Saudaraku, hakikat kebangsaan Indonesia adalah suatu kesatuan dalam keragaman, yang bisa dipertahankan sejauh bisa diwujudkan negara persatuan dan keadilan.

Perwujudan negara persatuan dan keadilan menuntut peran aktif warga negara. Diingatkan oleh Prof. Soepomo, “Dalam sistem kekeluargaan sikap warga negara bukan sikap yang selalu bertanya ‘apakah hak-hak saya?’, akan tetapi sikap yang menanyakan: apakah kewajiban saya sebagai anggota keluarga besar, ialah negara Indonesia ini?…Inilah pikiran yang harus senantiasa diinsyafkan oleh kita semua.” Pandangan Soepomo ini mendahului pernyataan John F. Kennedy kepada rakyat Amerika Serikat pd 1961, “Ask not what your country can do for you; ask what you can do for your country.”

Dari perjalananku menjejahi Indonesia dari ufuk ke ufuk, dari jarak dekat dengan bau keringat dan kaki-kaki kebangsaan, jelas terlihat bahwa Indonesia adalah bangsa yang kuat dalam kehadiran negara yang relatif lemah. Meski usaha pemerintahan dalam melindungi, mensejahterakan, mencerdaskan dan menertibkan warganya masih relatif lemah, sambung rasa kebangsaan Indonesia masih relatif kuat. Masih kuatnya simpul kebangsaan inilah yang dapat menahan negara ini dari perpecahan.

Dalam kenyataannya, kuatnya tenunan rasa kebangsaan ini tidaklah sekadar mengandalkan pasak besar organisasi politik dan birokrasi negara, melainkan oleh rajutan serat-serat tipis keindonesian, yang menampung inisiatif warga secara sukarela. Yakni gugusan inisiatif komunitas dari keragaman agen sosial dalam usaha menyelesaikan problem konkrit kewargaan dalam semangat keadaban publik yang partisipatif dan inklusif.

Dari Danau Sentani di Papua hingga Danau Toba di Sumatra Utara, ada begitu banyak mata air kecemerlangan yang mengalir dari kearifan dan ketulusan pengabdian para tetua adat, guru, pemuka agama, pengusaha, seniman, jurnalis dan tokoh-tokoh masyarakat sipil lainnya, yang dapat memberi pelajaran bahwa: negara-bangsa ini memang banyak masalah, tetapi satu kepala manusia bisa menyelesaikan banyak hal. Apalagi, jika serat tipis agen-agen konstruktif ini bisa bertaut dalam semangat gotong-royong, membuka diri penuh cinta untuk yang lain.

Belajar Merunduk, Yudi Latif

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: As'ad Syamsul Abidin