Pengerjaan gedung 16 lantai yang akan digunakan untuk kantor lembaga anti rasuah itu telah memasuki tahap akhir. Gedung tersebut mulai dibangun sejak Desember 2013 dengan nilai kontrak Rp195 miliar direncanakan memiliki 70 ruang pemeriksaan dan gedung penjara yang mampu menampung 50 orang, 40 pria dan sepuluh wanita.

Jakarta, Aktual.com – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan butuh pendapat ahli hukum tentang apakah bisa menerapkan pidana korporasi ke Partai Politik.

Ini dilakukan lantaran adanya indikasi keterlibatan Partai Golkar dalam kasus suap PLTU Riau-1.

Juru bicara KPK, Febri Diansyah mengatakan setiap kasus rumit yang dihadapi, pihaknya memang selalu mengundang pakar atau ahli untuk mencari sandaran hukum dalam mempidanakan tersangka di sebuah kasus.

“Permintaan pendapat ahli sudah sering dilakukan tidak hanya spesifik terhadap koorporasi saja tapi terkait dengan seluruh penanganan perkara,” ujar dia kepada wartawan, di Gedung KPK, Jakarta, Kamis (13/9).

Selan itu ditegaskan Febri, Febri pendapat dari ahli ini pun dapat dijadikan alat bukti, termasuk untuk penerapan pasal korporasi ke Partai Golkar.

“Alat bukti itukan ada lima, salah satu alat bukti itu ahli,” kata dia.

Wakil ketua KPK, Laode M Syarief sebelumnya mengatakan pihaknya membutuhkan pendapat ahli guna mempidanakan Partai Golkar dalam kasus suap PLTU Riau-1.

Laode mengatakan, saat ini belum ada persepsi yang jelas apakah Partai Politik bisa disamakan dengan korporasi.

“Itu belum semuanya sama persepsinya, oleh karena itu KPK harus mengkaji lebih dalam lagi,” kata Syarif beberapa hari lalu.

Oleh karenannya KPK sambung dia, berencana mengundang sejumlah pakar hukum terkait penggunaan Perma Nomor 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Tindak Pidana oleh Korporasi, terhadap partai politik.

“Berdiskusi apakah tanggung jawab pidana korporasi bisa juga dikenakan terhadap partai politik,” kata dia.

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Nebby