Dalam ultimatumnya, Mayjend Eric minta agar paling lambat pada 10 Nopember 1945 , pemuda Surabaya menyerahkan pembunuh Brigadir Jenderal Mallaby, dan menyerahkan seluruh senjata dari rampasan tentara Jepang kepada sekutu.
Ultimatum inilah yang membuat jiwa para pemuda Surabaya meledak amarah dan jiwa korsa serta nasionalismenya sebagai bangsa merdeka. Hingga para ulama saat itu, KH Hasyim Asari dan KH Wahab Hasbullah memfatwakan perang jihad atau perang membela kebenaran dalam agama.
Pada akhirnya meletuslah peristiwa perang besar antara tentara sekutu (Inggris bersama tentara gurka ) melawan tentara rakyat, milisi bersenjata rakyat, yang dicatat merupakan perang terbesar dalam revolusi setelah kemerdekaan.
Tercatat 20 ribu rakyat Surabaya gugur dipertempuran dan 1600 tentara Inggris tewas di Surabaya yang lalu diperingati sebagai hmHari Pahlawan.
Meletusnya perang di Kota Surabaya, dimana pemuda pemuda di seluruh Jawa saat itu, baik dari Ponorogo, Madiun, Pasuruan, Banyuwangi, Semarang, Cirebon, hingga dari tentara rakyat yang ada di Jakarta menjadi tonggak dikobarkanya perang fisabilillah.
Saat itu, terjun dalam sebuah pertempuran jihad sebagai harga diri sebuah bangsa. Yakni untuk mengusir bangsa penjajah imperialisme.
Demikian juga pada setiap 28 Oktober, sejak tahun 1928 selalu diperingati sebagai Hari Sumpah Pemuda dan kebangkitan Nasional pada 1908 yang didirikannya Boedi Oetomo, merupakan peristiwa sejarah sebagai tonggak kebangkitan semangat bangsa untuk merdeka.
Dibalik peristiwa Kebangkitan Nasional 1908, Sumpah Pemuda 28 Oktober, yang diilhami oleh peristiwa Perang Jawa oleh Pangeran dari Jawa, 1825-1830 yang melahirkan politik tanam paksa dan politik divide et impera dan Hari Pahlawan 10 November secara linier menyiratkan dan mengekspresikan spirit nasionalisme yang menemui puncaknya pada tanggal 17 Agustus 1945.
Spirit nasionalisme yang ada dibalik deretan peristiwa-peristiwa tersebut tentu tidak terlepas dari kondisi dan situasi serta tantangan yang dihadapi pada masing-masing peristiwa tersebut.
Tantangan boleh berbeda tapi semangatnya tetap sama, yaitu Nasionalisme. Jadi lebih terletak pada konteks zamannya. Karena itu menjawab tantangan kekinian dan ke depan (menuju Indonesia Emas 2045), spirit Nasionalisme harus kontekstual.
Pertama, membangunkan dan menegaskan kembali “Kebangkitan Bangsa/Nasional” dengan mencetak “blue print” atau apa yang akan dibangun dalam arti luas, sebagai “kompas” dan haluan menuju ke masa depan. Yntuk itu menjadi sangat relevan untuk dihidupkan kembali GBHN.
Kedua, spirit Sumpah Pemuda, secara kontekstual gelorakan kembali “pembangunan watak bangsa” : semangat Persatuan dan Kesatuan (Sila 3 Pancasila) dengan membongkar sekat-sekar ataupun ikatan primordial (agama, suku, ras, dan antar golongan) berdasarkan pada prinsip : semua anak bangsa sama kedudukannya tidak hanya secara sosiologis (men are born free and equal) tapi juga dihadapan hukum dan pemerintahan.
Dalam hal ini (para pemimpin) Negara harus hadir dengan memperlakukan seluruh anak bangsa dengan equal threatment. Semua itu menjadi sangat penting sebagai ASET yang berharga menghadapi dan menjawab tantangan global.
Ketiga, spirit Hari Pahlawan menyiratkan semangat rela berkorban dan tunduk pada kepentingan Nasional/Negara, bangsa, dan Rakyat Indonesia (terutama diteladani oleh segenap pimpinan ataupun penyelenggara negara) diatas kepentingan pribadi karena masyarakat Indonesia lebih melihat dan mencontoh sikap dan tauladan para pemimpinnya (masyarakat Patrilineal).
Tidak lagi zamannya “Banyak Bicara” tapi lebih pada satunya kata dan perbuatan ( Sabdo pandito Ratu menuju manunggaling Kawulo Gusti ) Presiden Prabowo sudah mendeclair hal itu pada saat pelantikannya sebagai Presiden 20 Oktober yang lalu.
Artikel ini ditulis oleh:
Tino Oktaviano