disingkat SP PLN pada tanggal 18 Agustus 1999, sebagai tindak lanjut dari diratifikasinya Konvensi ILO Nomor 87 tahun 1948 tentang Kebebasan Berserikat bagi Pekerja serta terbitnya Keputusan Presiden RI Nomor 83 tahun 1998 pada masa Pemerintahan Presiden BJ. Habibie, yang kemudian Menteri Negara Pendayagunaan BUMN cq. Staf Ahli Bidang Komunikasi dan Pengembangan SDM menerbitkan surat No. S.19/MSA-5/BUMN/1999 tanggal 15 Maret 1999 perihal Instruksi Memfasilitasi Pendirian Serikat Pekerja serta Keputusan Direksi No. 061.K/010/DIR/1999 tanggal 7 April 1999 tentang Pembentukan Tim Penyuluhan Pembentukan Wadah/ Organisasi/Serikat Pekerja Pegawai PT. PLN (Persero).

Berdirinya organisasi serikat pekerja di lingkungan PT PLN (Persero) telah memberikan catatan sendiri bagaimana PLN hingga saat ini masih tetap eksis memainkan perannya dalam sektor ketenagalistrikan baik dalam menerangi negeri maupun peran strategis politisnya dalam mempertahankan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dimana listrik dapat dikategori sebagai “Menguasai Hajat Hidup Orang Banyak” sehingga harus dikuasai oleh negara”.

Sejarah mencatat bahwa pada tahun 2002 pada saat Ir. A. Daryoko menjadi Ketua Umum, SP PLN pernah membatalkan UU No.20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan melalui Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi dimana berpotensi terjadinya Unbundling atau pemisahan PLN secara Vertikal mulai Pembangkit, Transmisi, Distribusi dan Retail. Pada tanggal 30 Januari 2008, SP PLN juga pernah melakukan Demo Aksi Damai ke Istana untuk menolak Keputusan RUPS Tahun 2008 yang berpotensi terjadinya Unbundling PLN secara Horizontal antara PLN di Pulau Jawa (menjadi anak perusahaan) dengan PLN diluar Pulau Jawa (diserahkan ke Pemerintah Daerah pengelolaannya).

Setahun berikutnya menjelang disahkannya UU No.30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan, pada bulan September 2009 bertepatan dengan bulan Ramadhan 1440 H, SP PLN kembali melakukan Demo Aksi penolakan undang-undang tersebut sebelum disahkan oleh Presiden SBY.

UU No.30 Tahun 2009 ini juga pernah di Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi oleh SP PLN pada tahun 2016 terkait Pasal 10 ayat 2 dan Pasal 11 ayat 1 dimasa H. Adri sebagai Ketua Umum. Penolakan SP PLN terhadap upaya swastanisasi dan pelemahan PLN pernah juga dilakukan dengan digelarnya Konferensi Pers tanggal 11 Februari 2016 bertempat di Plaza Tertutup Kantor Pusat PT PLN (Persero) Jl. Trunojoyo Blok M/I No.135 Kebayoran Baru Jakarta Selatan yang disampaikan Drs. Deden Adityadarma sebagai Ketua Umum, terkait rencana Menteri ESDM dan Dirjen Ketenagalistrikan dalam rangka pemecahan aset PLN dan penyerahan pengelolaannya kepada pihak swasta di 6 (enam) Provinsi Indonesia Bagian Timur.

Bagaimana SP PLN menyikapi pengelolaan sektor ketenagalistrikan saat ini ?

Dimasa Ir. Jumadis Abda sebagai Ketua Umum, SP PLN terus menerus menyuarakan Penolakan Program 35.000 MW dengan klausus Take Or Pay yang berpotensi merugikan keuangan PLN kedepannya sekitar Rp.140 triliun. Setidaknya SP PLN telah melakukan 2 (dua) kali Demo Aksi Damai terkait hal tersebut pada tanggal 20-22 April 2016 (SP PLN On The Street) dan tanggal 24-25 Januari 2017 (Rapat Akbar).

SP PLN menilai bahwa, bilamana program 35.000 MW dilaksanakan, maka akan terjadi Over Supply dimana dengan klausus Take Or Pay dan dominasi penguasaan pembangkit oleh pihak swasta / IPP (Independent Power Producer), maka kelebihan pasokan tenaga listrik tersebut tetap harus dibayar oleh PLN dengan biaya yang lebih tinggi daripada biaya operasi pembangkit milik PLN, sehingga akan banyak pembangkit listrik milik PLN yang harus dihentikan pengoperasiannya untuk menekan kerugian yang ditimbulkan.

SP PLN pada saat itu menilai bahwa untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi 5-7 persen per tahun yang dicanangkan oleh Presiden RI Joko Widodo, setidaknya hanya diperlukan penambahan pembangkit listrik sebanyak 19.000 MW saja, sebagaimana yang pernah disuarakan juga oleh Rizal Ramli pada tahun 2016 saat masih menjabat sebagai Menko Kemaritiman.

Hingga saat ini tercatat baru 8.400 MW dari 35.000 MW yang telah beroperasi atau 24 persen dari yang ditargetkan dan harus selesai di tahun 2019 pada awalnya. SP PLN melalui Ketua Umum saat ini M. Abrar Ali, SH menilai bahwa kontrak IPP perlu dilakukan renegosiasi ulang dengan pihak IPP dan harus saling menguntungkan sehingga dalam berbagai kesempatan maupun spanduknya, SP PLN menyatakan dukungannya kepada Direksi PLN untuk melakukan Renegosiasi Kontrak IPP Program 35.000 MW yang saat ini untuk Tim Negosiasinya diketuai oleh Direktur Mega Project M. Ikhsan Asaad.

Perubahan Budaya Perusahaan yang dimasa Zulkifli Zaini sebagai Direktur Utama yang dicanangkan oleh Erick Thohir sebagai Menteri BUMN yaitu AKHLAK (Amanah, Kompeten, Harmonis, Loyal, Adaptif dan Kolaboratif direspon secara positif oleh SP PLN.

Abrar menilai perubahan budaya perusahaan tersebut diharapkan dapat meningkatkan profesionalisme dalam pengelolaan dan produktivitas pegawai sehingga diharapkan pendapatan perusahaan akan meningkat yang nantinya akan berdampak pada peningkatan kesejahteraan insan PLN.

Tetapi, SP PLN juga mengingatkan bahwa setiap hal yang sudah direncanakan tidak selamanya bisa berjalan dengan mulus dan sebagai contoh adalah dampak dari Penyebaran Wabah Virus COVID-19 yang juga berakibat pada turunnya penjualan tenaga listrik oleh PLN meskipun pada Semester I tahun ini PLN masih mencatat laba sebesar Rp 273,059 miliar, meski turun 97 persen dibanding semester I tahun 2019 yang mencatat laba sebesar Rp 7,35 triliun.

Untuk itu SP PLN berulang kali mengajak Direksi PLN untuk bersinergi dalam mengawal setiap permasalahan yang timbul serta berpotensi sebagai ancaman baik dari dalam maupun luar atas eksistensi PLN dalam menjalankan peran strategisnya untuk menjaga kesinambungan penyediaan tenaga listrik.

Hal lain yang juga menjadi perhatian SP PLN menurut Abrar yang didampingi Ir. Bintoro Suryo Sudibyo (Sekjend), Budi Setianto, SE (Bendum) dan Parsahatan Siregar, ST (Wasekjend II) hari ini Selasa (27/10/2020) saat berada di Sekretariat DPP SP PLN Gedung I lantai 9 PT PLN (Persero) Kantor Pusat – Jl. Trunojoyo Blok M I/135 Kebayoran Baru Jakarta Selatan adalah terkait UU Cipta Kerja Omnibus Law, dimana SP PLN juga menolak UU Cipta Kerja Omnibus Law karena dikhawatirkan akan berdampak langsung pada pengelolaan sektor ketenagalistrikan di negeri ini.

Namun berbeda dengan Aksi Penolakan yang dilakukan oleh banyak serikat pekerja/buruh terhadap undang-undang ini, SP PLN lebih menggunakan cara-cara yang lebih effektif dan konstruktif yaitu dengan menginstruksikan pemasangan spanduk penolakan UU Cipta Kerja Omnibus Law dan menempuh langkah melakukan Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi yang rencana bergabung bersama-sama dengan eleman masyarakat dan serikat pekerja/buruh lainnya.

Dari awal SP PLN ketika spanduk penolakan terpasang pertama kali tanggal 5 Oktober 2020 telah menggaungkan upaya langkah hukum melalui Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi dengan pertimbangan bahwa PLN merupakan asset strategis bangsa dan object vital nasional. Dan selaras dengan apa yang disuarakan oleh SP PLN, Presidan RI Joko Widodo pun dalam pernyataan resminya kepada media pada tanggal 9 Oktober 2020 juga menyarankan kepada para pihak yang tidak puas dengan UU Cipta Kerja Omnibus Law dan menolaknya untuk melakukan Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi.

Artinya adalah ada keselarasan berpikir antara SP PLN sebagai organisasi serikat pekerja di lingkungan PLN dengan Pemerintah dalam menyikapi permasalahan tersebut.

Harapannya menurut Abrar lebih lanjut ditengah Peringatan 75 Tahun Hari Listrik Nasional adalah Pemerintah lebih bisa mendengar dan memfasilitasi upaya-upaya yang dilakukan oleh PLN baik melalui Direksi PLN ataupun SP PLN dalam menjaga kelangsungan pasokan tenaga listrik dimana salah satunya dengan melakukan Renegosiasi Kontrak IPP Program 35.000 MW.

Dan untuk internal PLN sendiri khususnya kepada Direksi PT PLN (Persero), sebagai Ketua Umum SP PLN mewakili seluruh anggota SP PLN khususnya dan insan PLN pada umumnya, Abrar menyampaikan harapannya agar Perundingan PKB yang sempat dihentikan pada bulan Agustus 2016 oleh Manajemen PLN agar segera dilanjutkan kembali untuk memberikan perlindungan bagi setiap insan PLN sesuai dengan tema spanduk ataupun ucapan Selamat Hari Listrik Nasional Ke-75 Tahun dari SP PLN yaitu “Sinergi antara Perseroan dengan SP PLN meningkatkan Produktivitas Pegawai, Pendapatan Perusahaan & Kesejahteraan Insan PLN serta terujudnya PKB baru yang bermartabat”.

Dan dengan meningkatnya produktivitas dan pendapatan maka diharapkan PLN akan semakin maksimal dalam menjalankan perannya menjaga kedaulatan energi di negeri sendiri.

Oleh: SP PLN