Jakarta, Aktual.com — Badan Pemeriksa Keuangan menemukan kerugian negara dalam ikhtisar hasil pemeriksaan semester I 2015 sebesar Rp2,25 triliun, dan potensi kerugian negara sebesar Rp11,5 triliun.
Selain itu, kekurangan penerimaan negara mencapai Rp7,8 triliun, kata Juru Bicara BPK R. Yudi Ramdan di Bogor, Selasa (13/10).
Jika dirinci, kerugian negara paling besar disebabkan lemahnya akuntabilitas keuangan pemerintah daerah dan Badan Usaha Milik Daerah. Total kerugian dari pengeloaan keuangan Pemda dan BUMD itu mencapai Rp1,55 triliun atau 60 persen dari total kerugian negara.
Sisanya sebesar Rp544 miliar dari kerugian di pemerintah pusat, dan kerugian Rp157,7 miliar dari Badan Usaha Milik Negara dan badan lain.
“Total berdampak finansial senilai Rp21,62 triliun,” ujar Yudi.
Menurut laporan BPK, salah satu kerugian negara terbesar di lingkungan pemerintah daerah bersumber dari belanja yang tidak sesuai dengan perencanaan awal.
Misalnya, belanja pengadaan tanah untuk Rumah Sakit Sumber Waras oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta disinyalir BPK menimbulkan kerugian sebesar Rp191,3 miliar. Jumlah tersebut merupakan kerugian terbesar akibat belanja daerah pada semester I 2015. Total kerugian negara akibat belanja pemerintah daerah yang tidak sesuai secara nasional adalah Rp346,2 miliar.
Penyebab kerugian lainnya dari pemerintah daerah adalah pemahalan harga (mark up) pada enam Organisasi Perangkat Daerah Provinsi Jawa Barat sebesar Rp10,3 miliar.
Sedangkan dari keuangan pemerintah pusat, kerugian terbesar diderita karena kelebihan pembayaran restitusi pajak hingga mencapai Rp99,5 miliar.
Sekretaris Jenderal Forum Indonesia untuk Trasparansi Anggaran (FITRA) Yenny Sucipto mempertanyakan komitmen pemerintah untuk memperbaiki dan mengawasi pelaksanaan belanja daerah.
Menurutnya, kerugian negara yang diakibatkan akuntabilitas belanja pemerintah daerah merupakan temuan berulang dan telah terbukti menyengsarakan rakyat.
Anggaran belanja daerah, yang sebenarnya berasal dari pembayaran pajak masyarakat, kata dia, kerap diselewengkan dengan menaikkan harga pengadaan (mark up), terutama untuk proyek-proyek infrastruktur.
“Sedangkan untuk kelebihan pembayaran restitusi pajak, seharusnya sistem perpajakan dibenahi, apalagi pemerintah katanya ingin menggenjot penerimaan pajak. Kok ini pengembalian kelebihan bayarnya malah terlalu besar,” ujar Yenny saat dihubungi.
Artikel ini ditulis oleh:
Arbie Marwan