Sekda DKI Jakarta Saefullah

Jakarta, Aktual.com – Puluhan nelayan yang tergabung dalam Aliansi Korban Reklamasi (AKAR) menuntut Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta membatalkan perjanjian yang dibuat oleh Sekda DKI Jakarta, Saefullah dengan salah satu pengembang pulau reklamasi, PT Kapuk Naga Indah.

Selain itu AKAR juga menggugat tindakan Saefullah ke pengadilan. Kuasa hukum AKAR, M Taufiqurrahman menyatakan bahwa perjanjian tersebut dilakukan pada 11 Agustus 2017 lalu, atau saat moratorium reklamasi belum dicabut oleh Menko Maritim Luhut Binsar Panjaitan.

Seperti yang diketahui, moratorium reklamasi telah dicabut Luhut pada 5 Oktober 2017 lalu.

“Objek perjanjian bertentangan dengan Pasal 1320 KUH Perdata karena kausa tidak halal mengingat masih berlakunya moratorium pada saat perjanjian dibuat,” ungkap Taufiq di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Jakarta, Selasa (7/11).

Selain itu, gugatan yang dilayangkan AKAR juga disebut Taufiq didasari oleh tidak adanya keterlibatan dari DPRD DKI Jakarta dalam kesepakatan yang dibuat oleh Saefullah bersama Presiden Direktur PT KNI, Surya Pranoto Budiharjo dan Direktur PT KNI Firmantodi Sarlito.

Hal ini, lanjut Taufiq, telah melanggar ketentuan dalam pasal 9 Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2007 tentang Cara Pelaksanaan Kerjasama Daerah.

Taufiq pun menduga bahwa perjanjian ini sangat berpengaruh terhadap penerbitan Surat Keputusan Hak Guna Bangunan (SK HGB) Pulau D yang dikeluarkan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) Jakarta Utara, pada beberapa waktu lalu.

“Super kilat, yakni keluar di hari yang sama dengan surat permohonan HGB pada 23 Agustus 2017,” terangnya.

Oleh karenanya, Taufiq pun meminta pemerintah agar tidak mengintervensi keputusan hakim dalam gugatan yang diajukan AKAR. “Kami menolak intervensi terhadap hakim dan pengadilan serta mendukung independensi dari hakim,” tegasnya.

Sebagai informasi, AKAR merupakan kumpulan nelayan dari beberapa daerah di pesisir Jakarta yang menjadi korban dari proyek reklamasi Teluk Jakarta, seperti Kamal Muara, Muara Baru dan Muara Angke.

Teuku Wildan A.

Artikel ini ditulis oleh:

Reporter: Teuku Wildan