Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji. Aktual/HO

Jakarta, aktual.com – Kejaksaan Agung mengungkap dugaan rasuah di Kementerian Pendidikan, terkait pengadaan laptop senilai Rp 9,9 triliun. Menanggapi hal itu, Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji, menyatakan segala bentuk dugaan penyelewengan uang negara, khususnya di bidang pendidikan harus ditindak secara tegas.

“Karena kita punya preseden buruk, sektor pendidikan masih menjadi salah satu sektor terkorup di Indonesia. Jadi upaya penegakan hukum di sektor pendidikan ini jangan dipandang sebagai hal yang negatif,” kata Ubaid saat dihubugi awak media, Jumat (30/5/2025).

Ubaid menyatakan, tegaknya hukum di sektor pendidikan akan berdampak terhadap penguatan sistem dan ekosistem pendidikan yang lebih baik. Jika tidak ada penegakan hukum yang cukup kuat di sektor pendidikan, maka sektor tersebut bisa menjadi ugal-ugalan dan membenarkan apa yang dirilis oleh KPK bahwa sektor integritas pendidikan menjadi salah satu sektor yang sangat buruk di Indonesia.

Soal kasus terkait, Ubaid mengaku sudah mendengarnya sejak dua tahun silam. Menurut dia, sebagai pemangku kebijakan pendidikan, top of the top atau paling atas penanggung jawabnya adalah menteri itu sendiri. Sehingga tidak salah jika Kejaksaan Agung hendak memanggil para pemangku kebijakan terkait untuk dimintai keterangannya.

“Saya pikir ini harus diinvestigasi secara menyeluruh dan diperiksa. Karena pemeriksaan itu kan tidak selalu berkonotasi negatif ya. Kalau misalnya semua pimpinan itu tidak terlibat, apa salahnya misalnya bersaksi? bahwa mereka memang dimintai keterangan ya memang tidak ada keterlibatan,” imbuhnya.

Ubaid menilai, tindakan Kejaksaan Agung adalah upaya berish-bersih dan penguatan integritas di sektor pendidikan. Maka sebagai pimpinan tertinggi di kementerian pendidikan, seorang menteri harus mampu bertanggungjawab untuk membuat kasusnya semakin terang. Tidak sebetas aktor lapangan, tetapi juga otaknya.

“Apakah dia sendirian pelaku lapangan? itu jangan sampai berhenti di situ. Apakah ada keterlibatan pihak-pihak lain gitu kan terkait dengan pimpinan di atas itu harus ketahuan semua. Kalau bisa sampai ketemu aktor intelektual saya pikir itu lebih membuka bahwa ternyata sektor pendidikan ini sangat perlu penegakan hukum,” beber Ubaid.

Ubaid mencatat, sejak program pengadaan laptop diluncurkan JPPI ada dalam posisinya menolak. Sebab ketika program berjalan di era Covid, pemerintah sebatas berpikir memberi bantuan pembelajaran digital tanpa pertimbangan matang.

“Kenapa waktu itu JPPI menolak karena kondisi daerah itu kebutuhannya beda-beda. Jadi ketika kebutuhannya beda-beda maka nggak bisa nih kebijakan pengadaan laptop ini (diseragamkan), kemudian tanpa membaca kebutuhan daerah tapi langsung disebarkan begitu saja,” kritik Ubaid.

Imbasnya, lanjut Ubaid, bantuan datang tapi tidak bisa digunakan karena permasalahan teknis seperti internet yang bekum merata, literasi pengoperasian laptop dan seterusnya.

“Sehingga kita dari awal sudah men-disclaimer bahwa ini bahaya gitu kan.
Apalagi kita tahu kasus korupsi terbesar di sektor pendidikan itu adalah pengadaan barang. Lalu kita juga katakan pengadaan barang chromebook ini juga bisa berpotensi (korup) karena ketika kita melihat rekam jejak banyak sekali kasus pengadaan barang di sektor pendidikan ini yang kemudian belakang menjadi temuan para penyidik gitu,” dia menandasi.

Diketahui, Jampidsus Kejagung sedang menyidik kasus dugaan korupsi pengadaan Chromebook di Kemendikbudristek tahun 2019–2022. Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung Harli Siregar mengatakan penyidik pada Jampidsus mendalami dugaan adanya pemufakatan jahat oleh berbagai pihak dengan mengarahkan tim teknis agar membuat kajian teknis terkait pengadaan bantuan peralatan yang berkaitan dengan pendidikan teknologi pada tahun 2020.

“Supaya diarahkan pada penggunaan laptop yang berbasis pada operating system (sistem operasi) Chrome,” katanya.

Padahal, kata dia, penggunaan Chromebook bukanlah suatu kebutuhan lantaran pada tahun 2019, karena telah dilakukan uji coba penggunaan 1.000 unit Chromebook oleh Pustekom Kemendikbudristek dan hasilnya tidak efektif.

Dari pengalaman tersebut, tim teknis pun merekomendasikan untuk menggunakan spesifikasi dengan sistem operasi Windows, namun Kemendikbudristek saat itu mengganti kajian tersebut dengan kajian baru yang merekomendasikan untuk menggunakan operasi sistem Chrome.

Adapun dari sisi anggaran, Kapuspenkum mengatakan bahwa pengadaan itu menghabiskan dana sebesar Rp9,982 triliun. Dana hampir puluhan triliun tersebut terdiri dari Rp3,582 triliun dana satuan pendidikan (DSP) dan sekitar Rp6,399 triliun berasal dari dana alokasi khusus (DAK).

Artikel ini ditulis oleh:

Tino Oktaviano