Jakarta, Aktual.com – Bank Indonesia (BI) dianggap masih punya ruang untuk kembali menaikkan suku bunga BI 7 Day Repi Rate yang saat ini di angka 5,5 persen. Kemungkinan hingga akhir tahun BI bisa mengerek suku bunga acuannya sekali lagi.

Hal ini dilakukan untuk menjaga nilai tukar rupiah agar tidak kian bergejolak. Apalagi di September nanti, bank sentral AS The Fed juga bakal kembali menaikkan suku bungannya, Fed fund rate.

Jika itu terjadi maka sektor perbankan yang akan menanggung bebannya. Menurut Kepala Ekonomi PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk, Ryan Kiryanto meski sektor perbankan masih dianggap baik-baik namun tetap memiliki risiko-risiko.

Hal ini seperti dikatakan Ryan dalam Diskusi Media InfobankTALKnews: Daya Tahan Perbankan Makin Rentan di Era Suku Bunga Tinggi, di IPMI International Business School, Jakarta, Selasa (28/8).

“Secara umum kondisi perbankan kita masih baik-baik saja. Sekalipun daya tahannya setiap bank tentu berbeda. Tapi harus diakui sektor perbankan tetap memiliki risiko,” ungkap dia.

Risiko tersebut adalah, pertumbuhan ekonomi global tak merata, kenaikan suku bunga FFR, adanya ketegangan perdagangan antara AS dan sejumlah negara, serta terjadinya gejolak ekonomi di Turki.

Namun begitu, kata dia, justru di pihak perbankan tak perlu khawatir jika BI akan kembali menaikkan suku bunga acuannya itu. Pasalnya, kenaikan suku bunga acuan itu sejatinya tak linear akan menaikkan suku bunga perbankan.

“Justru akan aneh jika BI tak ikut naikkan suku bunga acuannya itu. Sebab di bank sentral negara lain juga sudah naik. Dan langkah BI sendiri kemungkinan akan menaikkan sekali lagi agar mata uang kita tak makin terdepresiasi,” jelas Sekretaris Perusahaan BNI ini.

Ryan sendiri berharap, jika BI menaikkan suku bunganya, maka bank tidak serta merta langsung menyesuaikan suku bunganya itu. Hal itu karena likuiditas perbankan berbeda-beda.

“Untuk melihat itu indikatornya dari sisi Loan Deposit to Ratio (LDR) dan struktur DPK seberapa besar dana murahnya (CASA) itu. Jika likuiditas longgar dan banyak CASA maka tak perlu ikut menaikkan suku bunga,” tandas dia.

Di tempat yang sama, Chief Economist PT BTN (Persero) Tbk, Winang Budoyo, meski mengakui kondisi perbankan masih positif, tapi industri perbankan harus mencari cara dan menyiapkan strategi dalam menjalankan bisnisnya itu.

“Karea di era suku bunga tinggi ini mendorong bank untuk meningkatkan efisiensi sekaligus governance agar tetap dapat mencetak keuntungan,” tutur dia.

Menurut laporan Biro Riset Infobank (birI) periode 2014-2016 merupakan masa konsolidasi bagi perbankan dengan terjadinya penurunan kinerja yang sangat signifikan. Makanya BI mengambil langkah menaikkan suku bunga acuan untuk mempertahankan daya tarik ekonomi nasional.

Tapi kenaikan suku bunga telah memberikan tekanan ke bisnis perbankan terutama dari sisi pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) dan kredit, pun rasio kredit bermasalah (NPL).

Biro Riset Infobank mencatat, pertumbuhan DPK perbankan yang masih tumbuh 13,60% pada 2013 terus anjlok. Pada 2016 cuma 9,60%. Pertumbuhan kredit juga anjlok dari 21,80% pada 2013, menjadi hanya 7,85% di 2016. Sedang rasio kreeit macet (NPL) juga terus meningkat.

“Dengan kondisi itu, bank-bank akan menaikkan suku bunga sebagai antisipasi untuk mempertahankan NIM (net interest margin). Tapi, tentu akan menaikkan risiko kredit bermasalah. Saya yakin credit at risk bank akan naik,” kata Direktur Biro Riset Infobank, Eko B Supriyanto.

Dengan begitu, kata dia, risiko terbesar ada di nasabah karena nilai tukar dan pukulan suku bunga tinggi. “Salah satu cara termudah adalah meningkatkan dana murah dan meningkatan efisiensi operasional,” pungkasnya.

Artikel ini ditulis oleh: