Jakarta, Aktual.co —Saya teringat kala menyusun buku perdana saya, “Tangan-Tangan Amerika, Operasi Siluman AS di Pelbagai Belahan Dunia”, pada 2010. Buku ini mengkonstruksikan jalinan kisah seputar “Operasi Senyap” CIA dalam membantu penggulingan beberapa kepala negara yang dipandang Washington sebagai musuh. Para kepala negara yang berpotensi bertabrakan kepentingan dengah korporasi global di balik kebijakan strategis luar negeri Paman Sam.

Saat membaca dokumen, maupun sumber sekunder lain, sontak muncul temuan-temuan baru yang tentunya juga perspektif baru memaknai jalinan kisah yang sudah berlangsung puluhan tahun tersebut. Ternyata, ada beberapa kepala negara yang ikut serta dalam Konferensi Asia Afrika (KAA) di Bandung, pada April 1955, yang kemudian tergusur dari pentas politik negaranya secara paksa.

U Nu, Perdana Menteri Birma (Myanmar), digulingkan junta militer pimpinan Jenderal Ne Win pada 1962. Bung Karno, digulingkan melalui kudeta merangkak berliku sejak 1965 yang mencapai kulminasi 1967. Pangeran Norodom Sihanouk digusur lewat kudeta militer Jenderal Nguyen van Thiu pada 1970.

Menariknya lagi, Presiden Aljazair Ben Bella, yang tidak ikut KAA di Bandung, namun pemrakarsa sekaligus tuan rumah KAA di negaranya, digulingkan Kolonel Houari Boumedienne pada 19 Juni 1965. Alhasil, KAA yang sedianya 23 Juni 1965 dibatalkan.

Kwame Nkrumah dari Ghana, digusur militer pada Februari 1966. Pada KAA Bandung, Nkrumah belum ikut. Namun dia salah satu pemrakarsa Konferensi Gerakan Non Blok (GNB) pada 1961 di Beograd bersama Bung Karno, Gamal Abdel Nasser (Mesir), Joseph Broz Tito (Yugoslavia), dan Pandit Jawaharlal Nehru (India).

Kenapa digusur? Apa karena dipandang Washington sebagai komunis yang berkiblat ke Uni Soviet dan China? Bukan. Mereka ini pemrakarsa KAA dan GNB yang bermaksud membangun “Kekuatan Ketiga” di luar skema AS-Inggris maupun Soviet-China.

Mereka berbahaya di mata para pemain tingkat tinggi Washington kala itu, seperti David Rockefeller, Allen Dulles, Augustus C Long (senior CEO Texaco Group), yang mewakili setidaknya 600 korporasi global AS yang menguasai industri-industri berat seperti migas, tambang batubara, emas, dan tentu industri strategis pertahanan.

“Kekuatan Ketiga” macam apa yang begitu menakutkan sehingga para arsitek KAA dan GNB jadi target untuk digulingkan?
Gagasan pembentukan “Kekuatan Ketiga” memang baru dikumandangkan Bung Karno secara konseptual pada pertengahan 1960-an, yang kemudian populer disebut NEFOS atau The New Emerging Forces. Kekuatan ketiga yang bukan sekadar tidak ingin terseret ke kubu AS-Inggris maupun kubu Soviet-China.

NEFOS merupakan kontra skema kapitalisme global. Sebuah gerakan pro aktif “Perang Asimetrik” melawan skema kapitalisme global negara-negara maju melalui perang non militer. Sayang, harus terhenti sebelum menemukan format pas, menyusul tergusurnya Bung Karno, Ben Bella, U Nu, Nkrumah dan Sihanouk.

Lebih sayang lagi, NEFOS yang harusnya jadi harta karun, seakan dengan sadar dikubur hidup-hidup menyusul tergusurnya Bung Karno dan munculnya Rezim Orde Baru Soeharto. Dan celakanya, Orde Reformasi kadung “amnesia sejarah” untuk menghidupkan, apalagi merevitalisasi NEFOS.

Dalam berbagai kesempatan, secara provokatif, saya selalu mengingatkan berbagai kalangan agar siap, jika sewaktu-waktu terjadi “Perang Asia Timur Raya Jilid II”.

Mengapa? Sesuai prediksi Samuel Huntington, antara 2015-2017, persaingan global AS versus China akan makin menajam. “Proxy war” antara kedua kutub –yang berlangsung di Asia Tengah sejak 2001 dan di Timur Tengah seperti tercermin dalam konflik berdarah Suriah — akan bergeser ke kawasan Asia Tenggara.

Siapkah kita? Sebagaimana kesiapsiagaan Bung Karno dan para perintis kemerdekaan Indonesia saat mengantisipasi pecahnya Perang Asia Timur Raya pada 1941-1945, dan berhasil mewujudkan kemerdekaan 17 Agustus 1945?

Saya khawatir, para elit politik kita tak punya rujukan menjawab isu global yang cukup krusial tersebut. Apalagi, menawarkan diri sebagai pusat solusi dunia seperti saat Bung Karno menggulirkan gagasan penyelenggaraan KAA dan GNB sebagai dasar kemunculan gagasan terbentuknya “Kekuatan Ketiga”.

Padahal, meski tidak ada “Perang Dingin”, sejak China dan Rusia bersepakat membentuk Aliansi Strategis di bawah payung “Shanghai Cooperation Organization” (SCO), seharusnya kita siap memprakarsai kembali gagasan terbentuknya “Kekuatan Ketiga”, jika menghayati betul makna NEFOS.

India, Brasil yang kemudian disusul Afsel, tampaknya jauh lebih imajinatif daripada kita. Mereka mampu menyerap inspirasi terbentuknya SCO dan kemudian memprakarsai Blok Ekonomi BRICS dengan mengikutsertakan Rusia dan China sebagai kontra skema kapitalisme global AS-Uni Eropa.

Inilah perang asimetrik yang berhasil dilancarkan India, Brasil dan Afsel memanfaatkan polarisasi kutub AS-Uni Eropa versus China-Rusia.

Kita dan negara-negara ASEAN umumnya, yang menyadari betapa makin tajamnya persaingan AS versus China merebut “Sphere of Influence” di Asia Tenggara, sebenarnya cukup berpeluang melakukan sebuah inisiatif politik di dunia internasional. Untuk membangun sebuah aliansi strategis baru di kawasan Asia Tenggara dan mengimbangi aliansi konservatif AS-Uni Eropa.

Dengan didasari gagasan merevitalisasikan NEFOS dalam kerangka membangun “Kekuatan Ketiga”, model kerjasama ala SCO dan BRICS cukup inspiratif sebagai bahan menyusun “Perang Asimetrik” terhadap kekuatan-kekuatan politik internasional yang sedang menyasar Indonesia dan Asia Tenggara.

Inilah relevansi yang saya katakan, apakah kita siap menyongsong Perang Asia Timur Raya Jilid II dan muncul sebagai pemenang? Seperti kita memanfaatkan momentum Perang Asia Timur Raya untuk kemerdekaan Indonesia.

Bandung, Taman Mini Asia-Afrika
Kekhawatiran KAA  bakal membidani lahrinya blok ketiga di antara dua kutub dalam perang dingin, terbukti melalui dua peristiwa penting menjelang dibukanya KAA pada Senin 18 April 1955. Pada 11 April 1955 sekitar pukul 17, Ruslan Abdulgani yang dipercaya Bung Karno sebagai Ketua Panitia persiapan, dikejutkan dengan berita SOS pesawat terbang Constellation Kashmir Princes dari Air India jatuh di kepulauan Natuna, di wilayah perairan Indonesia. Yang mengundang kecemasan Indonesia sebagai penyelenggara KAA, terbetik kabar Perdana Menteri Cina Chou En Lai dan beberapa delegasi Cina menumpang pesawat tersebut.

Spekulasi mengenai adanya sabotase dan rencana pembunuhan Perdana Menteri En Lai bukannya tanpa alasan sama sekali, karena kejadian sebelumya pada 13 Maret 1955 juga mewartakan adanya rencana pembunuhan terhadap Perdana Menteri India Jawaharlal Nehru. Namun rencana tersebut berhasil dicegah. Syukurlah sehari kemudian mendapat konfirmasi bahwa Perdana Menteri Chou En lai tidak ikut dalam pesawat tersebut. Yang ikut dalam pesawat itu adalah 11 anggota delegasi Cina yang sedianya akan menghadiri KAA di Bandung, beserta 3 orang wartawan dari Cina.

Dari kejadian ini, fakta bahwa di dalam pesawat Constellation Kashmir Princes terdapat pejabat-pejabat penting Cina, mengisyaratkan bahwa bukan tak mungkin pihak yang ingin menggagalkan KAA, mendapat informasi bahwa Cho En Lai sedianya memang akan naik pesawat tersebut, hanya saja pada menit-menit terakhir memutuskan naik pesawat yang berbeda. Besar kemungkinan rencana pembunuhan Chou En Lai dan sabotase KAA berhasil diketahui pihak intelijen Cina sehingga berhasil disusun operasi kontra intelijen penyelamatan terhadap Chou En Lai.

Peristiwa kedua, meski terkesan tersamar dan malah oleh Ruslan Abdul Gani justru dikesankan sebagai sebentuk dukungan terhadap penyelenggaraan KAA, terjadi pada 21 Maret 1955. Jauh hari sebelum berlangsungnya KAA.
Sekitar 14 sarjana/cendekiawan asal Amerika Serikat dari berbagai aliran, mengirim surat kepada Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo. Di antara para cendekiawan AS tersebut antara lain: Emily G Bach, ekonom dan sosiolog pemenang hadiah Nobel untuk perdamaian, novelis wanita Pearl Buck, SR Marlow, dosen dan guru besar studi Agama, dan Lewis Munford, sejarawan dan filosof.

Meski dalam suratnya berharap akan berakhir sukses, namun tak bisa dipungkiri ada nada tersirat untuk memperingatkan potensi KAA untuk membentuk blok ketiga. Dalam salah satu paragrafnya mereka menulis: “Banyak penduduk dirundung ketakutan, banyak lagi yang asyik membentuk blok-blok. Di tengah-tengah tekanan dan kekacauan situasi demikian, kami membuat surat ini untuk menganjurkan kepada Tuan : Bukanlah keragu-raguan tetapi keberanian, bukannya perhitungan-perhitungan  tetapi kebijaksanaan, bukannya tindakan-tindakan sesuka sendiri, melainkan disiplin, bukannya rencana untuk sesuatu blok tetapi kemajuan cita-cita universal.”

Menurut bacaan saya, meskipun Ruslan Abdul Gani dalam bukunya The Bandung Connection menuturkan fragmen kisah ini sebagai sebentuk dukungan moral dari beberapa cendekiawan AS, namun saya berpandangan bahwa ini merupakan sebentuk peringatan tersamar yang sejatinya menyuarakan kecemasan para perancang kebijakan strategis keamanan nasional di Washington. Hanya saja mereka bermain cukup elegan dengan memanfaatkan integritas independen para cendekiawan AS seperti Pearl Buck maupun Emily G Bach.

Namun demikian, rumusan para cendekiawan AS tersebut terhadap sasaran strategis yang ada di benak para konseptor KAA seperti Bung Karno, Sir Kotelawala ataupun Nehru, ada benarnya juga. “Besar harapan kami kepada Tuan, mudah-mudahan Tuan dapat memecahkan semua masalah dengan merdeka, untuk merumuskan dasar-dasar masyarakat baru.”

Memang benar, frase yang mereka gunakan. Merumuskan dasar-dasar masyarakat baru. Itulah gagasan utama yang mendasari terbentuknya Solidaritas bangsa-bangsa Asia Afrika, pada perkembangannya memang merupakan masyarakat baru. Hanya saja yang tak terbayangkan atau diharapkan para cendekiawan AS tersebut. Karena masyarakat baru yang terumuskan solidaritas Asia-Afrika dengan diikat oleh gerakan menentang Imperialisme dan Kolonialisme, pada perkembangannya telah membidani lahirnya Kekuatan Ketiga, atau Blok Baru sebagai alternatif dari Blok Kapitalisme AS dan sekutu-sekutu baratnya versus Blok Uni Soviet dan Cina.

Oleh para pemrakarsa KAA, peringatan tersamar para cendekiawan AS tersebut diubah menjadi inspirasi untuk menelorkan sesuatu yang baru dan orisinil melalui KAA Bandung.

Bung Karno, yang sangat menguasai betul dimensi geopolitik dari kolonialisme dan imperialisme, dalam pidato pembukaan KAA mampu menginspirasi para peserta:

“Saudara-saudara, betapa dinamisnya zaman kita ini. Saya ingat, bahwa beberapa tahun lalu saya mendapat kesempatan membuat analisa umum tentang kolonialisme. Dan bahwa saya pada waktu itu meminta perhatian pada apa yang saya namakan ‘Garis Hidup Imperialisme.’ Garis itu terbentang  mulai selat Jibraltar, melalui Lautan Tengah, Terusan Suez, Lautan Merah, Lautan Hindia, Lautan Tiongkok Selatan(Sekarang Laut Cina Selatan) sampai ke Lautan Jepang. Daratan-daratan sebelah-menyebelah garis hidup yang panjang itu sebagian besar adalah tanah jajahan. Rakyatnya tidak merdeka. Hari depannya terabaikan kepada sistem asing. Sepanjang garis hidup itu, sepanjang urat nadi imperialisme itu, dipompakan darah kehidupan kolonialisme.”

Melalui paparan ini, Bung Karno secara inspiratif memberi sebuah gambaran nyata sekaligus memetakan akar masalah sesungguhnya konflik global dan betapa pentingnya para pemimpin Asia-Afrika yang hadir di KAA tersebut untuk membangun solidaritas bangsa-bangsa Asia-Afrika atas dasar nasib yang sama: Menjadi sasaran geopolitik negara-negara kolonial atas dasar Garis Hidup imperialisme yang secara geopolitik digambarkan Bung Karno.

Seperti yang ditandaskan oleh Bung Karno: “Dan pada hari ini di gedung ini, berkumpullah pemimpin-pemimpin bangsa-bangsa yang tadi itu! Mereka bukan lagi menjadi mangsa kolonialisme. Mereka bukan lagi menjadi alat permainan kekuasaan-kekuasaan yang tak dapat mereka pengaruhi. Pada hari ini tuan-tuan menjadi wakil bangsa-bangsa yang merdeka, bangsa-bangsa yang mempunyao perawakan dan martabat yang lain di dunia ini.”

Begitulah! Melalui KAA Bung Karno telah menawarkan sebuah Kontra Skema terhadap Garis Hidup Imperialisme. Yakni, Garis Hidup Asia-Afrika.

Oleh: Hendrajit, Redaktur Senior Aktual