Jakrta, Aktual.com – Belum reda benar polemik penandatanganan kesepakatan kontrak Heads Of Agreement (HOA) antara PLN dengan Offshore and Marine, dan Pavilion Gas Singapore terkait pengadaan Liquefied Natural Gas (LNG) untuk sejumlah pembangkit listrik, PLN mengajukan usulan harga khusus batu bara melalui Domestic Market Obligation (DMO) untuk kebutuhan pembangkit listrik.

Melalui DMO, PLN mengusulkan kepada pemerintah untuk menetapkan harga batu bara yang berbeda dengan harga pasar. Dalih PLN adalah untuk mencapai efisiensi sehingga penetapan tarif listrik dapat terjangkau bagi seluruh lapisan masyarakat.

Menanggapi hal ini, Pengamat Ekonomi Energi UGM, Fahmy Radhi mengatakan memang benar bahwa energi primer termasuk batu bara, yang digunakan pembangkit listrik merupakan komponen signifikan dalam pembentuk biaya pokok penyediaan (BPP) listrik, dengan proporsi antara 40% hingga 50%. Namun, ada komponen biaya lain dalam pembentuk BPP yang juga harus diefisienkan oleh PLN antara lain: biaya perawatan, biaya transmisi, biaya distribusi, dan biaya operasional.

“Selama ini, PLN belum mencapai efisiensi secara optimal. Indikatornya, Pemerintah masih mengeluarkan subsidi listrik dalam jumlah yang besar. Meskipun sudah ada pemangkasan subsidi listrik, subsidi listrik pada 2016 masih mencapai sebesar Rp 38,39 triliun untuk 24,7 juta rumah tangga miskin dan rentan miskin. Inefisiensi PLN tersbut juga tercermin dari adanya gap antara BPP listrik per kWh yang selalu lebih besar daripada tarif ditetapkan oleh Pemerintah bersama DPR,” ujar dia, Selasa (19/9).

Dia mengungkapkan, dalam lima tahun terakhir BPP per kWh cenderung meningkat. Pada 2011 BPP tercatat sebesar Rp. 1.251/kWh, sedangkan tarif listrik ditetapkan sebesar Rp. 738/kWh, sehingga beban subsdi pemerintah sebesar Rp. 513/kWh.

Pada 2016, BPP meningkat menjadi Rp. 1.229/kWh, tarif ditetapkan Rp. 1.150/kWh, beban subsidi menjadi Rp. 79/kWh. Penurunan beban subsdi itu bukan karena PLN sudah mencapai efisiensi, melainkan adanya pencabutan subsidi listrik secara bertahap.

“Untuk mencapai efisiensi, PLN tidak seharusnya mencari gampangnya saja dengan merengek kepada Pemerintah untuk menurunkan harga batubara melalui DMO. PLN seharusnya melakukan efisiensi besar-besaran dengan menurunkan biaya perawatan, biaya transmisi, biaya distribusi, dan biaya operasional. Sudah sangat tepat sikap Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral Ignasius Jonan untuk tidak serta-merta mengabulkan usulan PLN, tetapi akan dievaluasi lebih dahulu pencapaian efisiensi PLN,” ujar Fahmy.

Memang, tambah Fahmy, tidak mustahil bagi Menteri ESDM untuk menurunkan harga batubara dalam skema DMO, namun intervensi Pemerintah tersebut berpotensi menjadi distorsi dalam pembentukan harga batu bara di pasar.

Selain itu, penurunan harga batu bara khusus untuk pembangkit listrik akan menjadi preseden buruk bagi PLN untuk tetap menggunakan batu bara sebagai energi primer pada sebagain besar pembangkit listrik. PLN merasa tidak ada urgensi yang mendesak untuk melakukan bauran energi primer, termasuk penggunaan energi baru dan terbarukan (EBT), selama batubara masih tersedia dengan harga ditetapkan lebih murah dari harga pasar.

Padahal, selain ketersediaan batu bara semakin menurun, penggunaan batu bara sebagai energi primer selama ini berkontribusi terhadap pencemaran lingkungan. Pasalnya, batu bara bukan termasuk kategori energi bersih, dan bukan pula kategori EBT.

“Oleh karena itu, Menteri Jonan harus benar-benar mempertimbangkan berbagai variabel yang signifikan sebelum memutuskan untuk memenuhi usulan PLN dalam penetapan harga batubara yang berbeda dengan harga pasar dalam skema DMO,” tukas Fahmy.

Perubahan skema harga batubara sebagai energi primer ini sudah beberapa kali terjadi atas usulan PLN, ketika harga batubara meningkat, PLN meminta agar harga diatur oleh pemerintah. Namun ketika harga anjlok, PLN menuntut penyesuaian dengan harga pasar.

Pewarta : Dadangsah Dapunta

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Bawaan Situs