Oleh: Andi Rahmat, Pelaku Usaha

Jakarta, aktual.com – Untuk masa-masa mendatang, tensi kompetisi geopolitik antara Amerika Serikat ( AS ) versus RRC dikawasan Asia Pasifik nampaknya akan terus meninggi. Tidak ada tanda-tanda deeskalasi yang menonjol.

Yang tampak justru upaya-upaya signifikan dari masing-masing pihak untuk memperkuat posisi masing-masing di kawasan. Itulah yang kami sebut sebagai fortifikasi. Yaitu, upaya para pihak yang berkompetisi
untuk membangun jaringan “ benteng-benteng” pertahanan, baik itu ekonomi, militer dan diplomasi dikawasan.

Sebagai negara berdaulat dengan populasi besar dan letak geografis yang penting, Indonesia tentu memiliki kepentingan strategis tersendiri ditengah hangatnya kompetisi kekuatan-kekuatan besar ( great powers )di kawasan.

Para perumus kebijakan strategis nasional sudah sepantasnya menaruh perhatian serius terhadap permasalahan ini. Apatah lagi menjelang Pemilu 2024. Hiruk pikuk Pemilu tidak boleh membuat kita lengah dalam membaca, menganalisis dan merumuskan kebijakan strategis yang koheren untuk menghadapi tantangan ini. Suatu kebijakan yang dapat menjadi landasan bagi pemerintahan berikutnya.

Sudah jamak kita dengar, bahwa dua kekuatan besar yang sedang berkompetisi , AS dan RRC, masing-masing berupaya keras untuk menghindari jebakan Thucydides dalam kompetisi mereka. Sebagai kekuatan yang matang ( mature ), kedua negara berusaha menggunakan pendekatan yang menghindari bentuk konfrontasi langsung.

Sekalipun demikian, bagi Indonesia, apapun bentuk kompetisinya ( kami menghindari kata konflik dalam tulisan ini ) danpaknya tentu akan juga kita rasakan.

Sejak Era pemerintahan Donald Trump, AS terlihat sangat konsisten dalam membangun dan menjalankan kebijakan kompetitifnya dikawasan. Trumplah yang secara eksplisit menarik sumber daya kekuatan AS dari timur tengah dan menempatkan ulang projeksi kekuatannya di Asia Pasifik. Trump pula yang memulai langkah-langkah untuk mengisolasi keampuhan pendekatan ekonomi China di Asia Pasifik.

Apa-apa yang dilakukan Trump rupa-rupanya bukanlah kebijakan republikanisme sentris, tapi juga di lakukan oleh pemerintahan Biden. Terdapat konsensus bulat di AS dalam hal menghadapi kompetisi dengan China.

Yang perlu dicermati adalah langkah-langkah strategis AS yang secara bertahap membangun fortifikasi berlapis dalam menghadapi China.

Dibidang Ekonomi, AS melakukan dua kebijakan yang ditujukan untuk memperlambat laju ekspansi ekonomi china. Secara domestik, AS memberlakukan kebijakan penerapan tarif terhadap produk China, membatasi hingga melarang gerak perusahaan China yang dianggap kritis terhadap keamanan AS, memaksa perusahaan-perusahaan China yang ada di pasar saham dan keuangan Amerika untuk lebih terbuka dan mengancam mereka untuk didepak dari bursa saham AS.

Termasuk juga melarang industri strategis AS untuk memasok teknologi kritikal kepada perusahaan-perusahaan China.

Tidak berhenti disitu, AS kemudian melancarkan kampanye internasionalnya dengan pertama-tama mengajak negara-negara Barat dan sekutunya di Asia untuk melancarkan kebijakan serupa. Kampanye yang pada mulanya terlihat banyak di tentang oleh negara sekutu AS, setelah 6 tahun terakhir, nampaknya sudah mulai membuahkan hasil.

Di negara-negara Uni Eropa, hanya tersisa Hungaria dan Italia saja yang terlihat tidak terlampau agresif dalam menjalankan kebijakan pengisolasian China ini.

Kampanye ekonomi ini nampaknya sudah mulai diperluas kepada negara-negara yang bukan merupakan sekutu tradisional AS. Indonesia sendiri akan mulai merasakan desakan-desakan ini secara bertahap. Pelibatan Indonesia sendiri sebagai tamu di pertemuan G-7 di Jepang, merupakan indikator awal dari perluasan kampanye ini. Dilihat dari komunike akhirnya, Pertemuan G-7 itu sendiri merupakan pertemuan konsolidasi AS dan sekutu tradisionalnya dalam menghadapi kompetisi dengan China.

Dibidang Pertahanan/ militer pun demikian. Dan ini perlu menjadi perhatian tersendiri bagi ahli-ahli militer Indonesia. Tanpa disadari, sebetulnya Amerika Serikat dan sekutunya sedang dan sudah membangun garis pertahanan pasifiknya.

Amerika memiliki pengkalan militer yang kuat di semenanjung Korea, dan Okinawa Jepang. Jika di perhatikan dengan seksama, garis pertahanan pasifik amerika serikat itu terlihat mulai bersinambung dari samudera hindia, yang dimulai dari India ( melalui QUAD ) terus masuk ke selat malaka dengan menjadikan singapura sebagai transit logistiknya, melintasi perairan internasional. Lalu bercabang di Laut China Selatan. Satu garis memanjang melintasi sisi luar Taiwan terus ke Okinawa dan melintas hingga Korea Selatan.

Satu garis lagi berbelok menuju Philipina, yang sejak pemerintah Marcos terbentuk, sudah menandatangani perjanjian untuk mengizinkan 20 pulaunya untuk aktivitas militer AS. Garis ini terus bersambung melintasi Papua New Guinea yang juga baru saja menandatangani perjanjian pertahanan dengan AS. Garis ini kemudian berakhir di Australia.

Garis pertahanan ini berhadapan langsung dengan garis pertahanan yang diupayakan oleh China. Garis itu dimulai dari Pakistan yang membuka akses ke samudera hindia, dan juga Myanmar, yang menembus daratan China dan bersambung ke Pasifik melalui Laut China Selatan ( LCS ) terus hingga titik pangkalan militer china di pulau-pulau buatan dilepas pantai Philipina dan terus bersinambung hingga ke negara- negara pulau berdaulat di samudera pasifik.

Melihat itu semua. Indonesia persis berada dalam kepungan garis konflik ini. Nampaknya negara- negara ini memahami netralitas Indonesia sebagai pivotal
point dalam kompetisi mereka.

Selain itu, diarea diplomasi internasional. AS dan China juga terus membangun kekuatannya masing. Lembaga-lembaga Internasional menjadi ajang kompetisi diantara dua kekuatan besar ini. Bahkan beberapa lembaga internasional yang dibentuk untuk memperkuat landasan tatanan internasional mengalami degradasi peran yang signifikan.

Contoh yang terlihat jelas itu adalah WTO ( World Trade Organizations ). Lembaga ini keberadaannya makin tidak signifikan ditengah kompetisi ekonomi AS versus China. Masing-masing pihak menerapkan kebijakan unilateral yang lebih sering keluar dari konsensus WTO.

Tindakan Fortifikasi berlapis dari negara-negara yang sedang berkompetisi ini yang memaksa kita untuk menyadari bahwa keadaan geopolitik global tidak sedang baik- baik saja. Indonesia tidak bisa tidak harus menaruh perhatian serius kepada soal ini.

Para calon presiden yang akan berkompetisi 2024 sangat perlu untuk memahami ini. Dan juga membangun kesepahaman yang kuat dalam melihat posisi Indonesia. Yang diperlukan adalah kohesi yang kuat dikalangan pengambil kebijakan untuk merumuskan dan menjalankan kebijakan yang berkesinambungan, demi kepentingan strategis nasional kita. Indonesia tidak bisa menjadi Pariah dalam kompetisi penentu ini. Wallahu ‘alam.

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Rizky Zulkarnain