Dua pejalan kaki melintasi papan sosialisasi pembayaran pajak secara online di Jakarta, Selasa (1/3). Direktorat Jenderal Pajak membuat peta zona potensial pajak untuk mencapai target penerimaan pajak sebesar Rp1.360,1 triliun pada 2016. ANTARA FOTO/Wahyu Putro A/ama/16

Jakarta, Aktual.com – Undang-Undang Nomor 11 tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak (Tax Amnesty) tidak sepenuhnya bersifat pengampunan. Pasalnya, masih ada kewajiban pelunasan tunggakan yang bisa menjadi celah permainan para pegawai pajak.

Berdasarkan Pasal 8 ayat (3) di UU itu disebutkan, wajib pajak (WP) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memiliki persyaratan sebagai berikut, (antara lain), memiliki NPWP, melunasi seluruh tunggakan pajak, membayar uang tebusan, melunasi pajak yang tidak atau kurang bayar atau melunasi pajak yang seharusnya tidak dikembalikan bagi WP yang sedang dilakukan pemeriksaan bukti permulaan dan/atau penyidikan.

Menurut Ketua ASEAN Competition Institute, Joy Martua Pardede, dengan adanya ayat pelunasan tunggakan pajak itu, maka potensi moral hazard dari para fiskus atau pegawai pajak masih tetap ada.

Dia mencontohkan, si pengusaha yang mendeklarasikan ikut program tax amnesty memiliki tunggakan Rp1 miliar, namun bisa jadi dari kalangan pegawai pajak mengakali, sehingga bilangnya ada tunggakan Rp2-3 miliar.

“Sehingga pada akhirnya akan ada kompromi yang cenderung merugikan pendaftar tax amnesty. Potensi itu masih tetap ada, padahal wajib pajak sudah mendeklarasikan hartanya,” ungkap Joy ditemui di acara sosialisasi tax amnesty di Jakarta, Kamis (21/7).

Menurut dia, sampai saat ini, dari internal Direktorat Jenderal Pajak (DJP) sendiri belum sepenuhnya berlaku good governance (tata kelola yang baik). Sehingga aksi koruptif dan kolutif masih mungkin terjadi. Makanya, kendati sudah ada UU Anti Korupsi, tren korupsi tetap sana tidak menurun.

“Dengan adanya tax amnesty ini judul besarnya adalah, bagaimana mereformasi sistem perpajakan dan mereformasi birokrasi. Termasuk reformasi perilaku dari fiskus itu sendiri,” cetus mantan pengusaha dari Kadin ini.

Meski dirinya percaya terhadap DJP, namun dalam melihat reformasi birokrasi sepertinya belum sepenuhnya berjalan. Dia pun mengingatkan istilah, “zaman jahiliyah” yaitu era terkuaknya koruptor pajak, Gayus Tambunan.

Menurutnya, kejadian itu belum terlalu lama berselang. Bahkan kerap disebutkan oleh pihak perpajakan sendiri itu baru terjadi beberapa tahun lalu.

“Sehingga kemungkinan muncul zaman jahiliyah itu bisa terulang kembali. ” tandas Joy.

Dia melihat, justru tidak sepenuhnya zaman jahiliyah itu menjadi masa lalu. Karena jaraknya itu masih beberapa tahun yang lalu. Maka, wajib pajak sendiri perlu mewaspadai perilaku kotor tersebut.

“Satu hal yang menjadi pertanyaan adalah, apakah sungguh sudah terhapus (perilaku nakal fiskus)? Itu jadi tanda tanya besar. Dan itu harus diperbaiki melalui sistem,” terang dia.

Dengan demikian, bagi Joy, masalah penghitungan tunggakan ini menjadi serius bagi pegawai pajak, yang selama ini cenderung ditetapkan secara sepihak oleh pejabat pajak.

“Apakah kita sudah bisa challenge atau kita minta klarifikasi yang sesungguhnya (soal kebenaran penghitungan tunggakan)?” tegasnya.

Dia sendiri mengakui, masalah penghitungan tunggakan adalah masalah teknis. Tapi sesuai dengan janji dari DJP di setiap acara sosialisasi, itu ada mekanisme klarifkasi. “Jadi dipastikan mekanisme bukan kompromi, tapi klarifikasi untuk dicari solusinya,” pungkas Joy

Laporan: Bustomi

Artikel ini ditulis oleh: