Pasangan Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden Joko Widodo (kedua kanan) dan Ma'ruf Amin (kanan) serta pasangan Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden Prabowo Subianto (kedua kiri) dan Sandiaga Uno memanjatkan doa saat mengikuti rapat Pengundian dan Penetapan Nomor Urut Capres dan Cawapres Pemilu 2019 di Kantor KPU, Jakarta, Jumat (21/9). Pasangan Jokowi-Ma'ruf memperoleh nomor urut 01 sementara pasangan Prabowo-Sandiaga memperoleh nomor urut 02. AKTUAL/Tino Oktaviano

Jakarta, Aktual.com – Lembaga penelitian Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) menyatakan capres yang memiliki tren selalu unggul akan sulit dikalahkan pada hari pemilihan.

“Dari pengalaman tiga kali Pilpres, calon yang trennya unggul terus sulit dikalahkan pada hari H,” kata Direktur Eksekutif SMRC Djayadi Hanan dalam pemaparan hasil survei bertajuk Tren Elektabilitas Capres: Pengalaman Menjelang Hari H (2004-2019), di Jakarta, Minggu (7/10).

Dia mencontohkan hal tersebut dialami Presiden RI keenam Susilo Bambang Yudhoyono yang kembali dipilih pada Pilpres 2009, karena tren elektabilitasnya selalu unggul sejak jauh hari.

Sebaliknya, Djayadi mengatakan petahana bisa kalah, jika trennya selalu kalah sejak awal.

Sebagai perbandingan, kata dia, Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri sebagai petahana, kalah pada Pilpres 2004, karena trennya sudah kalah dalam beberapa bulan menjelang hari pemilihan.

Sementara itu untuk Presiden Jokowi selaku petahana dalam Pilpres 2019, dia menilai trennya selalu menguat dibandingkan capres Prabowo Subianto.

Dalam survei SMRC yang dilakukan 7-14 September 2018 terhadap 1.220 responden, dalam simulasi dua nama capres yakni Jokowi dan Prabowo, sebanyak 60,2 persen responden memilih Jokowi sedangkan 28 persen memilih Prabowo dan responden tidak tahu atau tidak menjawab sebanyak 11,1 persen.

Ketika disodorkan dua pasangan nama capres-cawapres (Jokowi-Ma’ruf dan Prabowo-Sandiaga) Jokowi tetap unggul dengan elektabilitas 60,4 persen mengalahkan Prabowo yang memperoleh 29,8 persen.

Djayadi Hanan mengatakan Jokowi sejatinya pernah mengalami penurunan elektabilitas pasca-terjadinya peristiwa kerusuhan di Mako Brimob, dan bom di Surabaya Mei 2018 silam, karena ada kecemasan publik atas kondisi keamanan.

Namun kecemasan itu bisa cepat diatasi. Menurut Djayadi, Jokowi bisa mengalami penurunan elektabilitas saat ini jika ekonomi dan masalah keamanan mengalami gejolak.

antara