Jakarta, Aktual.com – Undang-undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum, mekanisme pelaksananannya diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 71 tahun 2012 dan Perpres 40 tahun 2014.
Dalam Bab I Ketentuan Umum Perpres 71/2012, khususnya Pasal 2 disebutkan bahwa penyelenggaraan pengadaan tanah untuk kepentingan umum diselenggarakan melalui tahapan prencanaan, persiapan, pelaksanaan dan penyerahan Hasil
“Pedoman itu semestinya ditafsirkan secara komprehensif oleh Pemprov DKI dalam melaksanaan pembelian tanah Rumah Sakit Sumber Waras,” tegas Presiden Gerakan Pribumi Indonesia (Geprindo), Bastian P Simanjuntak, kepada Aktual.com, Kamis (23/6).
Diungkapkan dia, dalam proses perencanaan maka instansi yang memerlukan tanah untuk pembangunan yang diperuntukan untuk kepentingan umum harus mendasarkan pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah, Rencana Strategis, dan Rencana kerja pemerintahan Instansi yang bersangkutan.
Sementara pada Pasal 121, tentang pengadaan tanah skala kecil dinyatakan ‘Dalam rangka efisiensi dan efektifitas, pengadaan tanah untuk Kepentingan Umum yang luasnya tidak lebih dari 1 hektar, dapat dilakukan langsung oleh instansi yang memerlukan tanah dengan para pemegang hak atas tanah, dengan cara jual beli atau tukar menukar atau cara lain yang disepakati kedua belah pihak’.
Pasal 121 Perpres 71/2012 itu kemudian direvisi luasannya dengan terbitnya Pepres 40 tahun 2014. Dimana luas tanah skala kecil yang tadinya 1 hektar di revisi menjadi 5 hektar. Dengan demikian maka tanah sumber waras seluas 3,6 hektar masuk dalam kategori tanah skala kecil.
Di pasal 121 maupun di pasal lainnya, lanjut Bastian, tidak ada yang mengatakan bahwa proses pembelian tanah skala kecil tidak perlu melalui tahapan-tahapan yang di atur dalam Bab I ketentuan umum Perpres 71 tahun 2012.
“Pernyataan Ketua KPK Agus Raharjo yang seolah-olah tidak mempersalahkan Ahok dalam menggunakan perpres 40 tahun 2014 dimana Ahok telah melompati tahapan-tahapan yang diatur dalam Perpres 71 tahun 2012, adalah kurang tepat,” tegas dia.
“KPK malahan terkesan memudahkan terjadinya Korupsi dalam proses pengadaan tanah skala kecil yang bernilai 800 milyar. Seharusnya KPK yang salah satu fungsinya mencegah terjadinya korupsi berupaya untuk memperkuat posisi Perpres 71 tahun 2012,” sambung Bastian.
Dengan kata lain, tahapan-tahapan yang diatur dalam Perpres tersebut wajib dipenuhi. Dalam Pepres 40 tahun 2014 hanya Pasal 120 dan Pasal 121 saja yang direvisi, sedangkan pasal-pasal lainnya dalam Pepres 71 tetap berlaku.
Pembelian tanah sumber waras menggunakan uang negara yang ada dalam APBD. Oleh karena itu, sewajarnya penggunaan uang negara harus melalui tahapan-tahapan tertentu guna upaya pengendalian, pemeriksaan, pengawasan daerah.
Bastian membandingkan dengan Perpres No 4 tahun 2015 tentang pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah, khusus pejabat pengadaan yang menggunakan uang negara untuk pembelian barang, nilai maksimum penunjukan langsung adalah 200 juta rupiah.
“Sangatlah aneh ketika Gubernur Ahok bisa dengan mudahnya mengeluarkan uang negara Rp 800 milyar rupiah tanpa adanya proses pengkajian dan pengawasan yang ketat. Bagaimana jika pola yang sama digunakan pemimpin daerah lain dalam pengadaan tanah?,” imbuhnya.
Jika itu yang terjadi, lanjut dia, bisa-bisa uang negara hilang triliunan rupiah dengan mudah. Sebab tidak menutup kemungkinan terjadi kongkalikong antara pemilik tanah dengan Gubernur atau Bupati dalam proses pembelian tanah skala kecil yang nilainya bisa ratusan milyar bahkan triliunan rupiah.
“Gubernur atau Bupati bisa menitip sejumlah uang dengan pemilik tanah dengan modus pembelian tanah yang nilainya sudah di mark up,” demikian Bastian.
Artikel ini ditulis oleh:
Andy Abdul Hamid