Beranda Khazanah Kajian Silaturahmi Pintu Keberkahan

Silaturahmi Pintu Keberkahan

Warga melaksanakan salat Idul Fitri, menutup jalan Pantura, di Desa Kandanghaur, Indramayu, Jawa Barat, Jumat (15/6/2018). Salat ini menutup jalan Pantura bukan kali pertama dilakukan oleh warga masyarakat Kandanghaur, Indramayu. Karena Kapasitas Masjid yang tidak mampu menampung jumlah jamaah yang begitu besar saat pelaksanaan ibadah sunnah tahunan, menjadikan hal tersebut sebagai rutinitas yang dilakukan saat pelaksanaan salat Ied. AKTUAL/Ahmad Warnoto

Saiful Bahri | Laznas Yakesma

Rasulullah saw sangat menganjurkan umat Islam untuk menguatkan silaturahim (red: Silaturahmi) dan terus menyambungnya. Banyak dalil yang memotivasi hal tersebut. Bahkan, menyambung hubungan kekerabatan dijadikan salah satu wujud refleksi keimanan seseorang seperti yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah berikut.

Sabda Rasulullah saw, “Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka muliakanlah tamunya, siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka sambunglah hubungan kekerabatannya (silaturahim), siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka berkatalah yang baik atau diam” (HR. Al-Bukhariy: 6138)

Menyambung hubungan kekerabatan bukan saja memelihara karunia dan nikmat Allah yang memberikan kita orang-orang yang dekat secara nasab kepada kita. Namun, juga merupakan ibadah dan bentuk ketaatan kepada Allah yang memerintahkannya. Baik secara langsung melalui ayat-ayat al-Quran ataupun melalui hadis Rasulullah saw.

Menyambung hubungan kekerabatan pastilah terdapat pasang surut. Karena kondisi setiap manusia tak sama. Terdapat berbagai perbedaan di tengah keluarga besar kita. Ada kalangan perbedaan tersebut disebabkan karena kondisi ekonomi, perbedaan profesi, perbedaan kondisi dan jumlah anak-anak, perbedaan pemahaman, perbedaan masing-masing pasangan hidup. Tak jarang perbedaan-perbedaan tersebut dijadikan alasan untuk memutuskan pertalian kekerabatan. Hal tersebut tidak disukai Allah dan Rasul-Nya.

Seorang lelaki pernah mengeluhkan kepada Rasulullah saw, “Ya Rasulallah saya memiliki kerabat saya menyambung tali kekerabatan, namun mereka memutusnya. Saya berbuat baik baik kepada mereka, namun mereka berbuat buruk pada saya. Saya bersikap lembut kepada mereka, namun mereka mengingkarinya”. Rasulullah saw menjawab, “Jika kamu seperti yang kamu katakan, seolah-olah Anda membuat mereka memakan bara abu yang panas, kamu masih memiliki pendukung dari Allah atas mereka selama kamu dalam kondisi demikian”. (HR. Muslim: 2558, dari riwayat Abu Hurairah).

Bersyukur dengan memelihara tali kekerabatan merupakan salah satu peluang meraih ketaatan Allah di samping berbagai amal ibadah lainnya. Silaturahmi tidak mengenal waktu. Ia merupakan ibadah yang terus berkelanjutan. Meskipun demikian terdapat tradisi yang menarik yang senantiasa dilakukan oleh umat Islam, bahwa momen Idul Fitri tak jarang dijadikan sebagai momen untuk memperkokoh dan menguatkan hubungan kekerabatan.

Tradisi baik ini perlu dilestarikan dan dilanjutkan mengingat jumlah keluarga akan terus bertambah dan latar belakang yang berbeda-beda bisa jadi menjauhkan mereka secara fisik. Maka, momen tahunan ini bisa menjadi sarana mengeratkan kembali pertalian kekerabatan tersebut. Terutama bagi anak-anak yang mungkin tidak mengenal saudara sepupu atau saudara jauh mereka.

Silaturahmi ini menjadi memiliki manfaat yang nyata di antaranya: 1) melapangkan rizki, baik yang berbentuk materi maupun non materi, 2) menguatkan ketaatan kepada Allah, 3) menumbuhkan cinta dan kasih sayang, 4) memperpanjang usia, 5) menghindarkan perselisihan dan permusuhan, 6) salah satu sebab dimasukkan ke dalam surga Allah.

Pintu keberkahan hidup terbuka melalui silaturahmi. Setidaknya inilah yang menyelaraskan antara ikrar dan perkataan kita di akhir shalat kita. Setiap akhir shalat kita mengucapkan salam kepada Nabi Muhammad saw secara langsung dengan redaksi “as-salamu alaika” kemudian kepada orang-orang di sekitar kita “as-salamu alaina”. Shalat kita berakhir dengan ucapan salam secara penuh, “as-salamu alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh”. Kita berucap salam untuk orang lain “alaikum” menandakan kita siap menjadi duta salam dan kedamaian serta duta kasih sayang dan keberkahan dari Allah untuk orang-orang semuanya.

Tentu hal tersebut dimulai dari mereka yang paling dekat dengan kita. Yaitu, keluarga dan kerabat kita. Sebagaimana Nabi Muhammad SAW juga memulai dakwahnya dari keluarga dekat beliau.

Sambung dan kuatkan serta jagalah hubungan kekerabatan, dalam keadaan apapun.

Artikel ini ditulis oleh:

Megel Jekson