Jakarta, Aktual.com — Dalam kehidupan keseharian kita, masalah hutang-piutang menjadi masalah umum dan lumrah terjadi di tengah-tengah masyarakat. Seharusnya, berhutang dibolehkan asal kita mampu dan mudah untuk membayarnya, bukan mengabaikan serta melupakan begitu saja terlebih jika melakukannya dengan cara kredit.

Pasalnya, apabila dalam hutang tersebut disyaratkan harus membayarnya secara lebih saat pengembalian. Oleh karena itu, riba dan hukumnya haram.

Ibnu Qudamah rahimahullah berkata,

وَكُلُّ قَرْضٍ شَرَطَ فِيهِ أَنْ يَزِيدَهُ ، فَهُوَ حَرَامٌ ، بِغَيْرِ خِلَافٍ

“Setiap utang yang dipersyaratkan ada tambahan, maka itu adalah haram. Hal ini tanpa diperselisihkan oleh para Ulama.” (Al Mughni, 6: 436)

Kemudian, Ibnu Qudamah mengatakan sebagai berikut:

“Ibnul Mundzir berkata, “Para Ulama sepakat bahwa jika orang yang memberikan pinjaman memberikan syarat kepada yang meminjam supaya memberikan tambahan atau hadiah, lalu transaksinya terjadi demikian, maka tambahan tersebut adalah riba.”

Diriwayatkan dari Ubay bin Ka’ab, dari Ibnu ‘Abbas dan Ibnu ‘Abbas bahwasanya mereka melarang dari utang piutang yang ditarik keuntungan karena utang piutang merupakan bersifat sosial dan ingin mencari pahala. Jika di dalamnya disengaja mencari keuntungan, maka sudah keluar dari konteks tujuannya. Tambahan tersebut bisa jadi tambahan dana atau manfaat.” Lihat Al Mughni, 6: 436.

Lantas, pertanyaannya bagaimana dengan Kredit KPR?

Adapun fakta dan realita yang terjadi dalam kredit KPR yakni pihak bank meminjamkan uang kepada si peminjam dan mensyaratkan adanya biaya tambahan saat pengembalian. Jadi realitanya, bukanlah transaksi jual beli rumah karena pihak bank sama sekali belum memiliki rumah tersebut.

Yang terjadi, di dalam transaksi KPR adalah meminjamkan uang dan di dalamnya ada tambahan dan ini sangat jelas bahwa hal itu adalah riba. Mengingat, Ulama kita sudah sepakat bahwa hukum riba adalah haram.

Peminjam juga terkena laknat

Penting untuk diketahui, bukan hanya pemakan riba (rentenir) saja yang terkena laknat. Namun, si peminjam selaku penyetor riba yang meminjam uang pun juga dikenai laknat. Ada Hadis dalam Shahih Muslim, dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu. Ia berkata,

لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- آكِلَ الرِّبَا وَمُوكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ هُمْ سَوَاءٌ.

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat pemakan riba (rentenir), penyetor riba (nasabah yang meminjam), penulis transaksi riba (sekretaris) dan dua saksi yang menyaksikan transaksi riba.” Kata beliau, “Semuanya sama dalam dosa.” (HR. Muslim no. 1598).

Mengapa sampai penyetor riba pun terkena laknat? Alasannya, lantaran mereka telah menolong dalam kebatilan. Imam Nawawi Rahimahullah berkata, “Dalam Hadis di atas bisa disimpulkan mengenai haramnya saling menolong dalam kebatilan.” (Syarh Shahih Muslim, 11: 23).

Dengan demikian sudah seharusnya bagi si peminjam atau penyetor riba untuk segera bertaubat dan bertekad kuat untuk segera melunasi utangnya. Pasalnya, memang sudah sepantasnya bagi kita umat Muslim untuk menghindari Riba

Jika telah jelas bahwa riba itu haram dan kita dilarang turut serta dalam transaksi riba termasuk pula menjadi peminjam, maka sudah sepantasnya kita sebagai seorang muslim mencari jalan yang halal untuk memenuhi kebutuhan primer kita termasuk dalam hal papan.

Memiliki rumah dengan kredit KPR bukanlah darurat. Karena kita masih ada banyak cara “halal” yang bisa ditempuh dengan tinggal di rumah beratap melalui rumah kontrakan, sembari belajar untuk “nyicil” sehingga bisa tinggal di rumah sendiri.

Atau, pintar-pintarlah Anda menghemat pengeluaran sehingga dapat membangun rumah perlahan-lahan dari mulai membeli tanah sampai mendirikan bangunan yang layak huni. Ingatlah sabda Rasulullah SAW,

إِنَّكَ لَنْ تَدَعَ شَيْئًا لِلَّهِ إِلاَّ بَدَّلَكَ اللَّهُ بِهِ مَا هُوَ خَيْرٌ لَكَ مِنْهُ

“Sesunggunya jika engkau meninggalkan sesuatu karena Allah SWT, maka Allah SWT akan mengganti bagimu dengan yang lebih baik bagimu.” (HR. Ahmad 5: 363. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih). Wallahu a’lam bis showwab.

Artikel ini ditulis oleh: