Ilustrasi : Skandal Kredit Sritex: Eks Dirut BJB Naik Status, tapi Turun ke Penahanan Kota

Jakarta, aktual.com – Mantan Direktur Utama Bank BJB, Yuddy Renald, akhirnya resmi menyandang status tersangka dalam kasus dugaan korupsi pemberian kredit ke PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex). Tak tanggung-tanggung, dua lembaga penegak hukum kini bergantian menyapanya: Kejaksaan Agung dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Yuddy tak sendiri. Ia menjadi bagian dari delapan tersangka baru yang ditetapkan Kejaksaan Agung pada Senin (21/7/2025) malam. Selain Yuddy, terdapat nama-nama tenar lain dari berbagai bank pembangunan daerah seperti Bank DKI dan Bank Jateng.

“Setelah dilakukan gelar perkara, penyidik berkesimpulan menetapkan delapan tersangka,” kata Direktur Penyidikan Jampidsus, Nurcahyo Jungkung Madyo.

Uniknya, meski ditetapkan sebagai tersangka dalam skandal yang mengakibatkan kerugian negara lebih dari Rp1 triliun, Yuddy tidak ikut menghuni tahanan. Ia hanya dikenai penahanan kota dengan alasan kesehatan. “Sedangkan terhadap tersangka YR dilakukan penahanan kota selama 20 hari ke depan karena alasan kesehatan,” jelas Nurcahyo.

Penetapan tersangka ini menambah deret panjang nama-nama penting yang terseret dalam kasus dugaan penyalahgunaan pemberian kredit kepada Sritex. Dugaan korupsi ini melibatkan pencairan kredit dari tiga bank daerah —Bank BJB, Bank DKI, dan Bank Jateng— ke Sritex dan anak usahanya. Sayangnya, dana yang semestinya digunakan sebagai modal kerja malah digunakan untuk membayar utang lama.

“Nah ini sedang didalami oleh penyidik, apakah pembayaran utang perusahaan atau uang pribadi,” jelas Kapuspenkum Kejagung, Harli Siregar. Ia menegaskan, meski digunakan untuk utang perusahaan, tindakan itu tetap melanggar karena tidak sesuai akad kredit.

Kerugian negara pun membengkak. Menurut Kejagung, nilai kerugian akibat pemberian kredit secara melawan hukum ini mencapai lebih dari Rp1,08 triliun. Saat ini angka tersebut sedang dalam proses penghitungan final oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

Kejagung sendiri sudah memeriksa 13 saksi tambahan dari berbagai posisi strategis di tiga bank, termasuk dari divisi legal, kredit, dan kepatuhan. Langkah ini disebut sebagai upaya melengkapi berkas perkara atas nama tersangka Iwan Setiawan Lukminto (Dirut Sritex) dan koleganya.

Menariknya, Yuddy tak hanya disapa oleh Kejagung. Di tempat lain, KPK juga sudah lebih dulu menetapkannya sebagai tersangka dalam kasus berbeda, yaitu proyek pengadaan iklan di Bank BJB periode 2021–2023. Dua institusi, dua kasus, satu nama.

Namun Kejagung mengaku santai. “Silakan saja (KPK periksa), kan statusnya tahanan kota,” kata Kapuspenkum Kejagung Anang Supriatna.

Ia menegaskan, tidak ada konflik kewenangan antar lembaga meski satu orang tersandung dua perkara di dua institusi berbeda.

Bila semula pemberian kredit tampak sebagai strategi ekspansi bisnis, hasil akhirnya justru membuka pintu penjara bagi banyak pejabat keuangan.

Di tengah gegap gempita kolaborasi antarlembaga dan daftar panjang para tersangka, publik kini menanti apakah ‘kredit’ kepercayaan pada institusi perbankan publik juga ikut kolaps?

Dua Kasus, Satu Tersangka, Dua Lembaga Hukum

Dalam pusaran kasus korupsi Sritex, nama Yuddy Renald ibarat koin yang dilempar oleh dua lembaga penegak hukum: Kejagung dan KPK. Satu sisi menyebutnya sebagai tersangka dalam perkara pemberian kredit, sisi lain menjeratnya dalam pengadaan iklan Bank BJB.

Kapuspenkum Kejagung, Anang Supriatna, menyatakan tak ada yang perlu dikhawatirkan soal koordinasi antar lembaga.

“Kita kolaborasi dengan KPK baik. Saya juga pernah mengabdi di sana,” ujarnya.

Yuddy, yang dijerat Kejagung tapi hanya dikenai penahanan kota, tetap bisa diperiksa oleh KPK.

Faktanya, Yuddy bukan tersangka biasa. Ia menjabat Dirut Bank BJB selama 16 tahun, dari 2009 hingga Maret 2025. Perannya krusial dalam proses persetujuan kredit Sritex. Namun, langkah hukum terhadapnya tampak lebih lunak dibanding tersangka lain yang langsung ditahan.

Artikel ini ditulis oleh:

Andry Haryanto